"Bulan habis nemenin aku periksa kandungan, Mas," sahut Embun, setelah mendengar panggilan Bulan untuk Candra. Dia baru ingat soal kakak tertua Yasmin itu. Maka dari itu, dia langsung berdiri di sebelah Bulan sambil nyengir.
"Oh, kamu lagi hamil ternyata," ujar Candra sambil melirik perut Embun yang memang sudah tampak.
Embun mengangguk. "Anak kedua, Mas."
"Selamat, ya," ucap Candra. Dia ingin mengulurkan tangan, tapi tidak dalam kondisi bisa melakukan itu. Putranya memang sudah tidak rewel dan kondisinya membaik, tapi Bhumi masih menolak lepas dari pelukannya.
"Eh, Bhumi masih ingat tante Bulan, nggak? Yang kemarin malam gendong Bhumi sampai tidur." Candra kini beralih pada putranya yang bersandar di bahunya. Tubuh kecil itu akhirnya merespon saat mendengar nama Bulan. Dia menoleh, lalu tersenyum dengan wajah pucatnya.
"Hai, Bhumi," sapa Bulan dengan suara ceria. Dia melambai-lambaikan tangan di depan wajah, lalu dibalas oleh putra Candra itu. "Sudah nggak sakit?" tanyanya.
Bhumi mengangguk. Dia kembali tersenyum sebelum akhirnya kembali merebahkan kepala di bahu ayahnya.
"Ah, kalau begitu aku duluan, ya. Harus segera bawa Bhumi pulang biar bisa minum obat," pamit Candra.
Bulan dan Embun serempak mengangguk. Mereka menyempatkan diri membelai lembut pipi kanan Bhumi yang tidak menempel di bahu ayahnya.
"Eh, Lan!" Embun menyenggol lengan Bulan.
"Kenapa?"
"Tiba-tiba muncul ide gila di kepalaku," ujarnya.
"Apa?
"Kenapa nggak kamu nikahin aja itu kakaknya si Yasmin? Yakin, deh, dia pasti lagi nyari ibu buat Bhumi."
"Hush! Sembarangan!" sahut Bulan sambil berlalu dari depan poli kanduangan. Dia berjalan sedikit cepat menuju tempat parkir, khawatir berpapasan dengan orang yang dikenalnya lagi.
"Lan, tungguin!" teriak Embun.
Namun, dia tetap tak memelankan langkah. Sedikit jengah juga mendengar ucapan sang sahabat tadi. Entah kenapa semua orang akhir-akhir ini sibuk membicarakan pernikahan dengannya.
***
"Mbak Bulan sekarang lebih berisi, ya," ujar Bu Nani. Hari Minggu ini dia datang bukan untuk konsultasi lagi, melainkan mengantarkan berbagai makanan untuk Bulan dan teman-teman. "Berisinya di tempat-tempat yang bagus."
Mendengar itu, Bulan hanya bisa nyengir. Di ruangan itu ada Timur. Dia tidak mau membuat lelaki itu berpikir hal yang sama.
"Perasaan Ibu kali," sahut Bulan.
"Nggak, Mbak. Memang kelihatan lebih segar, berisi di tempat-tempat yang tepat juga. Saya dulu badannya kayak Mbak waktu trimester awal hamil anak pertama. Setelah itu ya membengkak, ha-ha. Tapi kembali kurus kayak Mbak Yasmin usai melahirkan. Emang nggak bisa gemuk, ya." Bu Nani tertawa atas ucapannya sendiri. Dia tidak sadar bahwa ekspresi Bulan sudah berubah. Wajahnya jadi tegang.
Bulan kali ini benar-benar khawatir. Perubahan tubuhnya sudah bayak ditangkap oleh orang lain. Bahkan saat dia pergi ke taman dengan Timur waktu itu, ibu-ibu yang membantunya pun langsung tahu kalau dia sedang hamil.
"Bu Nani nggak lupa ada laki-laki di sini, kan?" gurau Timur. Dia sebetulnya menangkap keengganan di wajah Bulan, makanya mencoba mengambil alih percakapan.
Bu Nani langsung tertawa. Sadar kalau sudah membicarakan bagian tubuh perempuan di depan seorang laki-laki yang masih lajang.
"Aduh, tiba-tiba lupa kalau ada Mas Timur."
Timur ikut tertawa. Dia kemudian membuka salah satu kotak berisi kue sus. "Wah, ini kue kesukaan saya, Bu," ujarnya.
"Oh, iya? Saya buatin itu buat Mbak Bulan. Dulu katanya paling suka kue sus," sahut Bu Nani. "Tahu Mas Timur suka juga, saya buatin dua kali lipat biar nggak rebutan," candanya.
Timur langsung terkekeh, sementara kecanggungan Bulan pun sudah luntur. Dia ikut tertawa, lalu mengucapkan terima kasih pada Bu Nani yang sudah perhatian padanya.
"Kita bisa berbagi kok, Bu. Ya, kan, Lan?" ujar Timur.
"Iya," jawab Bulan, masih sambil tersenyum.
"Eh, kalian berdua kenapa nggak nikah aja, sih? Cocok begini," ujar Bu Nani. "Udah umur 24 tahun, kan? Nah, pas itu."
Timur yang sudah biasa mendengar hal itu hanya tertawa saja. Dia tidak menjawab apa-apa.
Lain hal Bulan yang sudah jadi jauh lebih perasa dibandingkan sebelumnya. Tawa tanpa jawab Timur membuat dadanya lagi-lagi nyeri.
***
"Lan, dijemput pangeran, tuh," ujar Yasmin yang baru saja membuka pintu ruang curhat mereka.
Bulan menoleh pada Yasmin yang sedang tersenyum menggoda. Dia mengernyit. Namun belum sempat bertanya, Timur lebih dulu bersuara.
"Pangeran siapa, Yas?" tanya Timur.
"Pangerannya Bulan, lah," sahut Yasmin. Dia kemudian kembali menatap Bulan. "Buruan, Lan. Mau diajak makan siang istimewa kayaknya." Senyum menggodanya kembali muncul.
Bulan hanya bisa menghela napas dan cepat-cepat mengambil tasnya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu dia berpamitan pada Timur dan Embun yang sedang sibuk dengan teleponnya.
"Ayo!" ajak Yasmin.
Bulan pun mengikuti langkah Yasmin menuju pinggir jalan raya. Saat itulah dia menangkap mobil Bima yang terparkir di halaman mini market depan ruang konsul mereka.
"Pangeran yang kamu maksud tadi Bima?" tanyanya pada Yasmin.
"Yups! Udah buruan sana. Udah ditunggu dari tadi. Katanya mau ajak kamu makan siang.
"Gigih juga ternyata dia. Padahal lamarannya sudah ditolak."
Bulan dan Yasmin serempak menoleh. Tahu-tahu Timur sudah berdiri di belakang mereka sambil melipat lengan di depan perut. Wajah lelaki itu terlihat serius.
"Namanya juga usaha, Mur. Lagian kalau lamaran ditolak, nggak boleh ngajak makan siang, gitu?" tanya Yasmin ketus. Bukan berarti dia marah pada Timur. Cara bicaranya pada Timur sejak dulu memang demikian. Baginya sahabat lelakinya itu selalu bersikap sok keren.
Timur tidak menanggapi Yasmin. Dia hanya menatap lurus ke arah mobil Bima.
Sementara Bulan menghela napas. Dia kemudian berpamitan pada dua sahabatnya dan menyeberang jalan menuju mobil Bima. Dia sebetulnya sediki berat menemui lelaki itu lagi, sebab khawatir goyah. Tapi, bukankah akan aneh juga kalau dia menolak?
***
"Enak?" tanya Bima saat melihat Bulan memakan udang bakar asam manis dengan lahap.
"Banget. Makasih, Bim," sahut Bulan.
"Syukur kamu suka," ujar Bima. Dia kemudian memindahkan cumi krispi dari piring di depannya ke piring makan Bulan. "Ini juga enak. Kamu cocol ke sambal hijaunya."
Bulan mengangguk. Kembali mengucap terima kasih, sebelum akhirnya mengikuti instruksi Bima soal makan cumi tadi. Dan begitu cumi tepung berlumur sambal hijau itu masuk ke dalam mulut, ledakan nikmat itu langsung memanjakan lidahnya.
"Astaga, ini emang enak banget, Bim," kata Bulan takjub. Matanya sampai terbuka lebar menatap Bima.
Bima terkekeh. Dia senang bisa memuaskan Bulan dengan makanan enak. Apalagi dia sampai menghabiskan waktu berjam-jam meneror satu per satu teman lamanya agar merekomendasikan restoran keluarga yang punya suasana bagus dan makanan nikmat.
"Pesan lagi kalau kamu suka," ujarnya kemudian.
Bulan menggeleng. "Ini aja belum habis."
"Kali aja udah ada bayangan kalau makanan-makanan ini akan kurang," gurau Bima.
Bulan kembali tertawa. Dia melanjutkan makan, tapi kemudian teringat satu hal yang sejak tadi belum dia tanyakan.
"Oh, iya, Bim. Kamu kenapa tiba-tiba ajak aku makan siang?" tanyanya.
Senyum di wajah Bima menghilang. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu meletakkan alat makannya di atas piring. Dia menyatukan kedua tangannya, lalu menatap Bulan intens.
"Lan, maaf ngomong gini lagi ke kamu. Tapi, bolehkah aku meminta kamu mempertimbangkan kembali lamaranku?" tanya Bima.
Pertanyaan itu langsung membuat nafsu makan Bulan menguap. Namun, dia berusaha tak memperlihatkannya pada Bima.
"Maaf, Bim. Jawabanku tetap sama. Aku nggak bisa terima lamaran kamu," jawabnya tegas agar Bima tak lagi berharap.
"Please, Lan. Rasanya aku nggak bisa pergi ke Prancis dengan tenang kalau nggak sama kamu," mohon Bima. Dia bahkan sampai menempelkan kedua telapak tangannya di depan wajah.
Namun, Bulan tetap menggeleng. "Maaf, Bim. Aku benar-benar nggak bisa."
"Kenapa, Lan? Kenapa kamu kelihatan tidak mau mempertimbangkan sama sekali? Maaf kalau aku terkesan memaksa, tapi … tapi aku hanya berusaha."
Bulan menghela napas panjang dan berat. Dia kini sudah meletakkan sendok dan garpu di piring, dan menundukkan kepala.
"Bukan tidak mau mempertimbangkan, tapi tidak bisa," sahutnya kemudian.
"Bolehkah aku tahu alasannya? Rasanya aku bisa gila kalau penasaran seumur hidup. Apalagi setelah lihat kamu yang sepertinya juga tertari sama aku."
"Apa kamu bisa jaga rahasiaku?" tanya Bulan dengan suara yang tiba-tiba berubah serius.
Bima mengernyit, tapi dia kemudian menganggukkan kepala. "Aku bisa jaga rahasiamu dari siapa pun."
Sekali lagi Bulan menghela napas. Entah bagaimana dia percaya bahwa Bima tidak akan mengumbar rahasianya.
"Jadi, aku nggak bisa menerima kamu karena salah satu rahasia terbesar yang aku punya," ujarnya.
Bima tak menyela. Dia benar-benar menyimak setiap kata yang keluar dari mulut perempuan di depannya.
"Aku … hamil, Bim."