Chereads / K3BIH / Chapter 4 - Bab IV

Chapter 4 - Bab IV

Mentari masih setia di atas sana, hingga angin yang berhembus terasa panas menampar setiap jengkal tubuh yang terbuka. Bahkan di ruangan ber-AC itu mereka yang berada disana nampak sesekali menyeka keringat, memang dari berpuluh-puluh AC hanya 2-3 yang di nyalain terlebih di ruang teater yang dapat menampung 200 lebih ini. Di panggung besar terdapat beberapa siswa yang sedang berlatih disana, sedang beberapa siswa yang lain terlihat duduk di bangku sambil sesekali bembaca naskah membiarkannya di samping tubuh lalu berkomat-kamit begitu seterusnya.

" Sepertinya sudah bisa di mulai ya " Suara guru pembina memecah keriuhan

" Iya pak " Jawab anggota kompak segera mereka berkumpul dalam satu tempat

Lelaki bertubuh tegap itu segera memberi instruksi setelah melakukan salam pembuka, dengan ceketan ia dapat mengontrol para siswanya untuk segera melakukan persiapan. Hari festival sekolah memang sudah dekat, terlebih mereka juga akan mengikuti lomba yang di adakan oleh pemerintah daerah.

Recha, gadis berambut sebahu itu  terlihat tengah memainkan perannya, gaya gadis itu sebenarnya cukup membuat para anggota muak. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa, yang memilih gadis itu adalah Bu Nuning, pendiri club drama itu sendiri, juga wakil kepala sekolah. Entah apa alasan Bu Nuning memilih gadis itu, padahal bila di bandingkan dengan yang lain, akting Recha benar-benar buruk, hampir semua dialog ia buat sendiri tak sesuai dengan scenario, bahkan alur cerita akan semakin tak karuan lebih terkesan di buat sendiri oleh Recha. Bahkan Kak Rado, sang pembina tim teater hanya bisa pasrah dengan keputusan Bu Nuning. Mau bagaimana juga posisi wanita itu lebih tinggi darinya, ia hanyalah seorang tamatan mahasiswa yang masih belum mendapat kerja tetap.

Sisca, gadis cantik yang menjadi idola dari kelas teater terlihat asik menghayati perannya. Kali ini, gadis bermata lentik itu menjadi salah seorang pelayan dalam drama. Tentu saja hal itu sangat di sayangkan, mengingat sudah dua periode ini mendapat kemenangan sejak Sisca menjadi pemeran utama. Gadis itu penuh ide dan energik, ia juga sangat bersungguh-sungguh dalam memerani perannya. Hampir seluruh anggota menyayangkan kemunduran Sisca dari pemeran utama, walau gadis itu tetap menjadi anggota teater, namun tetap saja banyak yang ingin melihat aktingnya kembali. Seperti Kinta yang sangat kecewa dengan keputusan kakak kelasnya itu.

" Sudahlah, tak ada yang perlu di sesalkan " Hibur Sisca ketika Kinta yang mengungkapkan rasa kecewanya

" Tapi ini benar-benar gak adil kak " Kinta masih tidak percaya " Seandainya kakak sudah tak di sini, bagaimana perasaan kakak melihat ini, apa kakak benar-benar setuju" Kinta masih berharap

" Tidak, gue tak pernah menyesal seandainya harus lengser, hanya memang bukan seperti ini yang gue harap" Sisca menatap Kinta " Dari pertama melihat akting loe, gue yakin loe bisa Kin, gue berharap banget bisa lihat loe jadi pemeran utama" Lanjut Sisca 

" Apa aku mundur aja kak ya" Pilih Kinta

" Loh kenapa Kin, akting loe bagus kok dan loe punya potensi buat ngembanginnys jadi lebih baik" sisca terkejut dengan keputusan Kinta yang mendadak

"Tapi kak, aku gak nyaman dengan semua ini, aku ngrasa tertekan"

"Oh jadi maksud loe gue nekan loe gitu" Tiba-tiba Recha menyela

"Aku gak ngomong gitu kok" Jawab Kinta

"Trus maksud loe tertekan tuh apa, loe keberatan main di peran loe yang sesuai kenyataan" Ucapan Recha membuat Kinta marah

"Maksud loe apa" Kinta berdiri menghadap Recha

"Loh emang iya kan kenyataannya loe tuh bokap loe gak jelas yang mana, dasar anak pungut"

" Eh Recha jaga mulut loe ya" Sisca ikut berdiri menghadap Recha

" Kenapa loe belain dia, loe mau gue cabut usaha bokap loe" Ancam Recha

" Eh sudah sudah ini apaan sih, kita lagi latihan, seriusan napa, mingggu depan udah tanding ini" Rafid menengahi keributan itu, apalagi  memilih keluar dan hal itu yang terjadi setelah pergantian pemain itu.

" Tau tuh Fid, mereka berdua tuh suka jelek-jelekin aku" Recha merengek manja pada Rafid, pemuda gagah itu tak memperdulikannya dan berlalu mengejar Kinta yang sudah pergi

" Ihh, apaan sih, dasar anak haram" Geram Recha, sejenak Kinta menghentikan langkahnya, walau tidak keras namun ucapan Recha mampu di dengarnya dengan jelas

" Ayo" Rafid menepuk bahu Kinta dan mendorongnya tuk terus berjalan

Melihat hal tersebut semakin membuat Recha marah dan terus mengancam Sisca yang terdiam, gadis itu sadar, melawan Recha hanya akan membuat keluarganya susah, apalagi ayahnya yang sudah mati-matian mengurusnya. Sisca hanya mampu menahan geram serta menggenggam tangnnya kuat-kuat, ia bersumpah akan membalas sikap Recha walau terpaksa harus menggunakan Kinta. Gadis baik itu benar-benar membuka mata Sisca yang selalu nrimo tak kala di cela oleh Recha, saudara tirinya.

"Maaf ya Ta" Gumam Sisca

Kinta duduk di sebuah bangku di luar ruang teater, sekilas ia sempat melihat Kak Rado bersama Bu Nuning melintasi koordinat sekolah namun ia memilih tak ambil pusing, nyatanya ia sangat kecewa pada lelaki itu. Ia tau Kak Rado menyimpan rasa pada Kak Sisca, Bahkan sekalipun Kak Sisca juga memiliki rasa yang sama. Namun sikap pengecut lelaki itulah yang membuat Kita kecewa, lelaki itu tak pernah sekalipun terlihat membantah atau berusaha melerai bila Recha membuat ulah dan sering membuli kak Sisca.

"Akhh " Kinta berteriak ketika merasa dingin di pipinya

"Buat Lo" Rafid menyodorkan minuman dingin setelah sengaja menyentuhkan pada pipinya.

"Ih apaan sih Lo, dingin tau" Kinta mengusap pipinya yang basah sambil menerima minuman kaleng yang di sodorkan Rafid, lelaki itu tersenyum.

"Tunggu aja Ta, aku gak akan biarin semua berjalan sesui keinginan Recha" Ucap Rafid, kebencian terpancar jelas dimata cowok itu.

"Wao Lo mau ngapain" Kinta pura-pura syok dan sedikit menjauh dari laki-laki itu

"Entahlah, bila ini berhasil mungkin gak hanya melengserkan Richa, tapi juga menjadikanmu pemain utama"

"Wait wait, plis jangan libatkan gue dalam urusan kalian ya" Ucap Kinta

"Sayangnya kamu kunci dari semua ini Ta" Kinta mendelik, dia benar-benar tidak menyangka akan menjadi dalang dari hal yang bahkan tak ia ketehahui sama sekali.

Mereka tidak mbahas lebih, terlebih Kak Rado sudah menyuruh mereka untuk masuk dan melakukan gladi bersih. Kinta sendiri sudah tidak ambil pusing, masalah yang ia alami sudah cukup pelik saat ini hingga ia tidak ingin menambah masalah lagi. Ia akan berkonsultasi dengan teman-temannya nanti.

***

Gelap masih setia menemani malam, semilir angin yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Malam hitam tanpa cahaya bulan, bahkan para bintang pun sepertinya enggan bertabur di langit. Dari balik jendela Kinta menatap malam, menelusuri setiap benda langit yang nampak memudar. Gadis itu menerawang jauh, berusaha menembus sang awan hitam yang semakin menggulung pekat langit. Malam ini ia sendiri, hal yang sudah biasa baginya namun tak membuatnya terbiasa dalam kesendirian dan gelap. Kinta sadar tidak pernah sendiri seperti ini selalu ada teman walau terkadang ia merasa bosan namun takdirnya tak mungkin bisa berubah, bila iya itu artinya dirinya akan kehilangan senyum Mama, wanita yang di cintainya. Kinta segera beranjak ketika ia mendengar suara deru mobil mendekat, ia tau pasti siapa yang datang, ini adalah pertemuan yang langka baginya dan juga mama. Wanita itu memakai bleser hitam dengan dalaman putih dan rok pendek selutut, seperti biasa, gambaran tentang sosok mamanya yang tak pernah berganti gaya, rambut panjangnya yang di sanggul rapi tak pernah di biarkanya terurai lama. Kinta mematung di antara dinding pemisah ruang tamu, wanita itu masih terlihat sibuk melepas sepatunya, memijit-mijit sebentar sebelum akhirnya ia tersadar akan kehadiran Kinta.

" Belum tidur " Sapa wanita itu sambil melewati Kinta begitu saja

" Mama pulang malam lagi " Ucap Kinta

" Ya beginilah mamamu dari dulu, sudah biasakan " Jawab wanita itu enteng sambil meneguk air mineral

" Aku.. " Kinta menahan ucapannya

" Kinta, kamu sudah besar bukan seharusnya kamu sudah terbiasa seperti ini " Ucap wanita itu

" Kinta tidak mau ma, Kinta ingin mama selalu ada di sisi Kinta "

" Lalu kamu mau hidup gembel di luar sana " Wanita itu tak juga menatap Kinta

" Itu lebih baik, daripada tinggal di rumah mewahseorang diri "

" Kinta kumohon kamu mengerti , mama tidak bisa seperti itu " 

" Siapa ayah Kinta ma " Kinta tak sanggup lagi menahan

" Cukup Kinta, sekarang pergi ke kamarmu "

" Kenapa ma,  apa itu terlalu sulit untuk di jelaskan " 

" Mama tidak butuh menjelaskan apapun saat ini ok " Wanita itu semakin tak habis pikir dengan pertanyaan anaknyaa itu

" Lalu Mama pikir hal itu sudah cukup " Kinta berusaha menatap wajah Mamanya " Kinta tidak mungkin menjawab hal serupa pada orang lain kan Ma " Kinta menyerah

" Maafkan Mama sayang, tapi saat ini mama tidak bisa memberitahumu lebih jauh " Wanita itu memunggungi Kinta

" Aku kecewa Ma " Kinta berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, gadis itu sudah sangat hilang kesabaran atas sosok ayahnya yanng tak juga ia ketahui

Sedang di bawah sana, wanita yang selalu tampak modis itu meneteskan butiran-butiran bening di lantai yang menjadi pijakannya. Ia tidak tau lagi sampai kapan mampu menyimpan rahasia itu, apalagi semakin hari seiiring pertumbuhan Kinta, semakin membuatnya mengingatkan masa lalunya yang suram. Anak gadisnya itu, semakin mirip dengan sosok seorang teedekatnya di masa lalu. Sebelum semakin deras tetesan itu mengaliri pipinya, wanita itu segera beranjak menuju kamar di samping Kinta. Sesaat ia sempat ingin meraih gagang pintu kamar Kinta, namun segera ia urungkan lalu menjauh.

Keesokan harinya di balik tembok yang memisahkan ruang keduanya, Kinta hanya menatap hampa ruangan yang telah tak berpenghuni itu. Bahkan para asisten rumah tangga yang terbangun lebih pagi bersaksi tak mendapati sosok Mamanya.