Chereads / K3BIH / Chapter 6 - Bab VI

Chapter 6 - Bab VI

Sore ini Hesty sengaja berdiam diri di perpustakaan sekolah, ia masih ada sedikit materi yang tak ia pahami saat Pak Andan menjelaskan tadi. Teman-temannya sudah pulang tanpa berniat menemaninya, namun itulah yang ia harapkan, ia lebih suka melakukan sendiri mengingat kelimanya memang tak suka berlama-lama di sekolah terlebih perpustakaan. Sebenarnya tak hanya mereka bahkan mungkin sebagian murid, bila tidak ada tugas mereka lebih memilih tempat lain. Terlebih perpustakaan sekolah memang hanya berisikan tentang materi pelajaran dan segala hal tentang kegiatan belajar tersebut. Sekolah berencana menempatkan beberapa komputer disana, dengan harapan bila itu telah terlaksana maka akan banyak siswa yang betah.

"Hesty, belum selesai ya" Seorang paruh baya yang cukup anggun menyapanya

"Eh sudah mau tutup ya bu" Hesty melirik jam di dinding

"Iya nih, kalau kamu masih ada buku yang mau di baca ambil saja dulu". Saran wanita itu

"Sudah kok bu, maaf ya segera saya bereskan" Ucap Hesty sambil menata tumpukan buku yang sudah memenuhi tempatnya

"Gak papa Hes, biar besok yang piket saja yang bereskan yuk pulang" Ajak Bu Sina penjaga perpustakaan itu sambil melirik sekitar yang tidak lebih baik dari meja Hesty

"Makasih ya bu, dan maaf banget sampai kelupaan" Ucap Hesty sungkan, bila sudah berkutik dengan buku gadis berkacamata itu memang tak kenal waktu

" Ya kalo gak begitu keenakan yang piket dong" Bu Sina mengerlingkan mata, mereka sudah sangat akrab sejak Hesty bersekolah disana

Sebagai penjaga perpustakaan, Bu Sina cukup nyentrik, tidak seperti kebanyakan yang terlihat selalu menggunakan kacamata tebal. Justru Bu Sina nampak sehat dan terampil dalam penglihatan, wanita itu cukup menjaga seluruh bagian tubuhnya agar tetap sehat di usianya sekarang. Bu Sina juga sangat ramah, ia selalu berusaha memahami kondisi setiap siswa yang memasuki perpustakaan itu. Kecintaannya pada buku membuat Bu Sina menerima beban sebagai penjaga perpustakaan, sekalipun sebenarnya ia cukup pantas menjadi karyawan bagian lain di selolah ini. Gagasan tentang ditambah beberapa fasilitas yang memadai, juga menjadi salah satu kebanggaan sendiri bagi Bu Sina. Ia yakin dengan rencana itu, akan semakin banyak siswa yang menyukai perpustakaan dan buku.

Keduanya berbarengan hingga gerbang depan, senja benar-benar telah lenyap membuat gelap segera menyelimuti semesta. Hesty memilih naik angkutan umum untuk segera sampai ke rumahnya, walau ia lebih nyaman di perpustakaan namun ia tidak punya pilihan lain selain kembali di rumah yang seperti neraka itu. Segala sesuatu tentang rumahnya selalu membuatnya enggan kembali, andai bukan karena Ibu dan Heby, adik satu-satunya itu mungkin Hesty memilih pergi meninggalkan rumah yang penuh dengan kepahitan.

Gadis itu baru saja hendak membuka pintu ketika suara gaduh terdengar cukup keras dari halaman rumah. Ia menatap nanar pada motor hitam yang terparkir di samping beranda, dengan melihatnya saja ia sudah tahu siapa dalang dari kegaduhan tersebut. Ia berusaha tetap tenang, memasuki ruang demi ruang menghindari serangkaian barang yang berjatuhan, juga rengekan perih dari seorang wanita tersungkur di sudut ruang. Pelipis wanita itu terlihat berdarah, sedang benda panjang yang di bawa lelaki kekar berotot juga meneteskan darah di ujungnya. Gerakan lelaki itu terhenti atas kedatangan Hesty, merasa di acuhkan, lelaki yang mengaku sebagai ayahnya itu menarik pergelangan kakinya hingga Hesty hampir terjatuh. Ia berpegangan pada sofa yang menahan tubuhnya jatuh ke lantai, tanpa kata Hesty berdiri kembali dan mencoba berjalan.

Melihat tingkah Hesty, lelaki yang dengan label petinju kelas berat itu lebih geram, ia tak hanya berteriak namun kini mulai mencambukkan pada pergelangan kaki Hesty. Gadis itu terjerembab, menyebabkan kepalanya terbentur tembok. Darah segar meluncur lambat dari dahinya, ia mengusapnya dengan punggung tangan.

"Maumu apa sekarang" Teriak Hesty pada lelaki itu, tatapannya mendadak geram tak kala melihat tubuh mungil tergeletak lemah di samping lemari es.

"Lancang kau, sekarang kau berani membentak ayahmu" Lelaki itu mendekat siap mencambukkan kembali rotan lentur yang ia bawa

"Kenapa tak kau bunuh saja sekalian musuhmu, biar kau puas dengan kekalahanmu hingga tak setiap kali kau tumbang, keluargamu kau jadikan pelampiasan" Teriak Hesty di luar kendali, entah dari mana kekuatan melawan itu ia dapatkan, namun ia sadar diam tidak akan menyelesaikan masalah.

"Kurang ajar kau ya, beraninya kau melawan orangtua" Lelaki itu kalap, ia menatap Hesty tajam seakan siap mengayunkan beberapa cambukan lagi ketubuhnya.

"Hentikan" Wanita yang menjadi ibunya itu tak hanya berteriak, ia juga membawa sebuah botol plastik beserta korek api di tangannya

"Kau gila ya" Ucap lelaki itu menyadari kali ini wanita yang telah hidup dengannya tidak main-main, wanita itu menumpahkan seluruh isi dari botol ke tubuhnya dan berniat menyalakan korek api.

"Ya aku gila, aku wanita gila yang membiarkan anak-anaknya di injak-injak oleh lelaki pengecut sepertimu" Tatapan wanita itu tajam" Aku gila " Teriaknya berhasil membuat lelaki kekar itu pergi dengan membanting pintu.

Sepeninggalan ayahnya Hesty segera tersadar dan menuju ketempat Heby, gadis 7 tahun itu bernafas cukup lemah. Hesty memangku adiknya dengan lembut, air mata tak henti menetes di setiap sudut. Ia benar-benar telah bosan dengan keadaan ini, namun ia tak mampu berbuat banyak untuk melindungi Heby.

"Bawa Heby kekamar" Perintah wanita yang telah melahirkannya

"Sekali lagi dia seperti ini, maka penjara tempatnya kembali" Geram Hesty sambil menggendong Heby pergi.

Tiada jawaban atau bantahan dari wanita itu, dari sudut matanya Hesty dapat melihat wanita itu sempat menghela nafas sebelum pergi entah kemana. Hesty sudah tidak peduli lagi, ia segera membawa Heby ke kamar membaringkannya dan mengobati lukanya. Ia terduduk lemas, ternyata ia masih belum mampu melawan lelaki itu, ia menyesal, andai ia segera pulang mungkin akan sedikit mengubah keadaan, mungkin adik kecilnya tidak akan terluka, mungkin ialah yang jadi satu-satunya pelampiasan ayahnya.

Setidaknya hal itulah yang mampu ia pikirkan sekarang, ia tak menyangka, ayahnya hari ini pulang, padahal menurut prediksinya, lelaki itu akan bertanding di luar daerah. Hingga di mungkinkah tidak akan kembali cukup lama, namun perkiraannya meleset, bahkan ini lebih cepat dari yang ia duga. Bila seperti ini, jadwal tanding lelaki itu bukan lagi jadi patokan, disisi lain, Hesty frustrasi, ia tak dapat berbut apa-apa lagi bahkan setelah pengorbanan kak Hedar. Kenangan dengan lelaki yang ia sayangi itu berputar cepat di ingatan, segala tentangnya terlintas lebih jelas.

Sudah dipastikan, kelima sahabatnya histeris mendapatinya datang dengan banyak luka. Ia juga tidak sempat mengobatinya hanya berusaha menghentikan pendarahannya dan memasang plaster. Setelah pertengkaran dengan ayahnya mendadak ia kelelahan dan pingsan. Saat tersadar ia dalam keadaan tidur di ranjang bersama Heby dan berselimut, ia yakin ibunyalah yang melakukannya.

Kelima gadis itu segera menyeretnya ke ruang UKS dan walau yang mengobati Icya yang lain tak mau pergi, mereka ikut merintih saat Icya muali membersihkan luka di tubuh, mereka juga berteriak saat secara langsung melihat memar dan luka yang belum kering. Hesty terharu pada perhatian teman-temannya, sekalipun terkadang dia kesulitan mengimbangi namun mereka seolah berusaha menuntunnya untuk sampai didekat mereka. Sejujurnya Hesty sangat senang dapat menjadi bagian dari mereka, yang walaupun mereka berada diatasnya. Tak sedikit saja dari kelima sahabatnya itu merasa tinggi hati dan yang lebih penting mereka saling menyayangi.

Hesty sempat takjub saat Icya dengan lihai mengobati luka luarnya, gadis itu juga membuat beberapa resep dan memberinya beberapa perban sebagai pengganti. Mereka juga berjanji akan datang kerumahnya guna melihat keadaan Heby, walau pagi tadi gadis itu terlihat baik-baik saja namun Hesty cukup cemas sekarang.

Beruntung luka Heby memang tidak parah, sepertinya gadis itu langsung pingsan saat ia terlempar dan terantuk pada pintu lemari es. Icya juga sempat mengobati ibunya yang hanya terdiam sejak semalam, Hesty juga tidak berniat untuk menanyakan apapun, baginya ia merasa wanita itu ambil peran besar atas kemalangan yang ia dan Heby hadapi, bahkan kak Hedar.

"Heby sudah baikan kok, mungkin nanti malam ia akan sedikit panas namun itu reaksi yang lumrah untuk mengantisipasinya udah ku siapkan obat dan kompres" Ucap Icya sambil mengemasi kotak obatnya

"Thanks ya Cy" Ucap Hesty tulus, ia sudah tidak ingat kapan gadis itu sudah cukup mahir dalam hal pengobatan

Teman-temannya masih betah dirumah sederhananya, bahkan Heby ikut bermain bersama mereka. Banyak hal yang dapat mereka obrolkan, juga cara membuat gadis tujuh tahun itu tertawa senang. Hesty sempat celingukan saat tidak mendapati ibunya dimanapun, namun ia berusaha berfikir positif terlebih saat ada mereka disini.

Teman-temannya ijin pamit saat hari sudah benar-benar gelap, sepertinya mereka masih cemas bila ayah Hesty pulang saat itu. Namun ibunya telah meyakinkan bahwa lelaki itu tidak akan pulang dalam waktu dekat, hingga membuat kelima temannya bernafas lega. Untunglah lelaki kasar tidak kembali lagi setelah Minggu ini, Hesty juga sudah tidak lagi berniat berlama-lama di perpustakaan. Dia memilih untuk meminjamnya dan membaca di rumah, sekalipun ia tidak yakin akan cukup berguna saat lelaki itu kembali namun setidaknya ia dapat melindungi Heby.