"Rumah dengan cat biru muda, keramik warna crem ya Mas Huda." Kak Rara mengirimkan pesan whatsapp kepada Mas Huda. Dan tentu saja pesan tersebur dibaca Mas Huda pada saat maps di ponselnya memberikan aba-aba kalau sudah sampai di tujuan.
"Sepertinya itu rumahnya Rara," batin Mas Huda yang lantas mengarahkan sepeda motornya ke depan sebuah rumah dengan ciri yang disebutkan oleh Kak Rara.
"Hey ... akhirnya sampai juga," teriak Kak Rara yang terlihat membuka pintu. Dengan mengenakan hot pant serta atasan dengan bahan kaos berwarna merah yang lumayan ketat.
"Rara?" batin Mas Huda saat melihat penampilan temannya itu di hadapannya. Sambil membuka helm dan melepas jaketnya dia hanya bisa merasa sedikit heran dengan kelakuan Rara. Dia pun lantas berjalan menuju teras rumah Kak Rara yang sudah menyambut dirinya.
"Hey ... makin seksi saja! He ... he," kata Mas Huda dengan sengaja memancing respon Kak Rara.
"Ya ... beginilah keseharianku Hud. Nyaman, bebas. He ... he," sahut Kak Rara yang semakin memperlihatkan kegenitannya dan kemudian mengajak Mas Huda untuk masuk.
"Kok sepi Ra?" tanya Mas Huda.
"Biasa lah, jam segini anakku masih sekolah. Ibuku di toko kelontong sebelah itu setiap harinya," jawab Kak Rara sembari tersenyum.
Memang, sedikit banyak Mas Huda sudah mengetahui tentang Kak Rara, meski baru kali ini sampai di rumahnya.
"Btw, rumah kamu ini ternyata nggak jauh dari SMA 9 tadi. Bisa-bisanya kamu malah suruh aku nunggu lama di sana. Emangnya lagi ngapain tadi lama amat share lok aja?" tanya Mas Huda.
Kak Rara pun tertawa dan meminta maaf kembali kepada Mas Huda.
"Kalau aku bilang sebenarnya, ntar kamu ngetawain lagi, makanya aku biarin saja kamu nungguin lama di sana. He ...he," kata Kak Rara.
"Halah ... paling juga sebenarnya kamu baru bangun kan?" Mas Huda sekedar asal menebak saja.
"Lho ... kok bisa tahu sih kamu? Jangan-jangan, kamu sebenarnya punya indra ke enam ya Hud?" sahut Kak Rara.
"Wah ... ini. Kalau aku punya indra ke enam, ngapain aku capek-capek nunggu di sana selama lebib dari lima menit tadi?" sahut Mas Huda sembari mencoba kembali teh yang disediakan oleh Kak Rara.
"Eh ... ada tamu?" sapa seorang wanita yang datang dari arah luar.
"Ibuk? Tokonya ditinggal?" tanya Kak Rara.
"Cuma sebentar, ini perut ibu mules. Apa karena kebanyakan sambal waktu makan bakso semalam ya?" sahut Bu Weni, ibunya Kak Rara. Dia lantas buru-buru masuk setelah sejenak bersalaman dengan Mas Huda dengan pandangan sedikit aneh saat melihat kelainan pada lengan kiri Mas Huda.
"Ini, ibuk Mas. Kenalin," kata Kak Rara.
"Huda," kata Mas Huda.
"Oh, iya. Maaf ibu langsung ke belakang dulu ya," kata Bu Weni.
"Silahkan Ibu," jawab Mas Huda.
"Di toko ada siapa Bu?" teriak Kak Rara karena ibunya sudah berlalu dari kamar tamu.
"Titip sebentar sama Siti," jawab Bu Weni.
"Oo, ya sudah," jawab Kak Rara.
"Kayaknya, ibu kamu nggak selisih jauh usianya sama ibuku Ra. Kelahiran tahun berapa beliau?" tanya Mas Huda.
"Tahun enam lima Hud. Ya ... tapi ya gitu. Ibuku sudah hidup menjanda sejak aku masih kecil. Hebat," sahut Kak Rara.
"Benar berarti. Ibuku kelahiran 67. Iya, beliau pasti orang hebat," jawab Mas Huda.
"Iya. Dan aku melihat jelas ibuku terlihat begitu sedih ketika anak perempuannya satu-satunya, mengalami nasib yang sama dengannya. Sama-sama menyandang status sebagai janda. Hah ... ya sudahlah, gimana lagi sudah menjadi jalannya kali ya." Kak Rara mulai curhat kepada Mas Huda.
"Aneh juga kalau dipikir-pikir. Rumah ini, ada tiga perempuan dengan rentang usia yang berurutan. Nenek, anak sama cucu. Mudah-mudahan saja, anakku kelak tidak mengalami nasib yang sama seperti nenek dan ibunya," kata Kak Rara lagi.
"Aamiin," sahut Mas Huda.
"Sambil diminum Hud. Pokoknya nanti harus habis lho ya. Xi xi xi," kata Kak Rara.
"Kembung, kembung deh," sahut Mas Huda.
"Enggak ...," sahut Kak Rara.
"Lagian kamu curang. Buat aku segedhe ini, buatmu sendiri gelasnya cuma setengahnya." Mas Huda memprotes ulah yang dilakukan Kak Rara kepadanya.
"Kan udah dibilang, biar kamu lamaan di sini," kata Kak Rara.
"Padahal sebenarnya, aku habis ini ada acara lho Ra," kata Mas Huda.
"Kencan sama siapa lagi kamu emangnya? Nadia?" tanya Kak Rara kepo.
"Nadia aja mudik," jawab Mas Huda.
"Ooh ... mudik??" tanya Kak Rara dengan raut wajah tak begitu suka.
"Jadi gimana Ra? Ada perlu apa kok kayaknya kemarin penting banget," tanya Mas Huda.
"Sebentar, kamu mau minum apa dulu nih? Teh, kopi, apa kopi susu? He ... he," tanya Kak Rara sambil tersenyum.
"Wah ... berat kalau kopi susu. Ngeri," sahut Mas Huda.
"Wkkk ... ngeri apa ngiri?" sahut Kak Rara.
"Kopi susu itu bikin bingung. Lebih baik kopi ya kopi saja. Susu ya susu saja. Wkkk," sahut Mas Huda. Obrolan keduanya pun bisa sampai kemana-mana kalau sudah mengarah ke arah sana. Padahal hanya masalah kopi susu saja sebenarnya.
"I see ... kamu ini emang dasar. Otak ngeres," sahut Kak Rara.
"Lagian, kamu juga. Nemenin tamu pakai bajunya kayak gitu. Haddeh ...," sahut Mas Huda.
"Bukannya? Membahagiakan tamu itu berpahala katanya ya? He ...," kata Kak Rara sambil tertawa geli.
"Ya ... ya. Terserah deh," sahut Mas Huda.
"Jadinya bagaimana ini? Minumnya tadi?" tanya Kak Rara.
"Oiya, malah cuma muter-muter aja dari tadi. Teh aja deh, boleh," jawab Mas Huda.
"Akhirnya ... cuma teh yang jadi pilihan. Ya sudah, aku buatin dulu teh spesial buat kamu ya. Tunggu!" kata Kak Rara.
"Yo'i," sahut Mas Huda.
"Nih, teh spesial buat orang yang spesial juga. He ... he," kata Kak Rara setibanya di ruang tamu kembali sembari menaruh segelas besar teh di atas meja.
"Wuiih ... gedhe amat Ra," kata Mas Huda.
"Sengaja, kan aku memang sukanya yang gedhe-gedhe. Kayak nggak hafal aja kamu ini. Wkkk," jawab Kak Rara.
"Iya sih, yang gedhe memang menggoda. Wadduh ... panas lagi!" teriak Mas Huda saat memegang gelas minumnya.
"Kamu ini, mentang-mentang lihat yang besar-besar jadi nggak sabaran gitu sih Hud ...,Hud," sahut Kak Rara menertawakan Mas Huda yang masih kepanasan.
"Parah! Udah besar, panas lagi." Mas Huda pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sengaja kan, biar lama di sininya. He ... he," sahut Kak Rara.
"Haddehh. Ternyata modus. Ini sebenarnya kamu mau bilang aja sih Ra?" tanya Mas Huda.
"Nah ... itu dia, yang ingin aku sampaikan dari tadi. Yuk, ikut ke dalam!" Kak Rara menarik lengan Mas Huda dan mengajaknya masuk ke sebuah kamar.
"Hey! Ngapain kamu tarik aku ke kamar segala Ra? Jangan bercanda kamu lho Ra!" Mas Huda berkata dengan dada yang berdebar-debar.
****
Bersambung ...