"Hari? Kok ... kamu bisa ke sini?" Nadia terkaget saat melihat tamunya yang baru datang dan duduk sendirian di ruang tamu.
"Eh ... Nad." Hari berdiri dan mengajak bersalaman dengan Nadia.
"Kamu apa kabar? Kok bisa tahu kalau aku sedang di rumah sih? Duduk Har. Oiya, mau minum apaan? Teh. kopi, jeruk?" tanya Nadia sebelum menemani Hari duduk di kursi tamunya.
"Halah ... nggak usah repot-repot Nad. Aku cuma mampir kok, barusan dari rumahnya Jupri ini tadi. Udah makan minum di sana juga," sahut Hari.
"Serius? Nggak dibuatin minum sama aku nih?" tanya Nadia.
"Iya, serius."
Nadia benar-benar tidak jadi membuatkan minum untuk Hari.
"Ngomong-ngomong, sibuk ngapain sekarang kamu Har? Terus, ceritanya gimana bisa sampai sini? Padahal waktu SMP aja kamu sama sekali nggak pernah main ke sini kan ya?"
"Enak aja ... aku pernah ya main ke sini dulu, waktu pinjam buku catatan waktu aku nggak sekolah 3 hari," sahut Hari.
"Sebentar-sebentar. Waktu kamu ... sakit tipes atau apa itu ya? Gara-gara minta dibeliin motor sama Bapak kamu? Iya nggak? He ... he." Nadia mencoba mengingat kenangannya di masa beberapa tahun yang lalu.
Hari pun tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya karena malu.
"Kalau yang jelek-jelek gitu ... inget aja kamu ya Nad. Wkk," sahut Hari.
"Ya ... nggak gitu juga kali. Tapi ya ... gimana? Kenangan yang paling mudah diingat biasanya kan emang yang semacam itu. Wkkk," sahut Nadia yang juga sama-sama tertawa.
"Belum lagi, kalau di kantin habis olahraga. Makan gorengan 4 ngakunya cuma 2. Wkkk," sahut Hari.
"Itu kamu kali, kalau aku mah anak baik nggak kaya gitu." Nadia menolak melakukan kenakalan seperti yang dikatakan Hari.
"Kamu sibuk ngapain sekarang Nad? Minta nomor wa kamu dong. Besuk kapan-kapan kalau aku pas pulang biar bisa ketemuan lagi. Syukur-syukur bisa reunian sama teman-teman yang lain juga." Hari mengeluarkan ponsel model terbaru miliknya.
"Wah ...ponsel orang kaya," sahut Nadia yang kemudian mendektekan nomor wa nya kepada Hari.
"Aku telpon ya. Ntar jangan lupa disimpen!" suruh Hari.
"Iya, nanti tak simpen. Hpku baru dicas di kamar soalnya. Btw, kamu sibuk ngapain sekarang Har?" tanya Nadia.
"Ini ... aku mau persiapan berlayar lagi Nad. Udah hampir sebulan ini di rumah aku," jawab Hari.
"Owalah ... sekarang kamu kerja di pelayaran to? Pantes ... HP kamu mahal gitu. Jangan-jangan, kamu ke sini juga bawa mobil ya Har?" Nadia mendongokkan kepalanya ke arah halaman rumah.
"Enggak Nad. Aku bawa motor doang kok. Rasanya belum perlu, besuk aja kalau udah punya keluarga dan anak baru beli. Sama Bapak Ibu aku dibilangin, nggak usah beli mobil dulu lagian juga kalau beli juga cuma ditinggal berbulan-bulan. Nggak ada yang makai juga di rumah. He ... he." Hari menceritakan kepada Nadia perihal pandangan kedua orang tuanya.
"Ooh ... begitu? Kirain, kamu ke sini mau pamer sama aku. Sorry ya Har, aku dah su'udzon sama kamu tadi. He ... he," kata Nadia sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.
"Ah ... kamu ini. Kalau kamu sendiri sibuk ngapain?" tanya Hari.
"Aku ... yah, kayak gini lah Har. Jadi malu sendiri sama kamu," sahut Nadia.
"Malu kenapa? Tak lihat kamu juga pakai baju lengkap gitu," sahut Hari yang justru bercanda.
"Malu aja, kamu udah keliling dunia. Udah bisa ngebahagiakan orang tua. Lha aku, masih gini-gini aja," sahut Nadia.
"Gini-gini aja itu maksudnya apa? Aneh kamu. Masih sehat, punya rumah, punya keluarga. Kurang apa coba? Kita kan cuma harus bersyukur aja Nad," sahut Hari.
"Wah wah wah. Tujuh tahun nggak ketemu, ternyata kamu udah berubah seratus delapan puluh derajat ya Har. Makin dewasa aja pemikiran kamu sekarang. Aku jadi ikut senang. He ... he." Nadia tampak tertawa mengomentari kata-kata Hari.
"Ya ... namanya orang itu yang penting kan katanya harus lebih baik dari hari sebelumnya. Nah ... baru jadi orang yang beruntung," sahut Hari.
"Kamu tadi belum jawab Nad. Sibuk ngapain? Kuliah ya?" tanya Hari.
Nadia tersenyum sebelum menjawab,"Iya Hari. Aku masih kuliah. Doain ya, bisa segera lulus dan nyusul kerja kayak kamu," jawab Nadia.
Hari melotot sambil bertanya,"Kamu mau ikut aku di pelayaran Nad?"
"Eh ... ya enggak lah, masak ikut ke pelayaran sama kamu. Ngapain coba? Maksudku itu, ngikut kamu biar bisa kerja nyenengin kedua orang tua gitu." Nadia membantah kata-kata Hari yang bahkan menatapnya sambil melotot.
"Ooh ... kirain mau ikut aku di pelayaran juga. He ... he. Lho, tapi nggak apa-apa lho Nad. Siapa tahu rejeki kamu nantinya juga di sana. Kita jadi sering ketemu kan nanti," sahut Hari.
"Lagian, kayak aku ini kalau kerja di pelayaran juga peluangnya susah kan Har. Jurusan kuliah aku nggak ada nyambung-nyambungnya sama dunia pelayaran. He ... he," sahut Nadia.
"Emm ... ngomong-ngomong, boleh tanya yang agak sedikit pribadi nggak Nad?" tanya Hari yang tiba-tiba saja bertanya dengan nada perlahan.
"Pribadi? Maksud kamu apa sih Har? Aneh kamu, tiba-tiba ngomong kayak gitu," sahut Nadia.
"Ya ... nggak apa-apa. Ada kalanya kan, kita boleh ngomong serius," sahut Hari.
"Ya udah, emangnya kamu mau tanya apa sih Har? Kalau memang aku bisa jawab, nanti bakalan tak jawab sekarang juga. Tapi kalau nggak ya, ntar tak carikan jawabannya di buku apa gugel dulu ya. He ... he." Nadia menjawab dengan santainya.
"Oke. Aku ... sebenarnya sejak sekolah dulu, suka sama kamu Nad. Kamu, mau nggak kalau jadi pacar aku?" Hari tampak memberanikan diri untuk menembak Nadia, bahkan tanpa bertanya dulu bagaimana posisi Nadia saat ini. Apakah dia sudah memiliki kekasih atau belum.
"Kamu ngigau Har?" sahut Nadia.
"Kok ngigau sih? Tidur juga enggak, masak dibilang ngigau?" sahut Hari.
"Gimana? Mau nggak jadi pacar aku? Tapi ... tahu sendiri resikonya Nad. Pacaran sama orang kayak aku ini, nanti bakalan LDR lumayan lama. Tapi kamu nggak usah khawatir, aku orangnya setia kok. Suerr," kata Hari sambiil mengacungkan jari tengah dan juga jari telunjuknya dan menunggu jawaban dari Nadia. Cewek yang sudah dia kagumi sejak masih si SMP dulu. Sementara itu, Nadia merasa bingung harus berkata apa kepada Hari, temannya yang tiba-tiba saja datang dan mengajaknya untuk menjadi pacarnya. Entah mengapa juga, dia jadi teringat dengan sosok Mas Huda. Pria Jogja yang beberapa hari belakangan ini begitu perhatian kepada dirinya. Meski dia sendiri sebenarnya juga tak begitu yakin dengan perasaannya sendiri dengan pria tersebut. Hanya hati kecilnya ada kalanya merasakan sebuah kenyamanan yang begitu berbeda saat sedang berberbicara atau bahkan hanya sekedar saling berkirim pesan lewat chat di wa.
*****
Bersambung ...