"Ini udah nggak ada lagi yang butuh sentuhan saya hari ini Wik?" teriak Mas Huda yang merasa sudah menyelesaikan semua pekerjaannya.
"Bentar, tak liatin dulu Mas," sahut Dewi.
"Ah ... ini yang Asus juga Oke Mas Huda. Terus, printer laser, juga Oke katanya. Semangat!!. He ... he," jawab Dewi.
"Kalau printernya nggak bisa kalau sekarang itu Wik, aku musti cari sparepartnya dulu besuk," sahut Mas Huda.
"Oke Mas, habis ini tak kasih tahu yang punya," sahut Dewi sembari melayani pelanggan yang hendak membeli sesuatu di depan.
Mas Huda sudah mulai sibuk kembali. Meraih laptop Asus yang layarnya ada garis. Hari minggu, sudah lumayan menyelesaikan 5 servisan sekaligus. Kalau satu servisan saja sudah dapat penghasilan 100 ribu saja, sudah 500 ribu sendiri didapat olehnya.
Sementara itu, Nadia yang masih berada di rumahnya di Solo, sedang bersih-bersih kamar. Tiba-tiba ibunya masuk dan mengajak ngobrol.
"Nduk, lagi sibuk?" tanya Bu Wati yang lantas masuk dan duduk di atas kasur putrinya.
"Eh ... Ibuk. Enggak kok Buk, ini daripada bingung mau ngapain mending bersih-bersih aja, buang-buangin kertas Nadia yang nggak kepakai," jawab Nadia.
"Taruh kardus saja besuk kalau ada pemulung biar dibayarin sama dia," suruh Bu Wati.
"Hah ... kalau sekolah jaman dulu itu, buku-buku bisa dipakai adik-adiknya beberapa tahun kemudian. Kalau sekarang, buku cuma sekali pakai ya Nduk," tambah Bu Wati sambil melihat Nadia membereskan buku-buku LKS dengan beralaskan tikar di lantai.
"He ... he. Ya, kalau buku paket masih bisa lah Buk. Kalau LKS gini baru yang sekali pakai biasanya. Kadang kita ngerjakan tugas juga kan langsung di sini jadi dalamnya udah banyak coret-coretan," jawab Nadia sembari tersenyum saja.
"Rania kemana Buk? Kok perasaan, dari sejak sarapan tadi kayaknya udah ngilang aja ya?" tanya Nadia.
"Adik kamu itu, ya kalau jam segini biasa to. Pasti main sama teman-temannya," jawab Bu Wati.
"Ya ... nggak apa-apa Buk. Yang penting anaknya tetap bertanggung jawab sama sekolahnya" sahut Nadia.
"Lha, kamu sendiri gimana Nduk? Kuliah lancar kan? Ingat! Ibu berulang kali bilang lho ya, kuliah tetap yang paling utama daripada kerja," tanya Bu Wati.
"Iya Bu, Nadia selalu ingat pesan Bapak dan Ibuk kok. Tenang aja. Kuliah Nadia alhamdulillah lancar. Tahun depan, insyaAllah bisa mulai skripsi," jawab Nadia.
"Syukurlah ... semoga dilancarkan sama Allah ya Nduk. Ibu hanya bisa mendoakan setiap selesai sholat," kata Bu Wati sembari menepuk pundak sang putri.
"Bagi Nadia, itu semua sudah lebih dari cukup Buk. Yang terpenting juga, Ibuk sama Bapak jaga kesehatan terus. Jadi meskipun Nadia ada kalanya nggak bisa pulang, tapi hati rasa tenang. Ya Buk."
"Iya Nduk. Ya, namanya orang tua, kalau ada kalanya sakit itu hal biasa Nduk. Minum obat dari apotek ntar juga sembuh sendiri. Justru Ibuk yang sering kepikiran sama kamu yang hidup sendirian, kalau pas lagi sakit bagaimana?" sahut Ibu Wati sembari menatap ke atas membayangkan saat putrinya esuk hari sudah pergi dari rumah itu lagi.
Nadia hanya tersenyum, dia beranjak dari duduknya dan beralih ke atas kasur di samping Bu Wati.
"Nggak apa-apa. Kalau Nadia pas sakit, juga ada teman-teman kok yang perhatian Buk. Kami kan sama-sama merantau, jauh dari keluarga. Jadi udah kayak saudara. Lagipula, ada Allah yang selalu jagain dimanapun Nadia berada. Gitu kan yang dulu selalu Ibuk bilang? He ... he," sahut Nadia sembari memeluk ibunya.
Keduanya tampak saling melepas rindu. Yang entah kapan lagi nantinya akan kembali bertemu. Karena jadwal kepulangan Nadia juga tak tentu, menyesuaikan dengan waktu senggangnya antara kuliah dan bekerja paruh waktu.
"Kamu jangan capek-capek. Besuk lagi beresin kamarnya. Di rumah kan waktunya untuk berisritahat. Udah makan belum? Ibu masakin sayur daun singkong kesukaan kamu," suruh Bu Wati.
"Iya Buk, habis ini Nadia juga mau istirahat kok. Nadia udah makan, malah sampai nambah tadi waktu Ibu pergi takziah ke kampung sebelah," jawab Nadia.
"Syukurlah kalau begitu. Ibuk ke kamar sebentar, mau bangunin Bapak kamu jangan-jangan malah belum makan siang sudah jam segini." Bu Wati keluar dari kamar putrinya sementara Nadia melanjutkan membereskan buku-buku miliknya.
'KLUNG'
"Nad, gimana? Kok belum kirim list lagunya?"
"Ups, Mas Huda sampai nagih. Padahal kan sebenarnya justru aku yang butuh," batin Nadia sembari tersenyum sendiri mendapatkan perhatian dari Mas Huda sampai segitunya. Dia lantas mengambil kertas dan menuliskan beberapa lagu yang terbesit di dalam ingatannya.
"Ini Mas Huda, maaf."
"Oke," sahut Mas Huda.
"Udah selesai kerjaanya Mas?"
"Anggap aja udah. Lanjut besuk lagi aja lah, lagian beberapa juga harus cari sparepart dulu."
"Alhamdulillah. Bisa buat istirahat ya Mas? Emangnya toko tutup jam berapa kalau hari minggu gini Mas?"
"Nggak tentu, suka-suka badan kebanyakan. He ... he."
"Gitu ya? Enaknya jadi pengusaha. Mau libur tinggal libur aja. Beda kalau kayak saya gini. Mau nggak mau harus ikut aturan dari atasan. He ... he,"
"Ya, semuanya ada baik buruknya lah Nad. Jadi kayak saya juga suka pusing kalau waktunya bayar kontrakan sama karyawan. He ... he."
"Tapi seneng aja lihatnya Mas. Waktunya fleksibel, nggak tahu kalau di balik itu semua bagaimana dukanya jadi kayak Mas Huda."
"Kalau orang jawa bilangnya 'wang sinawang'. Kadang kita lihat enaknya saja sama orang lain, sementara kita juga sebaliknya melihat orang lain. Yang penting kita syukuri saja yang diberikan kepada kita. Iya nggak?" sahut Mas Huda.
Nadia tersenyum membaca tulisan dari Mas Huda. Dia sendiri juga setuju dengan pandangan Mas Huda barusan. Apalagi, kalau mengingat Mas Huda yang memiliki kekurangan fisik. Melihat apa yang telah diraihnya, kemandirian dan kerja kerasnya itu membuat Nadia semakin kagum kepadanya.
"Setuju Mas Huda. Sebenarnya kalau kita mau jujur, di dunia ini nggak ada manusia yang serba bahagia. Semua pasti punya ujiannya masing-masing," sahut Nadia.
"Tuh, dah masuk semua ke laptop kamu." Mas Huda mengirimkan foto layar laptop yang sudah diintal banyak sekali list lagu untuk Nadia.
"Waah ... banyak sekali Mas. Nggak ngeganggu kinerja nanti itu Mas?"
"Enggak lah, aman."
"Kak Nadia ... ada tamu tuh." Rania yang ternyata sudah pulang, berteriak dari depan kamar kakaknya.
"Ya Dik, siapa emangnya?"
"Tahu," sahut Rania.
"Mas Huda, udah dulu ya. Ada tamu soalnya kata adikku," kata Nadia menutup chat percakapan dengan Mas Huda. Dia pun menaruh ponselnya di atas kasur dan segera memakai kerudung instan dan segera menemui tamunya.
"Siapa ya? kok bisa tahu kalau aku sedang di rumah?" batin Nadia.
*****
Bersambung ...