Menjelang malam, Jino tampak memasuki rumahnya. Ia menyapa Adrina yang sedang menonton drama korea di ruang keluarga.
"Daddy udah pulang?"
Gadis itu menyambut kedatangan Daddynya. Jino duduk di sofa tepat bersebelahan dengan Adrina.
"Kalau belum pulang kenapa Daddy bisa di sini?"
Putri Jino itu tertawa. Ia bangkit untuk mengambilkan air minum Jino. Sejak kecil, Adrina sudah dibiasakan untuk menyiapkan air minum setelah Jino pulang bekerja. Hanya sebatas itu saja tugasnya namun Adrina sangat menyukainya. Ia menganggap itu adalah tanda baktinya pada Jino. Sementara untuk urusan makan malam tentu saja Sheva yang melayani.
Jino meneguk air dalam gelas besarnya seraya berucap,
"Terimakasih,"
Sementara Adrina kembali fokus menonton Televisi ditemani cemilan kesukaannya. Lelaki itu mencoba untuk mengalihkan perhatian Adrina.
"Adrina, Mommy mana?" tanya langsung. Jino meletakkan tas kerjanya di atas meja. Lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku.
Ia menyandarkan bahunya pada sofa untuk menghilangkan penat. Sekarang Jino sudah terbiasa dengan segala kesibukannya di perusahaan yang dipipimpinya. Keluar dari dunia entertainment adalah pilihannya sejak kelahiran Adrina tujuh belas tahun lalu.
"Ada, di dapur. Mommy belum selesai masak," jawab gadis cantik yang dibalut piyama berwarna merah muda itu.
Jino mengusap puncak kepala putrinya lalu bangkit.
"Kenapa gak bantuin Mommy? nonton aja kerjaannya,"
"Katanya gak usah bantu,"
Jino memasang ekspresi tidak percaya yang konyol membuat Adrina tertawa keras.
"Makan malam udah siap," seruan Sheva berhasil menghentikan interaksi antara anak dan ayah itu. Mereka berdua menatap Sheva yang datang seraya memegang piring.
Adrina langsung berlari ke arah Sheva. Dan matanya langsung menatap liar bakwan jagung di piring tersebut. Benar-benar membuatnya tak sabar ingin melahap.
Adrina mengangkat tangannya untuk mengambil salah satu bakwan. Namun ucapan Mommynya berhasil menginterupsi kegiatannya tersebut.
"Cuci tangan dulu!"
Gadis itu mengela napas pasrah menahan nafsunya untuk beberapa saat. Ia segera pergi ke wastafel untuk membersihkan tangannya.
Sementara Jino tersenyum manis pada Sheva walaupun ada lelah yang terlukis di wajahnya. Jino melingkarkan tangannya di pinggang Sheva kemudian berbisik,
"Kangen sama kamu,"
Sheva menyelesaikan interaksi intim mereka. Ia khawatir Adrina menyaksikannya.
Jino melipat wajahnya saat Sheva mengusir tangannya.
"Kenapa di lepas sih?" tanya nya dengan kesal. Sheva tersenyum seraya mengusap wajah lelakinya yang tampan.
"Kamu harus makan dulu,"
Jino mencibir dengan matanya yang berputar. Terlihat konyol di mata Sheva.
"Untung alasannya bukan karena udah bosan sama aku,"
Sheva menghempas lengan suaminya yang tadi di genggamnya.
"Gak ada bosan kalau sama kamu,"
Jino tersenyum bahagia mendengar jawaban Istrinya. Ia menepuk puncak kepala Sheva dengan lembut kemudian membawa Istrinya ke ruang makan. Dimana Adrina sudah mengambil makanannya sendiri.
"Tumben gak minta ambilin sama Mommy?"
Sheva terkekeh memperlihatkan barisan giginya yang rapih.
"Udah kelewat lapar, Mom,"
Tanpa menunggu waktu lama gadis itu melahap bakwan kesukaannya. Sebenarnya Semua masakan Sheva menjadi makanan kesukaan untuknya. Cita rasa yang dibuat Sheva menurutnya tidak akan Ia dapatkan di restoran manapun.
"Tadi kamu kemana dulu setelah pulang sekolah?"
Di sela-sela kehangatan malam ini, Sheva mengajukan pertanyaan yang sejak tadi berputar di kepalanya. Namun belum sempat Ia tanyakan langsung pada Adrina karena setelah Adrina sampai rumah, Sheva sudah sibuk di dapur.
Lagipula biarlah gadis itu jujur di depan Jino. Kalau dengan Sheva, Adrina bisa dipastikan banyak berkelit.
Jino menyipit menatap anaknya yang langsung diam.
"Kemana?" tanya Jino.
"Tadi ke rumah Sinta,"
Namun kedua orangtuanya menginginkan jawaban yang jelas. Bukan sekedar satu kalimat pendek seperti itu.
"Ngapain main ke rumah teman? belum izin kan sama Mommy?"
Adrina membasahi bibirnya saat nada Jino mulai datar. Pertanda kalau Daddynya itu sedang dalam mode posesive.
"Aku kerja kelompok, Daddy. Dan maaf aku lupa izin ke Mommy dulu. Padahal HP aku ada," jawabnya dengan jelas. Jino mengangguk kemudian meraih air minumnya setelah nasi di piringnya sudah habis.
"Lain kali kalau ada kerja kelompok lagi, rumah kita ini bisa di pakai. Apa kurang luas? sebanyak apa anggota kelompok kamu?"
Jino sangat handal dalam membuat anaknya terdiam dengan telak. Ia tersenyum miring melihat raut gelisah di wajah Adrina.
"Mengerti sayang?"
Tanpa basa-basi putrinya langsung mengangguk patuh. Adrina tahu situasi ini tidak bisa Ia hindari. Tapi Ia bersyukur mempunyai orangtua yang begitu perhatian kepadanya. Walaupun menurut sebagian orang, cara mendidik yang diterapkan Jino dan Istrinya terlalu berlebihan, menurut Adrina itu sangat wajar. Mengingat Ia adalah anak perempuan tunggal dan hidup di masa modern ini memang perlu pengawasan ketat dari orang tua dalam menjaga anaknya.
"Hanya kamu harapan Daddy dan Mommy,"
Jika mendengar kalimat itu, Adrina merasa ada beban berat yang dipikulnya. Menurut Adrina, mewujudkan harapan Jino dan Sheva adalah kewajibannya.