Siang itu, Adrina pulang lebih cepat dari biasanya. Karena semua gurunya akan mengadakan rapat. Sheva juga bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Alhasil anak dan Ibu itu dapat berkumpul di siang hari. Mereka memutuskan untuk masak bersama.
"Tepung kayaknya kurang, Mom," ucap Adrina ketika melihat tepung di dapurnya sisa sedikit.
"Bik, persediaan tepung kita habis?"
Sheva mengalihkan matanya pada Reina yang sedang mengambil mangkuk dan sendok.
"Iya, Non. Sisa segitu aja,"
"Mommy beli dulu deh di minimart,"
Sheva melepaskan plastik yang berlumuran kentang halus dari tangannya.
"Adrina aja, Mom,"
Sheva menatap ragu putrinya. Tidak biasanya Adrina mau keluar untuk membeli perlengkapan dapur seperti itu.
"Yang bener?"
tanpa ragu Ia mengangguk pada Sheva. Sheva langsung mengambil kartu Debitnya untuk diserahkan pada Adrina.
"Hati-hati, ya. Nyebrangnya lihat kanan dan kiri," pesan Sheva pada putrinya seraya meletakkan kartu debit itu di tangan Adrina.
Adrina merasa kalau Sheva tengah meledeknya.
"Emangnya aku anak kecil?" jawabnya dengan bibir mengerucut.
Sheva tertawa dibuatnya. Ia mengusap puncak rambut anaknya.
"Pokoknya hati-hati!"
Adrina mengangguk lalu berjalan dengan langkah rianganya.
"Aku berangkat," seru gadis itu sebelum punggungnya hilang dari pelupuk mata Sheva.
"Udah besar anak Sheva, Bik," ucap Ibu satu anak itu pada Reina.
"Iya, tumben mau dikasih tugas kayak gitu," jawab Reina seraya tertawa. Bayangannya kembali pada masa lalu dimana Ia membantu Sheva dalam mengurus gadis cantik itu. Adrina adalah anak yang manja dan tidak pernah mau dilibatkan dalam segala urusan yang menurutnya merepotkan.
***********
Adrina meletakkan dua kilo tepung dan segala perlengkapan yang menurutnya diperlukan.
Tak lama ada seorang lelaki yang ikut meletakkan belanjaannya di dekat milik Adrina seolah ingin lebih cepat dihitung.
Tentu saja membuat Adrina berdecak kesal kemudian Ia menolehkan kepalanya. Matanya berputar saat bersitatap kembali dengan lelaki yang pernah bermasalah dengannya di taman tempo hari.
"Sabar dong!" bentak Adrina mengundang beberapa tatapan pengunjung.
"Adek ini dulu ya, Mas," kasir itu ikut menengahi. Lagipula Adrina memang tidak salah. Melihat Lelaki itu mengangguk, si kasir langsung menghitung total yang harus dibayar oleh Adrina.
"Totalnya seratus empat puluh sembilan ribu," ucap kasir perempuan itu.
Adrina memberikan kartu debit Sheva. Tangan Adrina meraih kantung belanja miliknya.
Setelah kartu itu kembali ke tangannya, Adrina mengatakan,
"Terimakasih,"
Mata tajam lelaki itu menatap punggung Adrina yang menghilang dibalik pintu transparan minimarket dan kasir menyadari hal itu. Bahkan Ia tersenyum tipis dengan gelengan di kepalanya.
"Jangan dipandang, Mas. Nanti jatuh cinta,"
Lelaki itu sempat gelagapan. Namun semaksimal mungkin Ia menutupinya.
"Jadi berapa totalnya? jangan merhatiin saya aja, Mbak,"
Kasirnya memaki dalam hati. Lelaki angkuh dengan segudang pesonanya memang berhasil membuat siapa saja berpaling.
**********
"Assalamu'alaikum," seru Adrina ketika memasuki rumahnya. Ia langsung berjalan ke arah dapur untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
Saat ini menu yang akan mereka buat adalah pempek dan perkedel kentang sesuai permintaan Adrina.
"Waalaikumsalam. Aduh kayaknya capek banget anak Mommy,"
Sheva menyambut kedatangan anaknya yang langsung duduk. Tangan Sheva terulur untuk mengusap kening Adrina.
"Mau lagi gak kalau disuruh beli keperluan dapur?" Sheva bertanya dengan jail. Penasaran dengan jawaban Anaknya.
"Dengan senang hati, Nyonya,"
Adrina memasang senyum manisnya. Sheva tidak tau kalau Adrina baru saja dirundung kekesalan.
"Ayo kita lanjut lagi masaknya,"
"Oke deh. Cuci tangan dulu, Mom," ucap Adrina mengingatkan Mommynya.
"Iya, sayang. Nanti gara-gara tangan Mommy yang abis ngelap keringat kamu, perkedelnya jadi keasinan,"
"Ih Mommy! keringat aku manis tau," rengekan Adrina membuat Sheva tertawa.
"Iya deh manis. Kayak orang yang punya keringatnya,"