Adrina bertepuk tangan riang saat masakannya dengan sang Mommy selesai dan terhidang dengan menggoda di atas meja makan.
"Enak kelihatannya," komentar Reina menatap tumpukkan pempek dan juga perkedel kentang.
"Semoga aja Daddy juga suka,"
Rasa lelahnya tergantikan dengan hasilnya. Antusiasnya kian menggunung karena sebentar lagi Jino akan pulang. Lelaki itu tidak tau kalau Adrina dan Sheva sama-sama pulang lebih cepat.
Bunyi ponsel Sheva yang berdering mengalihkan perhatian Adrina. Kebetulan posisi Adrina lebih dekat dengan ponsel Mommynya, oleh karena itu Ia yang meraihnya.
"Daddy yang telepon," ujarnya pada Sheva seraya menyerahkan ponsel itu.
Sheva langsung menekan tombol hijau yang ada di sana.
"Hallo? Assalamualaikum," sapanya pada Jino di sebrang sana.
Sheva mengatifkan loudspeaker agar Adrina juga bisa mendengarkan.
"Waalaikumsalam, sayang. Aku cuma mau kasih tau kalau aku pulangnya sedikit malam ya. Ada yang harus aku selesaikan di sini,"
Adrina langsung menatap Mommnya sedih. Bahunya luruh ketika mendengar ucapan Daddynya. Adrina tidak menyangka kalau Jino pulang lebih lama. Biasanya lelaki itu tidak memaksakan segala sesuatunya. Namun sekarang Jino memilih untuk bekerja di kantor sampai sedikit malam katanya. Artinya masakan itu sudah dingin dan kurang membuat nafsu siapapun yang ingin memakannya.
"Adrina udah masak buat kamu, lho," jawab Sheva membuat Suaminya berubah pikiran.
"Benarkah? masakan pertama untukku dong ya?"
Sheva mengangguk walaupun Jino tidak melihatnya. Ia tidak tega melihat perubahan di raut wajah yang biasanya berseri itu.
"Kamu masih mau pulang malam? dia udah semangat banget masakin kamu, Mas," Sheva mengatakannya dengan mata melirik Adrina yang kini meletakkan kepalanya di atas meja makan. Gadis itu langsung terlihat lesu.
"Maaf, Sayang. Kerjaan ini gak bisa aku tunda. Setelah semuanya beres, aku janji akan langsung pulang,"
Bukan hanya Adrina. Sheva bahkan juga kecewa dengan Jino yang bisa dibilang kurang menghargai mereka berdua. Memangnya sepenting apa pekerjaan tersebut sampai harus menunda waktu kebersamaan mereka?
Sheva langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa mengatakan apapun lagi. Ia duduk di kursi sebelah Adrina dan mengusap puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang.
"Kita berdoa aja semoga Daddy bisa secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya. Daddy juga senang kamu masakin,"
Adrina menggeleng. Ia tidak mendengar itu dari mulut Jino.
"Daddy gak ngomong apa-apa tadi, Mom. Kerjaannya sekarang lebih penting daripada aku,"
Hati Sheva sedikit ngilu mendengarnya. Ia tidak menyangka kalau gadis itu akan sesedih ini ketika tau Daddynya akan pulang lebih lama.
"Hei jangan ngomong kayak begitu, Adrina! Tidak ada yang lebih penting dari kamu. Mommy dan Daddy sayang banget sama kamu,"
"Tapi Daddy..."
Sheva membimbing anaknya untuk bangkit kemudian menarik sudut bibir Adrina agar tersenyum.
"Daddy memang lagi sibuk, Sayang. Tolong pahami Daddy, ya. Secepat mungkin Daddy akan pulang untuk mencoba masakan pertama anaknya," hibur Sheva pada putri tunggalnya.
Adrina kini tersenyum dengan anggukannya. Baiklah, Ia sudah dewasa. Jadi harus bisa memahami persoalan kecil seperti ini.
*********
Jino terkejut begitu melihat Sheva yang ternyata belum terpejam. Ia menghampiri Istrinya yang duduk seraya menonton di ruang keluarga. Jino meletakkan perlengkapan kantor yang dibawanya di atas sofa membuat Sheva menoleh kaget.
"Kok gak minta bukain pintu, Mas?"
"Aku bawa kunci,"
Sheva menepuk dahinya pelan. Ia melupakan hal itu.
"Kamu belum tidur?"
"Belum, nungguin kamu. Kalau Adrina udah tidur,"
Jawaban Istrinya membuat Jino menghela napas sesal. Putrinya pasti kecewa.
"Pasti Adrina sedih. Aku mau minta maaf dulu deh,"
"Gak usah, dia ngerti kok. Sekarang kamu makan aja ya? belum makan malam kan?"
Sheva melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan malam. Jino yang terlalu sibuk pasti melewatkan dinnernya.
Jino mengangguk semangat.
"Aku siapin dulu makannya. Kamu lebih baik ganti baju," saran Istrinya di lakukan oleh Jino.
Lelaki itu langsung berjalan ke kamar. Untuk mandi dan berganti pakaian. Jino benar-benar lelah hari ini. Tapi sebisa mungkin Ia tidak mengeluh. Kewajibannya memang sudah digariskan seperti itu.
Jino tersenyum begitu keluar dari toiletnya. Ia menatap setelan pakaian tidurnya yang sudah ada di atas ranjang. Ia tidak tahu pasti kapan Istrinya menyiapkan itu. Yang jelas, Jino bahagia diperlakukan semulia itu oleh Sheva.
"Adrina udah makan malam?" tanya Jino di sela mulutnya yang mengunyah.
Mereka hanya makan berdua. Karena semua penghuni rumah sudah makan malam terlebih dahulu. Sheva sengaja menunggu Suaminya pulang untuk makan bersama.
"Udah, Mas. Gimana kerjaan kamu? lancar? kayaknya sibuk banget,"
Sheva bukan menyindir tapi Jino menganggapnya berbeda.
"Maaf, Sayang. Grafik perusahaan lagi menurun," jelas Jino dengan singkat.
Sheva hanya mengangguk karena Ia tidak terlalu paham masalah itu.
"Semoga aja kembali membaik," ujar Sheva penuh harap.
Jino pun menginginkan hal itu. Ia tidak ingin terlalu lama menyelam dalam kesibukannya. Jino menyadari kalau akhir-akhir ini perhatiannya pada Sheva dan Adrina jadi berkurang karena adanya permasalahan yang menimpa perusahaan besarnya hingga membuat grafik menurun.
"Aku akan perbaiki semuanya,"
"Aku selalu dukung kamu,"
Melihat senyum Istrinya, Jino merasa energinya untuk menyelesaikan semua itu kian bertambah.
"Adrina juga dukung kamu,"
Jino mengangguk. Setelah menyelesaikan kegiatan makannya, Ia mengusap puncak kepala Istrinya.
"Kalian semua dukung aku. Selalu mengerti bagaimana keadaan aku,"