Bel istirahat sudah berbunyi. Sebentar lagi gerombolan siswa keluar dari kelas untuk mengisi perut mereka. Seperti halnya Adrina yang langsung membuka kotak bekalnya begitu guru matematikanya keluar dari kelas.
"Bawa bekal apa, Sin?" tanya pada teman sebangku, Sinta.
"Sayur asem sama ikan tongkol balado," jawab Sinta dengan ekspresi berlebihannya.
Adrina menggeser kursinya ketika teman dekatnya di belakang ingin bergabung.
"Muat gak sih kalau dua meja buat tiga orang?"
Adrina terkekeh lalu menepuk-nepuk mejanya.
"Muat, Don. Gabung aja sini,"
Gadis berambut keriting itu berdecak ketika Adrina memanggilnya dengan Don lagi padahal sudah di peringatkan berulang kali.
"Nama gue bukan Megalodon,"
Mendengar ucapan Dona, Adrina dan Sinta tertawa. Mereka memang memiliki selera humor yang tinggi.
"Adrina bawa apa? bagi dong,"
tangan Dona akan mengambil sosis panggang yang ada di kotak bekal Adrina namun Sinta lebih dulu melakukannya.
"Aduh kalian nih rakus banget. Pada bawa bekal masing-masing tapi masih minta," keluh Adrina. Tapi Ia dengan senang hati berbagi makanan kesukaannya itu pada Sinta dan Dona.
"Dona suka sayur ya? tiap hari bawa sayur mayur,"
dengan mulut penuhnya, Dona mengangguk. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Adrina. Setelah menelan makanannya, Ia menjawab,
"Suka banget. Lo gak suka sayur?"
"Gak semua sayur gue suka,"
"Gue suka semuanya,"
"Angin juga Lo makan. Ya gak?" seloroh Sinta menyebalkan.
Dengan ancang-ancangnya Dona ingin memukul temannya yang selalu berhasil membuat Ia kesal itu.
Sebelum Ia menjadi sasaran empuk Dona, Sinta sudah tertawa dan menangkup kedua tangan Dona dengan mimik wajah sedih yang dibuat-buat.
"Jangan sakiti aku, Mas,"
Adrina dan Dona bergidik geli mendengar kalimat Sinta.
"Jijik aku tuh,"
Adrina menggeleng pelan melihat perdebatan kecil itu.
"Terus... sayuran yang Lo suka apa?" ucap Dona melanjutkan pertanyaannya yang belum sempat di sampaikan pada Adrina.
"Brokoli, wortel, kembang kol. Udah itu aja kayaknya," jawab Adrina lalu memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Tapi nyokap Lo suka marah gak sih kalau Lo gak mau makan sayur gitu?"
Adrina langsung mengangguk begitu mengingat Sheva yang selalu marah kalau Ia memisahkan sayuran yang tidak disukainya dari piring untuk dibuangnya.
"Marahnya kayak gimana?"
"Ya marah ala ibu-ibu biasa lah. Kamu mau sehat gak sih? susah banget kalau di suruh makan sayur,"
Adrina menirukan kalimat Sheva ketika marah padanya membuat Sinta dan Dona tertawa keras.
Namun tak berselang lama, Dona terbatuk karena tersedak. Bukannya membantu untuk cepat-cepat memberi minum pada Dona, Sinta justru semakin tertawa.
"Sinta ketawa mulu nih!" tegur Adrina membuat Sinta membungkam mulutnya masih dengan tawa yang belum reda.
"Lo jahat banget sama gue. Seneng banget ngelihat gue kesakitan kayak tadi," ujarnya dengan geram.
"Udah, lanjutin makannya! Nanti keburu masuk. Abis ini gurunya grumpy lho,"
Sinta dan Dona mengangguk. Mereka kembali melanjutkan kegiatan makan bekal bersama. Saat-saat seperti ini yang sebentar lagi akan mereka rindukan. Setelah Ujian Nasional, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tidak se intensif sekarang jika inginĀ bertemu dengan teman sekelas.
"Lulus dari sini mau lanjut dimana, Ad?" tanya Sinta.
"Belum tau, Sin,"
"Udah lah nikah aja. Orang udah banyak duit juga. Ngapain mikirin kuliah sama cari duit lagi? bokap Lo duitnya kan menggunung,"
Adrina berdecak meras kalau ucapan itu berlebihan. Yang mempunyai segalanya bukan Ia tapi Daddynya, Jino.
"Gak gitu juga kali. Lebay Lo,"
"Gue tau desas-desus tentang orangtua Lo yang mantan Artis sama model. Walaupun Lo gak pernah cerita sama kita,"
Buat apa Adrina cerita? Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diketahui oleh teman-temannya. Lagipula Orangtuanya sudah nyaman dengan kehidupannya yang sekarang. Jino sudah berhenti dari dunia keartisannya begitupun Sheva yang dengan senang hati melepaskan profesinya sebagai model demi merawat Adrina setelah lahir.
Jino sudah menjelma menjadi pengusaha hebat sementara Sheva memilih untuk mengisi waktu luangnya dengan membuat desain baju pengantin di butiknya sendiri.
"Udah jaman jebot itu mah. Gak usah dibahas lagi,"
"Tapi salut gue sama orangtua Lo. Lebih mentingin Lo daripada pekerjaan,"
"Ya iyalah. Emang seharusnya begitu, Don," jawab Sinta mewakilkan Adrina yang tengah meneguk air minumnya.
"Kan ada tuh orang tua yang ngebiarin anaknya yang masih kecil berangkat sama pulang sekolah sendiri. Bahkan harus nyebrang jalan raya dan naik angkutan umum juga. Mereka gak takut anaknya kenapa-kenapa kali ya?"
"Kan kita gak tau keadaan yang sebenarnya. Mungkin ada keluarga yang ekonominya kurang, makanya suami istri harus kerja. Ya terpaksa anaknya harus mandiri," ucap Adrina menuturkan cara pandangnya yang lain.
"Iya juga sih," gumam Dona.
"Intinya, tugas anak itu perbaiki masa depan, buat orang tua bangga. Karena mereka udah kerja keras pagi sampai sore untuk anaknya. Ya minimal bisa jamin hidup diri sendiri di masa tua deh. Itu aja udah buat orang tua bahagia,"