Ketika Sinta dan Dona akan pulang, mata mereka menatap rumah besar yang ada di depan rumah Adrina ini. Bukan rumahnya yang membuat salah fokus, tapi lelaki tampan yang baru saja keluar dari mobil super mewah dengan kacamata bertengger di hidungnya.
Sinta bahkan menjerit tertahan karena tidak terima ketika lelaki itu memasuki rumahnya. Mata nya belum puas memandang.
Adrina menyusul keluar dari dalam rumah. Ia bingung ketika melihat Dona dan Sinta yang sama-sama menatap ke depan dengan tangan yang masih memegang sepatu.
"Belum dipakai sepatunya?"
Pertanyaan Adrina tidak dijawab oleh mereka. Adrina makin dibuat bingung. Ia memutuskan untuk memukul pintu rumahnya agar mereka berdua tersadar. Tapi setelahnya Ia menyesal karena tangannya langsung kesakitan sekarang.
"Lo ngagetin aja sih!" gerutu Dona.
Adrina tidak menjawab karena sibuk mengusap telapak tangannya yang kini memerah.
"Makanya jangan suka jail sama orang!" ledek Sinta membuat Adrina tidak terima. Ia bukan jail.
"Siapa yang mau jail sih? gue mau kalian itu selesai bengongnya,"
"Kita gak bengong ya Don?"
Sinta menyenggol lengan Dona meminta bantuan. Dona langsung mengangguk.
"Kalian merhatiin apa sih? sampai belum selesai pakai sepatu?"
Sinta menghela napas pelan dan melirik Dona. Ia memilih jujur saja. Sekalian ingin bertanya sesuatu pada Adrina.
"Itu cowok yang tinggal di istana depan. Siapa namanya?"
Dona melotot dan mengatupkan rahangnya. Temannya ini benar-benar tidak punya malu.
"Hm? siapa? Om Devan maksudnya?" tanya Adrina dengan kernyitan di dahinya. Ia belum mengerti dengan topik pembicaraan temannya.
"Hah? kok Om sih? emang dia udah punya Istri?" Terlihat sekali kalau Sinta kesal.
Adrina mengangguk. Memang Devan sudah mempunyai Istri.
"Tapi dia masih muda banget, Ad,"
Dona ikut bertanya. Rasa penasarannya timbul.
"Anaknya kali,"
"Kenapa sih? setau gue anaknya gak tinggal di sini. Jadi mungkin yang kalian maksud itu om Devan. Dia punya Istri. Gue panggilnya sih Tante Lovi,"
Sinta mencerna baik-baik jawaban itu. Tidak mungkin lelaki yang dilihatnya tadi sudah menjadi om-om. Karena terlihat sangat muda.
"Ya udah deh. Gue mau cari tau sendiri aja," dengan tekat yang kuat Sinta berseru.
Dona mendorong kepala Sinta dengan kesal. Suara Sinta membuat mereka malu.
"Gak punya malu dasar!"
"Biarin aja sih. Kali aja dia jodoh gue,"
Dona memasang ekspresi ingin muntahnya. Adrina tertawa lain hal dengan sinta yang bersiap melempar sepasang sepatunya pada Dona. Namun gadis itu berusaha menghindari dengan berlarian di pekarangan luas rumah Adrina.
"Gue sumpahin jodoh lo ganteng,"
"Aamiin Ya Allah,"
Dona menengadahkan kedua tangannya. Adrina geleng kepala melihat pertengkaran kecil itu.
"Gue orang baik. Jadi sumpah nya buat orang juga baik,"
"Itu namanya doa, oneng! bukan sumpah,"
"Udah ah gue mau balik,"
Dengan napas tersengal, Sinta duduk di salah satu kursi. Kemudian memakai sepatunya begitupun dengan Dona.
"Lain kali main lagi ya ke sini,"
"Boleh emang?"
"Boleh banget. Biar orang tua gue juga kenal sama kalian,"
Sinta dan Dona kompak mengangkat tangan mereka dengan posisi hormat.
"Tunggu aja kedatangan kita, Ad,"
"Makasih ya Ad buat semua jamuannya,"
"Ah lebay! orang cuma di kasih minum aja kok,"
"Minum aja? orang kita juga di kasih makan nasi plus rendang tadi ya, Don?"
"Iya bener. Belum lagi wafle, astor, snack yang lainnya kita abisin. Adrina nih suka merendah deh,"
"Ya udah kapan pulangnya? gue mau tidur nih,"
Sinta dan Dona terkekeh. Mereka memang banyak omong dari tadi. Sampai akhirnya tidak pulang-pulang.
"Jangan lupa besok ulangan IPA. Jadi abis pulang dari sini belajar ya,"
"Siap bosque,"