Adrina mengelilingi komplek perumahan menggunakan sepedanya. Ia tersenyum ketika beberapa orang menyapanya.
"Adrina sendiri aja? Mommy dan Daddy kemana?" tanya salah seorang tetangga dekatnya yang kebetulan bertatap muka dengannya saat ini.
"Ada di rumah, Tante,"
Wanita setengah baya itu mengangguk. Ia mengangsurkan sebungkus bubur ayam di tangannya pada Adrina.
"Buat Adrina. Makan dulu biar semangat main sepedanya," ucapnya dengan senyum manis.
Adrina menggeleng halus. Ia membalas senyuman itu sebelum berkata,
"Tadi Adrina udah makan, Tante. Buat Tante aja buburnya," tolak Adrina dengan lembut tanpa berniat untuk menyakiti hati wanita yang juga dekat dengan Sheva itu.
"Tante gak suka bubur. Tadi Tante beliin bubur untuk Adrian aja tapi karena gak ada kembalian uangnya jadi beli satu lagi deh,"
"Tante..."
Wanita itu menggantungkan kantung plastik bubur tersebut di bagian depan sepeda Adrina.
"Gak boleh nolak rezeki," ucapnya pada gadis cantik itu dengan tegas.
"Makasih banyak, Tante," ucap Adrina dengan senyuman manisnya. Lalu menunduk sebentar untuk berpamitan.
"Adrina duluan ya, Tante. Tante hati-hati,"
"Jangan lama-lama main sepedanya,"
Adrina mengangguk patuh sebelum akhirnya membunyikan lonceng sepeda sebagai tanda perpisahan.
***********
Adrina duduk di bangku taman. Ia mengusap dahinya yang berkeringat menggunaan handuk kecil yang tak lupa Ia bawa setiap bersepeda seperti saat ini.
Matanya beralih pada pemberian Lovi tadi. Keluarga Adrina memang bertetangga baik dengan Lovi dan suaminya, Devan. Mereka selalu memperlakukan Adrina dengan baik bahkan ketika rumah gadis itu mengalami kebakaran kecil, Lovi bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara untuk Adrina yang saat itu sedang ditinggal oleh kedua orang tuanya ke luar negeri untuk menjenguk Ayah Jino yang sakit keras.
Mereka memperlakukan Adrina layaknya anak sendiri. Katanya mereka mempunyai dua orang putra yang sedang menuntut ilmu di negeri orang.
Adrina yang sudah sarapan tadi pun memilih untuk membawa buburnya ke rumah. Ia meneguk air hangat yang dipersiapkan Sheva untuknya.
Adrina meraih ponselnya di saku celana training. Adrina memotret suasana taman di pagi ini yang lumayan ramai untuk di upload sebagai status diaplikasi obrolannya.
"Heh!! sepedanya pinggirin dong. Jangan sibuk foto-foto! Sepeda lo ganggu jalan umum tau gak?!"
Adrina terkejut saat seorang lelaki memarahinya. Sama halnya dengan Adrina, Dia juga menunggang sepeda sportnya yang berwarna navy.
Adrina bangkit lalu memindahkan sepedanya ke tempat yang lebih aman. Bukan di Jalan umum seperti kata lelaki tadi. Padahal Adrina menempatkan sepedanya sudah dalam posisi yang baik.
"Lain kali jangan kayak gitu lagi!!"
Lelaki itu masih sewot dengan Adrina yang masih diam berusaha untuk menahan rasa kesalnya.
"Untung sepeda gue gak nabrak sepeda butut lo,"
Saatnya Adrina mengeluarkan tanduk. Ia tidak terima sepeda mahal pemberian Daddynya dikatakan sepeda butut.
"Heh! jaga mulut lo ya!! sepeda gue mahal nih. Belinya bukan di bumi," ucap Adrina dengan angkuh mengangkat dagunya.
"Mahalan juga sepeda gue," selak lelaki yang dengan sombong menabrabkan ban sepedanya dengan pelan ke arah ban sepeda Adrina.
Gadis itu makin emosi dibuatnya. Baru kali ini Adrina bertemu dengan orang seaneh itu.
"Bodo amat. Gue gak nanya,"
"Ah berisik lo! minggir!! sepeda mahal gue mau lewat,"
*************
Adrina membawa masuk sepedanya ke dalam garasi rumah khusus sepeda. Hatinya masih dongkol dengan hal yang berhasil membuat nya langsung pulang tanpa basa-basi. Adrina tidak mood lagi untuk melanjutkan kegiatannya.
Adrina melihat Jino yang sedang menikmati udara pagi seraya menyesap kopi hangatnya. Daddy nya itu tengah sibuk membaca buku. Adrina memilih untuk menghampiri Jino.
Ia duduk di sebelah Jino dengan tidak santai membuat Jino langsung melepas kacamatanya untuk menatap Adrina.
"Kenapa?" tanya Jino saat melihat wajah murung anak perempuannya.
"Adrina kesel,"
Jino mengerinyit pada Adrina yang berteriak menyebalkan sampai telinganya berdengung.
"Kesal kenapa, Sayang?"
Jino berusaha menjadi sosok Ayah yang baik. Ia siap menjadi tempat curhat gadis itu, Mendengar keluh kesah anaknya lalu memberi solusi untuk permasalahan yang ada adalah tugasnya sebagai orang tua.
"Tadi ada yang bilang sepeda aku butut, Daddy. Padahal Daddy belinya sampe jual ginjal kan?"
Jino melotot mendengar ucapan Adrina yang sembrangan. Ia menatap putrinya tidak terima.
"Enak aja! Daddy punya banyak uang ngapain jual ginjal? mulutnya pengin di sumpal pakai meja kerja Daddy kali ya?"
"Kok Daddy kesel sih?"
Kalau Ia tidak ingat Adrina adalah anaknya, sudah dipastikan gadis itu akan di beri pelajaran. Kenyataannya Jino tidak bisa sekejam itu.
"Memangnya siapa yang bilang begitu? Terus gara-garanya kenapa?"
"Dia bilang sepeda aku ganggu jalan umum. Padahal gak kayak gitu,"
"Kamu parkirnya salah tempat?" tebak Jino. Namun putrinya menggeleng.
"Aku parkirnya udah bener, Daddy,"
Jino berusaha memahami akar permasalahn yng menimbulkan kekesalan anaknya itu.
"Terus siapa yang salah?"
"Dia yang salah," tanpa pikir panjang Adrina langsung menjawab pertanyaan Daddynya.
Jino mengusap tengkuknya. Ia bergumam sesuatu yang membuat amarah putrinya kian meledak.
"Cewek emang selalu benar. Gak ada yang mau disalahin,"