Laki-laki itu berusaha tenang walaupun gendang telinga sudah dipenuhi suara ricuh dari dalam. Peperangan rumah terjadi lagi, beberapa kali sebuah piring dan gelas berubah menjadi serpihan kaca kecil. Amarah demi amarah terlontarkan satu sama lain, suara isak tangis mulai terdengar jua.
Langkah kaki terhenti setelah satu barang mendarat dengan tepat di depan mata, untung saja laki-laki itu berhasil menahannya. Tidak terhenti, adu mulut itu terus terjadi meskipun ada kehadiran dirinya.
Sekarang laki-laki itu sudah tak dianggap ada. Jadi, untuk apa ia pulang? Jika pulang yang harusnya menjadi tempat tenang tetapi malah menjadi tempat perang.
Flashback Off.
"Sa, kalau lo gak kuat kita cari tempat lain aja ya," ucap Dirham saat melihat Alysa hanya memandangi satenya dengan nanar.
Alysa mendongak dan tersenyum kecil berusaha menenangkan perasaan sesak yang sejak tadi bergelut didalam hatinya. Gadis itu mulai menunjukkan wajah gelisah, ia sangat terlihat jika sedang menahan sesuatu. Namun laki-laki itu masih diam, tidak ingin terburu-buru menyimpulkan.
"Lo suka kulit ya?" Tanya Dirham mengalihkan atensi Alysa padanya.
Alysa mengangguk, dan kembali memakan satenya. Tanpa Alysa duga Dirham memindahkan sate ayam yang ada dipiringnya ke piring Alysa. Alysa mengerutkan dahi bingung.
Alysa terdiam sejenak merasa dejavu dengan perlakuan laki-laki itu. Dia kembali teringat bahwa Dirgan juga sering memberi Alysa sate miliknya walaupun sebenarnya laki-laki itu juga suka.
Alysa menatap piringnya dengan nanar, dia sadar bahwa dia sangat sangat merindukan sosok Dirgan.
Menyadari raut wajah Alysa yang kembali berubah, Dirham langsung pindah ke samping tempat duduk Alysa. Dia mengusap pelan punggung Alysa memberikan ketenangan.
"Gak usah dipaksain, perlahan aja. Kita cari tempat makan lain ya," ucap laki-laki itu.
Alysa mengusap air mata yang dengan lancangnya keluar begitu saja dari sudut matanya, dia tersenyum kembali guna memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Sudah tak karuan rasanya, ia tidak sanggup. Gadis itu tidak bisa melupakan ingatan mengenai Dirgan sedikitpun.
Melihat gadis itu sudah sangat tertekan. Laki-laki itu langsung menjauhkan piring Alysa, ia langsung memberikan gadis itu minum. Dirham menggandeng gadis itu untuk beranjak dari sana. Laki-laki itu juga tidak sanggup melihat temannya tersiksa.
"Udah cukup buat hari ini, lain kali kita coba lagi," ucap Dirham yang membawa Alysa pergi dari tempat itu.
Diperjalanan pulang laki-laki itu terus memegang tangan Alysa, sedangkan gadis itu terus melihat ke arah luar jendela mobil. Rintik hujan yang turun sangat mendukung kesedihan gadis itu kala mengigat Dirgan. Janjinya terhadap Dirham untuk segera melupakan Dirgan itu susah untuk diwujudkan. Laki-laki itu terlalu melekat dibatinnya.
Sementara laki-laki disampingnya terus menggenggam tangan gadis itu, memperhatikan raut wajahnya yang penuh dengan kisah masa lalu menyakitkan. Sebenarnya ia ingin mengetahui lebih jelas lagi mengenai kisah Alysa, namun waktu terus tidak menunjukan saat yang tepat untuk bertanya. Lagi lagi Dirham harus menahan diri.
Dirham memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya, dia melihat dua mobil terparkir disana, "Tumben ayah sama ibu ada di rumah," batinnya.
Prang!!!
Baru saja ia meraih gagang pintu rumahnya, suara pecahan kaca mengambil atensi Dirham. Raut wajah yang sudah redup menjadi penuh emosi. Dengan wajah yang tidak bersahabat, Dirham melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Tanpa memperdulikan orang tuanya yang sedang bertengkar diruang tamu, dia berjalan menuju tangga untuk ke kamarnya.
"Dirham! Dari mana aja kamu?"
Teriakan seorang pria paruh baya itu menghentikan langkah Dirham yang akan menaiki tangga. Laki-laki itu tidak menjawab, ia langsung naik ke kamarnya tanpa peduli panggilan dari pria itu.
Namun Bug!!
Suara sepatu berhasil mendarat dipunggung Dirham, menghentikan langkahnya. Laki-laki itu menghela nafas panjang.
"Kalau ditanya tuh dijawab, kayak yang gak pernah diajarin sopan santun aja kamu!" Teriak pria itu.
Kini laki-laki itu membalikkan badan dan mengangkat kepalanya dengan angkuh. "Emang pernah kalian ngajarin sopan santun? Punya waktu buat anaknya aja nggak," balas Dirham dengan nada santai.
Wanita paruh baya itu kini menghampiri Dirham yang masih mematung di tangga.
Plak!
Suara keras itu berdenging ditelinga Dirham, tamparan dari wanita paruh baya itu benar-benar menyakitkan.
"Ayo pah, lempar aja semua barang ke badan aku," ucap Dirham sembari menatap wajah pria itu yang duduk disofa.
"Ayo Bu, pukul aku sepuas ibu." Ucap Dirham sembari menatap wajah ibu yang ada dihadapannya.
"Kalian selalu gini, aku yang selalu jadi korban pertengkaran kalian. Aku lagi dan aku!" Ucap laki-laki itu yang langsung berlari ke kamarnya.
Saat laki-laki itu akan masuk ke kamarnya, suara ricuh di bawah makin terdengar. Tidak ada yang mau mengalah antara ayah dan ibunya. Sama-sama saling egois. Pulang hanya untuk perang. Kalau begitu, gak usah pulang sekalian, benak lelaki itu berkata.
Ia langsung masuk kamar, membaringkan badannya ditempat tidur. Menenggelamkan wajahnya dibantal yang ia simpan diwajahnya.
Aaaaa!
Teriak lelaki itu.
Laki-laki itu selalu merasa tak pernah beruntung menjadi seorang anak, ia anak yang terbuang oleh orang tua kandungnya sendiri. Ingin rasanya Dirham menghubungi gadis itu saat Alysa mengabari bahwa dirinya sudah akan tidur, namun lagi lagi laki-laki itu hanya bisa menyimpanya sendirian. Tidak ingin menambah beban siapapun lagi, apalagi Alysa.
Pagi ini gadis itu sudah berdiam dikantin kampus untuk sarapan, karena kebetulan Mama Alena bekerja pagi hari jadi tidak ada waktu untuk menyiapkan sarapan. Saat ia sedang memakan makanannya, ia dikagetkan dengan suara perempuan.
"Alysa gue kangen!" Ucap Zahra sambil memeluk gadis itu dari belakang.
Gadis itu yang sedikit terkejut langsung melepaskan pelukan Zahra, dan menyuruh temannya untuk langsung duduk. Ia juga bertanya mengapa temannya pergi tanpa mengajak dirinya. Namun Zahra hanya tersenyum menjawab pertanyaan Alysa.
Zahra juga menanyakan mengenai insiden kemarin yang terjadi kepada temannya itu, namun Alysa berkata ia baik-baik saja tidak perlu ada yang di khawatirkan. Ia tersenyum tipis, berkat Dirham ia bisa mulai menerima kekurangannya.
"Jalan yuk, lo gak sibuk kan?" Tanya Alysa.
Zahra sedikit kebingungan untuk menjawab. "Sorry, Sa. Gue ada kerjaan sekarang," jawab Zahra.
Gadis itu menyarankan untuk mengunjungi cafe dimana tempat temannya bekerja saja, namun Zahra menolak dengan alasan ia malu jika ada teman yang mengetahui cara dia bekerja. Ia belum terlalu percaya diri. Alysa hanya bisa mengerti, ia juga tidak akan terlalu memaksakan Zahra.
Saat ia akan pulang, gadis itu melihat ada Dirham didepan kampusnya. Sengan semangat Alysa langsung menghampiri laki-laki itu dan refleks memeluknya. Namun hal itu disadari oleh Alysa dan langsung melepaskan pelukan itu.
Gadis itu meminta ditemani ke sebuah tempat wisata yang ada di Bandung, melihat Alysa yang tampak ceria Dirham mengurungkan niatnya yang ingin bercerita pada saat itu. Ia langsung menemani gadis itu ke tempat tujuannya. Mereka juga tidak lupa berpamitan terlebih dahulu melalui telepon kepada Mama Alena.
Diperjalanan terlihat sangat jelas bahwa gadis itu sangat menikmatinya, yang membuat Dirham tidak ingin menghancurkan kebahagiaan Alysa dengan cerita tak jelasnya.