Raga dan caca berjalan ke sebuah restoran dengan sebuah canda gurau. Candaan itu cukup berlangsung lama, sampai-sampai mereka berdua melihat Papah Wijaya, sedang mengobrol dengan seseorang.
Karena terlihat obrolan santai. Kedua orang itu berjalan mengendap-endap berniat ingin mengagetkan. Tapi, bukan Wijaya yang kaget, tetapi Caca dan Raga lah yang kaget, ketika mendengar arah pembicaraan mereka berdua.
Caca dan Raga saling lirik, mereka berdua lebih memilih diam terlebih dahulu untuk mendengarkan apa kelanjutannya, supaya tak salah paham. Mata mereka bertemu, ketika lawan bicara Wijaya memberitahu lewat tatapan matanya. Sempat terdiam beberapa saat, lalu terdengar helaan nafas yang keluar dari bibir Caca.
"Ada yang bisa jelasin lebih jelasnya?" Caca bertanya, dengan nada lelahnya.
"Ini ga seperti yang kalian berdua dengar," Wijaya menjawab, tetapi tampaknya Caca hanya mengedikan bahunya acuh mendengar kata itu.
"Terus apa?" Tanya Caca kembali.
"Ayolah pah, aku sama Raga dengar semuanya. Atau, lo juga tahu Ga? Soal masalah ini?" Caca menambahkan, seraya menatap Raga dengan tatapan lelahnya.
Raga otomatis menggeleng cepat, lelaki itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Dan Raga pun jelas sama kagetnya, ketika mendengar apa yang Papahnya sendiri ucapkan.
"Kok diem? Katanya, ini bukan seperti yang kita dengar, terus apa? Apa yang sebenarnya kita dengar? Kok Papah terus diem dan gak jelasin?" Caca kembali berucap, perempuan itu menarik kursi dengan kakinya, lalu duduk menghadap sepenuhnya Wijaya. Menantikan, apa yang di ucapakan lelaki setengah baya itu.
Melihat Wijaya yang terus diam membisu, Caca mengusap wajahnya secara kasar. Perempuan itu sudah lelah, dengan drama kehidupan di dunia ini.
Caca berdiri, perempuan itu tampaknya akan pergi.
Berpamitan secara sopan seperti biasanya, dan setelah itu, pergi begitu saja, tanpa mendengar ucapan Wijaya yang kembali menyuruhnya duduk.
"Ca, apa salahnya kita dengerin dulu apa maksud Papah." Raga berucap, ketika sudah berada di sebelah Caca.
"Gue udah kasih waktu, tapi dia diem terus. Gue udah ngantuk, dan udah gak ada waktu lagi buat dengerin."
Perempuan itu masuk ke dalam mobil, dan menutup matanya. Rasanya sangat-sangat pusing, ketika mendengar apa yang baru saja dirinya dengar.
Entah salah atau benar, tapi itu cukup membuat pikiran Caca kembali kalut.
"Ca, jan asal nyimpulin dulu apa yang cuman lo dengar, ya? Gue gak mau, kejadian gue ke kakak lo terulang lagi. Apalagi sama lo dan papah gue."
Caca hanya mengangguk mengiyakan. Lagian, Caca sudah tidak peduli lagi benar atau salahnya seperti apa.
"Bukan ngangguk aja Ca, jawab!" Tegas Raga.
"Iya Ga, iyaaa."
Raga menghela nafas pelan, Raga sangat tahu perasaan Caca seperti apa sekarang. Tetapi lelaki itu tak bisa berbuat banyak, karena sebenarnya, Raga sendiri sedang cemas dengan apa yang barusan dia dengar, bagaimana kalo misalnya itu benar adanya? Raga tak bisa membayangkan seberapa kecewanya Caca.
**
Di tengahnya perjalanan, Caca berpikir apakah yang sebenernya terjadi? Dirinya tiba-tiba merasakan pusing dan tidak bisa berpikir. Entahlah, benar atau tidaknya, Caca berharap itu tidak.
Caca melirik ke arah Raga, kenapa? Di saat kepercayaannya mulai kembali, ada saja kejadian yang membuat kepercayaan itu sedikit guncang.
Caca tak bisa berpikir jernih kalo sudah begini, klo di paksakan pun itu tidak akan pernah menghasilkan sebuah hasil yang bagus.
"Gak usah dulu di pikirin ya Ca? Biar gue dulu tanya ke papah kebenarannya," Raga berucap, membuat Caca menatap Raga sepenuhnya.
"Lo beneran gak tau apa-apa kan Ga?"
"Lo kenapa ngomong gitu? Lo gak percaya sama gue?"
Caca menggeleng, "Bukan gitu Ga."
"Gue paham kok, jan di pikirin terus yaw?" Raga mengusap kepala Caca dengan satu tangannya.
"Gue gak pikirin itu kok Ga." Caca mengambil tangan Raga, lalu mengusap-usap tangan lelaki itu dengan lembut.
Sesampainya di tempat tinggal Caca, Raga langsung saja menancapkan gas nya. Caca yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang, berharap, semoga besok baik-baik saja.
Caca masuk dengan langkah lunglai. Perempuan itu berjalan ke dapur untuk menyeduh satu teh hangat untuk di minumnya.
Caca yang awalnya berpikir, makan malam yang dirinya dan Raga lakukan, akan menciptakan kebahagiaan, tetapi ternyata dirinya salah, makan malam yang belum sempat terjadi itu malah menciptakan kebingungan di dalam dirinya kembali mencuat.
Menyesap teh nya itu dengan perlahan seraya menikmati, perempuan itu sempat tertegun sejenak, ketika handphonenya memberi pertanda ada yang menelponnya.
Caca hanya meliriknya saja, tanpa berniat mengangkat telepon itu. Biarkanlah saja, semua orang menghubunginya, dirinya hanya ingin berpikir tanpa ada yang menganggunya sekarang.
Sudah lama dirinya tidak menyesap teh hangat dengan perasaan gundah, ternyata Caca cukup merindukan hal ini. Dimana setiap harinya ia selalu merasa resah, dan bingung harus melakukan apa untuk kedepannya, Caca merindukan itu.
"Lucu banget dunia ini," Caca bermonolog, seraya tertawa kecil.
"Saking lucunya, gue gak bisa ketawa kenceng karenanya."
**
Raga sedang menghadap ayahnya sekarang. Tatapan laki-laki itu tampak sedikit menajam, seiring dengan arah pembicaraan yang semakin dalam mereka berdua ucapkan.
"Jadi papah menuduh Alex, hanya untuk membenarkan kesalahan papah?" Raga mengepalkan tangannya diatas meja itu, seperti sedang menahan banyaknya amarah.
"Papah tidak melakukannya."
"Kalo tidak melakukannya, kenapa papah menyalahkan Alex dan keluarganya, yang sudah membunuh orang tua Caca?"
"Anak itu ada sangkut pautnya dengan keluarga Libertà, Raga."
"Meskipun memang ada sangkut pautnya, apa urusan papa? Sampai-sampai tuduh orang kayak gitu? Emang udah jelas? Bahwa Alex dan keluarganya itu pembunuhannya?"
Wijaya menghela nafas panjang, "Kenapa kau jadi membela anak itu? Bukannya kau tidak suka? Karena dia terlihat menyukai Caca?" Ucap Wijaya, lelaki setengah baya itu sudah menggunakan bahasa formal yang artinya memang sedang menahan amarah.
"Raga emang gak suka dia pah. Tapi bukan berati papah bisa nuduh dia gitu aja, papah emangnya mau? Kejadian yang di alamin sama Saka, kini terulang lagi? Dan sekarang pelakunya papah?"
"Ini beda Raga, anak itu memang ada sangkut pautnya dengan keluarga Liberta, kau harus percaya akan hal itu!"
"Apa yang beda pah? Dulu, aku nuduh dia, apakah papah gak nuduh Alex sekarang?"
Wijaya tertawa kecil, "Kau ini sangat lucu, aku dan kau jelas berbeda Raga, kau menuduh dia tanpa bukti kan? Sedangkan aku, banyak bukti tentang dia yang mengatakan bahwa, memang Alex ada sangkut pautnya dengan keluarga Liberta."
"Ayolah, papah bukan seperti kau yang cepet sekali dalam mengambil keputusan."
"Berhenti cari tahu tentang mereka, dan ikut campur! Kalau misalnya papah aja belum bisa buktiin ke Raga, kalau buktinya itu apa!"
"Kenapa kau sibuk sekali dengan urusan papah? Bukannya jauh lebih baik? Jikalau kau saja yang tak usah tau dan ikut campur urusan papah?"
Raga berdiri dengan hentakan tangan di meja, "Urusan papah urusan Raga juga!"
"Iyakah? Jikalau memang begitu, diam dan biarkan saja apa yang akan papah lakukan kepada Alex."
"Raga ... Stop, jangan suruh papah untuk itu, kamu akan berterimakasih kasih nantinya, ini demi kebaikan kamu dan Caca nantinya."
"Dan soal papah belum kasih bukti, kau tak perlu tahu itu, kau hanya tahu beres saja, kau ini gegabah Raga, dan papah tak ingin kau merusak rencana kali ini."