Rencana Caca mengajak Raga jalan-jalan tiba-tiba sirna begitu saja. Karena lelaki yang baru saja menangis itu malah meminta untuk berdiam saja di rumah seraya terus berpelukan seperti ini.
Sudah hampir dua jam Caca diam dan tak bergerak, tubuhnya mulai kebas, karena Raga tak ingin bergerak walaupun hanya satu gerakan.
"Ga minggir dulu bisa? Badan gue kek mau remuk nih!" Keluh Caca.
"Boong! Orang Raga juga sama peluk Caca, tapi badan Raga gak remuk sama sekali!"
"Orang badan gue di tindih daritadi, gimana ga mau remuk coba!" Caca mencoba memprotes, agar Raga mengerti dan berpindah posisi.
"Stttt ... Alesan mulu!"
"Oh iya Caca, Raga ada mau ngomong sesuatu," ucap Raga.
"Ngomong apa? Ini dari tadi juga udah ngomong kan?"
"Seriuss ini."
"Iya-iya, kenapa?"
"Caca bahagia Ga? Kalo sama Raga terus?" Tanya Raga.
"Enggak, gue tertekan!" Ucap Caca berniat bercanda, tetapi Raga menangapi dengan berbeda.
"Raga minta maaf ya Caca, Caca pasti cape ya kalo terus-menerus sama Raga?" Raga berbicara dengan intonasi pelan, dan melepaskan perlukannya, lelaki itu sedang menundukkan kepalanya.
"Canda Ga canda, tadi bercanda gue."
"Kalo terus sama Raga, beban hidup Caca bertambah ya? Raga minta maaf Caca."
"Kenapa lu ngomong gitu si? Daritadi lu kenapa?" Caca sedikit menaikan intonasi suaranya karena tak suka, ada apa dengan Raga hari ini?
"Caca, Raga mau pertunangan kita dibatalin," cicitan pelan yang keluar dari mulut Raga, berhasil membuat Caca kaget di buatnya.
"Hah? Apa-apa? Apa yang lu bilang tadi?" Caca jelas mendengar apa perkataan Raga, tetapi perempuan itu hanya sebatas ini mendapatkan kejelasan.
"Raga mau pertunangan kita dibatalin."
"Kenapa? Alasannya apa?" Tanya Caca, masih dengan intonasi cukup tinggai
"Raga takut makin nyakitin Caca."
Caca tertawa tak habis pikir, "Lu pikir dengan kek gini, lu gak nyakitin gue?"
"Tapi—"
"Serah lu dah, serah lu Ga. Lagian, gue juga gak bisa paksain orang untuk terus sama gue. Kek jadi terserah lu mau batalin atau apa kek, gue gak perduli Ga, gak perduli! Ngapain juga gue harus ngemis-ngemis, atau merjuangin lu, sedangkan lu ninggalin gue cuman karena satu alasan, yaitu takut nyakitin gue. Itu alasan kuno kali Ga, itu alasannya kuno yang siapapun mungkin ga percaya, kalo pasangan ngomong kayak gini!"
"Yang pegang kendali dalam hubungan ini adalah lu, jadi terserah lu!"
Setelah mengatakan itu, Caca melepaskan cincin tunangannya dan menyimpannya dengan keras di meja, sampai menciptakan bunyi. Lalu setelah itu, Caca berjalan ke lantai atas menuju kamarnya, lalu menutup pintunya dengan kencang.
Melihat itu, Raga mengusap air matanya yang kembali keluar begitu saja. Dirinya sangat-sangat mencintai Caca, tetapi lelaki itu sedang berada di fase bimbang, bimbang takut menyakiti Caca nantinya. Makanya Raga berpikir, lebih baik Caca sakit hati sekarang, daripada nanti yang ujung-ujungnya juga akan bertambah sakit.
Raga mengambil cincin itu dan menggenggamnya. Untuk berada di fase mereka bertunangan itu bukanlah hal yang mudah, tetapi ketika Raga sudah di fase itu, Raga sendiri lah yang merusakkannya.
Melihat Caca menyimpan cincin ini dengan keras di meja tadi, rasanya hatinya lah yang tampar dengan keras, Raga tak menyukai itu, tetapi Raga harus melakukannya, demi kebaikan Caca.
Raga berdiri dari duduknya, rasanya susah sekali meninggalkan tempat ini dengan keadaan Caca yang seperti ini. Ini baru pertama kalinya, Raga meninggalkan Caca dalam keadaan marah, biasanya ... Lelaki itu akan membujuknya terlebih dahulu sampai Caca tak marah, lalu setelah itu, Raga baru berani pulang.
Tapi sekarang, tampaknya berbeda. Raga seperti sudah tak berhak untuk membujuk Caca lagi.
Keluar dengan perasaan campur aduk, Raga masuk ke dalam mobilnya. Menghela nafas panjang di sana, sebelum akhirnya melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.
"Maaf Ca."
Lelaki itu marah, marah kepada dirinya sendiri. Marah karena tak bisa menyelesaikan masalah, yang akhirnya mengorbankan hubungannya sendiri.
Memukul stir dengan kencang, Raga akhirnya menepikan mobilnya. Tak bisa, Raga tak bisa seperti ini. Disepanjang perjalanan, Raga terus membayangkan, bagaimana nantinya Caca akan bahagia dengan orang lain, dan dirinya pasti begitu saja di tinggalkan oleh Caca.
Tidak bisa, ini tidak boleh seperti itu. Caca hanya boleh bersamanya, tidak boleh bersama orang lain. Egois memang, tapi mengikhlaskan orang yang kita sayang itu hanyalah kebohongan, tidak ada yang benar-benar mengikhlaskan pasangannya dengan orang lain.
Raga bisa bilang, yang penting Caca bahagia nantinya. Tapi pada kenyataannya, Raga tak bisa menerima, jikalau Caca nanti bahagia bukan bersamanya.
Menenggelamkan wajahnya di stir dan kembali menangis. Biarlah orang menganggapnya cengeng, karena terus-menerus menangis, tapi mau bagaimana lagi? Raga bukanlah karakter yang sempurna, jikalau sedang berada di fase seperti ini.
**
Caca sendari tadi duduk seraya menenggelamkan wajahnya di balik pintu. Sendari awal Caca masuk kamar, perempuan itu langsung mencari-cari kesalahannya sendiri, apa yang membuat Raga seperti ini?
Takut menyakitimu dirinya? Alasan itu tak masuk akal bagi Caca, Caca berpikiran Raga meninggalkannya mungkin karena sudah tak cinta lagi pada perempuan itu.
Caca mengacak-acak rambutnya secara kasar, apa maksud Raga yang sendari tadi bersikap manis padanya, tapi ujungnya malah seperti ini? Ada apa dengan lelaki itu? Kenapa Raga tiba-tiba menjadi seperti ini?
Perginya Raga seolah perginya rumah dari hidup Caca. Lelaki itu yang dari dulu selalu menemaninya, mendengarkan ceritanya, apapun tentang dirinya, Raga tahu itu. Caca kira, Raga tidak akan pernah meninggalkannya, tetapi ternyata sama saja seperti keluarganya yang meninggalkannya, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Caca terisak pelan menahan tangisan yang keluar dari mulutnya. Caca tak suka saat seperti ini, tak suka saat hatinya merasa sakit karena di tinggalkan, kenapa dengan semua orang? Atau, ada apa dengan dirinya? Sampai-sampai dirinya selalu di tinggalkan.
Raga yang Caca kira akan selalu menemaninya dalam kondisi apapun, ternyata Caca salah, Raga tetap meninggalkannya.
Memukul-mukul dadanya, Caca berpikir, kenapa di tinggalkan Raga rasanya sesakit ini? Kenapa Raga mengucapkan kata yang membuat hubungan mereka menjadi berakhir seperti ini? Apa yang salah pada dirinya, sampai-sampai Raga meninggalkannya.
"Rasanya ternyata sesakit ini, ketika gue bukan lagi apa-apa di hidup lo."
Berdiri, Caca mengambil sebuah vas bunga di sana, lalu membantingnya dengan keras, apapun yang bersifat kaca, perempuan itu lemparkan. Akhirnya, suara gaduh tercipta di dalam kamar perempuan itu.
Nafas Caca menggebu-gebu, perempuan itu menginjak bekas serpihan kaca, lalu membanting tubuhnya dengan keras ke ranjang. Bahkan, rasa sakit di hatinya, tidak bisa mengalahkan rasa sakit yang berada di kakinya sekarang.
"Lo jahat ga! Lo jahat! Lo sama kayak mereka yang ninggalin gue! Lo sama kayak mereka yang nyakitin gue! Lo jahat Raga! Lo jahat!" Berteriak, itulah yang dilakukan perempuan itu.
"Meskipun begitu, gue gak pernah bisa benar-benar membenci lo," final Caca, sebelum perempuan itu masuk kedalam sebuah alam mimpi.
**
Terkadang, hubungan bukan perihal siapa yang menyukai si ini atau si itu yang menyukai si ini. Ini perihal dua orang yang menjalani kehidupan dengan berbarengan tetapi tetap satu tujuan, itu yang dinamakan hubungan.
Meskipun memang begitu, ternyata tidak semudah itu untuk menjalani hubungan dengan satu tujuan dalam dua karakter orang yang berbeda.
Karakter yang satu menginginkan seperti ini, dan karakter yang lainnya menginginkan itu. Yang pada akhirnya, menyakiti mereka masing-masing, jikalau tak bisa mengatasinya dengan benar.
Dan tujuan hubungan, bukan tentang menyakiti dua orang, tetapi sebaliknya.