Caca bangun dari tidurnya, dan menatap wajahnya di depan cermin. Betapa kagetnya wanita itu, ketika melihat matanya yang begitu besar, akibat menangis tadi malam.
"Iww ... Jelek banget gue kalo abis nangis," monolog perempuan itu, seraya menatap wajahnya dengan tatapan jijik.
Membuang nafasnya secara pelan, Caca mengusap-usap matanya dengan sedikit kasar, "Isshhh ... Raga goblok, tolol, bisa-bisanya dia batalin pertunangan ini."
"Gue gak bisa Ca, klo tanpa lo. Dih, sungut siapa itu yang bilang gitu, sebel kali gue dengernya."
"Raga tolol, goblok, yang sayangnya gue sayang, sama tergila-gila ini, bisa-bisanya cowok kek dia buat gue frustasi kek gini, cuman gara-gara dia batalin pertunangan ini."
Membuang nafasnya secara kasar, Caca kembali menatap kaca dengan tatapan tajam tetapi tersenyum. Perempuan itu berusaha memberikan semangat pada dirinya sendiri. Menyugar rambutnya ke belakang dan berlenggak lenggok layaknya model di depan cermin.
"Ngapain gue frustasi? Gue cantik, gue pintar dan mandiri, gue bisa dapetin yang lebih dari Raga, ngapain gue frustasi dan nangis tadi malem?" Terus berusaha menyemati dirinya sendiri, Perempuan itu berucap seraya terus memperhatikan dirinya di depan cermin, tak lama kemudian Caca kembali menangis.
"Terakhir ini gue nangisin dia, fiks terakhir, gak lagi gue tangisin dia, huaaaaaaa."
Rasanya, melihat cermin seperti melihat kembali ke masa Raga membatalkan pertunangannya, membuat Caca kembali menangis dan menelusupkan wajah di bantal. Perempuan itu bahkan melupakan pujian yang baru saja dirinya sendiri lakukan di depan cermin.
"RAGA GOBLOK! GUE SUMPAHIN LO NYESEL BATALIN TUNANGAN INI, DAN BUAT GUE NANGIS KEJER KEK GINI!!" Teriak Caca.
Tak lama dari itu, handphone berdering, membuat Caca cepat-cepat mengambilnya. Karena berpikir, orang yang menghubunginya itu adalah Raga.
Caca berpikir, Raga menyesal, makanya menghubunginya.
Berdecak, dan mengusap rambutnya secara kasar, ketika ekspektasinya salah, bukan Raga lah yang menghubungi melainkan Dodi.
Caca berpikir, apakah Raga benar-benar akan memutuskan hubungannya begitu saja? Aishh, apakah tidak ada rasa penyesalan sama sekali di dalam diri lelaki itu?
Kembali di sadarkan dengan suara deringan ponsel, Caca lalu mengangkatnya dan menggeram. "Ngapain lo hubungi gue mulu siii?" Kesal perempuan itu.
"Sensi amat lo!" Balas Dodi di sebrang sana.
"Kenapa?"
"Tunangan lo sama Raga dibatalin?"
"Iya, kenapa? Lo mau masuk jadi calon tunangan gue!" Ucap Caca sinis.
"Dih, gue mau ngasi semangat ini, marah-marah mulu, heran."
"Nyenyeeeee, gue matiin ah! Banyak bacot lo!"
Mematikan ponselnya, Caca melemparkannya begitu saja, dirinya sedang ingin menangis kencang, tetapi Dodi mengacaukannya begitu saja.
Ting tong ting tong
Suara bel berbunyi, Caca tak menghiraukannya dan melanjutkan untuk menangis, tetapi tetap saja, suara bel nya tidak ada niatan untuk berhenti.
"Siapa si jirr? Ada aje yang ganggu dari tadi!"
Caca berjalan menuju toilet, membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan menuju lantai atas untuk mengetahui siapa pelaku yang memencet bel terus menerus.
"Surprise!" Ceria Dodi, ketika Caca sudah membuka pintunya.
"Dih, bagus lo kayak gitu?" Sinis Caca, hendak kembali menutup pintunya, tetapi pintunya di tahan oleh kaki Dodi.
"Baguslah! Bagus untuk menghibur manusia yang sedang galau brutal!" Dodi membalas, dengan membuka pintunya sepenuhnya.
Setelah mengatakan itu, Dodi masuk ke dalam rumah Caca, dan mendorong bahu perempuan itu dengan cukup keras, supaya Caca tak menghalangi jalannya.
"Dasar stres!" Maki Caca. Dan meskipun begitu, perempuan itu tetap membiarkan Dodi masuk, dan mengikuti langkah Dodi dari belakang.
"Mau gue peluk ga? Kayaknya lagi sedih banget lo," Dodi duduk di kursi dengan satu kakinya melipat di atas kaki yang satunya.
"Males banget gue di peluk sama lo!" Balas Caca ketus.
"Lagi sedih ya sedih aja, jan pura-pura kuat kek gitu!"
Caca diam saja, perempuan itu malah menyederkan tubuhnya di kursi seperti putus asa, membuat Dodi mendekati perempuan itu.
"Kali ini gue serius Ca. Peluk gue sini, ceritain semuanya sama gue sekarang juga, gue pengen denger langsung dari lo."
Melihat Caca yang masih diam di tempat, Dodi tak tinggal diam, dan memilih untuk memeluk perempuan itu terlebih dahulu.
"Coba ceritain ke gue, gimana bisa sampe lo berdua batalin pertunangan ini."
Caca menggeleng, "Gue gak tau Dod, gue gak tahu permasalahannya apa, Raga tiba-tiba batalin pertunangan ini, padahal kita lagi baik-baik aja, gue gak tau dia kenapa," Nada bicara Caca mulai terdengar parau, menandakan perempuan itu sebentar lagi mungkin akan menangis.
"Secara tiba-tiba? Gak mungkin dong Ca, Raga gak mungkin batalin pertunangan kalian tiba-tiba gitu aja, sedangkan gue tahu, segimana sayangnya dia sama lo, gak mungkin dong dia batalin gitu aja. Dia gak ada ceritain alasannya gitu sama lo?"
"Tapi memang itu kenyataannya Dod, emang gitu, dia batalin pertunangannya secara tiba-tiba, dan dengan alasan, dia takut nyakitin gue. Kek, alasan dia sama sekali gak masuk akal buat gue dod, gak masuk akal!"
"Kalo misalkan dia gak mau nyakitin gue, kenapa dia batalin pertunangan ini? Gue gak tahu jalan pikiran dia kek gimana, gue gak tahu, gue bingung sama sikap dia yang tiba-tiba jadi kek gini."
Dodi mengusap-usap punggung Caca menenangkan. Lelaki itu tahu, pasti tak mudah di tinggalkan begitu saja tanpa alasan yang jelas, tetapi meskipun begitu, Dodi juga tahu, jikalau Raga tak mungkin meninggalkan Caca hanya dengan satu alasan basi ini.
"Gak usah sedih. Nanti gue cari tahu alasannya apa. Gue yakin, Raga gak mungkin kek begini."
"Tapi Dod, gue takutnya dia ada yang lain. Gue takutnya dia udah bosen, makannya tinggalin gue."
Dodi tertawa, "Gak mungkin, spek kayak Raga ada yang lain? Ketawa kenceng gue! Waktu itu, pas semua orang mengira lo dah mati, Raga mana mau cari cewek lagi, dia maunya lo, meskipun lo dah mati waktu itu, terus sekarang ada yang baru? Kayaknya sangat-sangat tidaklah mungkin!"
"Tapi sekarang beda Dod, beda. Siapa tahu kan emang bener Raga ada cewek baru."
"Dih? Jadi cewek-cewek di luar sana yang normal dan overthinhking juga lo ternyata?" Ejek Dodi, tidak lupa dengan senyuman mengejek yang ikut menyertai.
"Lo kira gue bukan cewek normal?"
Kembali tertawa, Dodi mengusap kasar wajah Caca, dan menutup wajah perempuan itu hanya dengan satu tangannya.
"Jan macem-macem lo! Gue rames-rames wajah lo, baru tau rasa entar!" Ucap Dodi, ketika tangan Caca sudah mengepal siap menonjok dan melepaskan kepalan di wajahnya.
"Pengap Dodi pengap!" Caca berteriak, seraya mencoba melepaskan tangan Dodi dari wajahnya, tetapi lelaki yg bernama Dodi malah semakin mengeratkan tangannya pada wajah Caca.
"Bilang Dodi ganteng dulu, baru gue lepas."
"Gak! Males banget gue bilang lo ganteng!"
"Yaudah, kalo lo gak mau bilang gue ganteng, siap-siap aja lo mati di tangan gue karena kehabisan nafas."
"Dodi jelek!" Ucap Caca.
"Gue, jelek? Yakin gue jelek?" Semakin meremas wajah mungil Caca, tangan Dodi kian semakin mengerat saja.
"Lepas lah Dod."
"Bilang gue ganteng dulu."
"Gak mau!"
"Ya udah, berati gue juga gak mau lepas."
Caca menghela nafasnya, rasanya ingin mengigit dan menjilat tangan Dodi, tetapi cengkraman yang Dodi sangat kuat, membuat mulut Caca pun tak bisa bergerak sama sekali.
"Dodi ganteng, lepasin tangannya," ucap Caca, dengan suara yang teredam oleh bekapan.
"Nah gitu dong, tapi gue tetep gak mau lepasin tangan gue."