Dengan segenap raga serta permohonan dan rengekan, Raga terus mencoba membujuk ayahnya untuk memberi tahu alasannya. Karena tak mungkin, ayahnya melakukan sesuatu hal, tanpa adanya alasan.
"Pah ayolah, kasih tahu Raga." Rengek Raga untuk kesekian kalinya.
"Kamu apaansi? Apa yang harus papah kasih tau ke kamu?"
"Pah, masa kita mau main rahasia-rahasian sih? Gak bagus lho, nyimpen rahasia sama anak."
"Berisik ah! Tadi aja marah-marah, sekarang mohon-mohon sambil ngerengek-rengek!"
"Pah, ayolah ..."
"Berisik ah, sana keluar!"
"Raga aduin bunda nih?" Raga mengancam dengan mata tajamnya.
"Sana aduin aja, kamu paling yang di marahin!" Wijaya menjawab acuh tak acuh.
"Bundaaaaaaaa!" Raga berteriak seraya , berjalan keluar, membuat Wijaya geleng-geleng kepala.
Sifat Raga masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah, seperti pada saat usia lelaki itu baru menginjak lima tahun. Perbedaannya hanya postur tubuh dan bentuk wajah yang lebih seram, meskipun aslinya tetap sama cengeng. Yap, cengeng, tidak sama sekali ada seram atau menyeramkan.
Raga berjalan dengan wajah cemberut untuk mencari dimana keberadaannya bundanya. Tetapi hampir semua tempat Raga mencari, bundanya sama sekali tak di temukan.
Akhirnya Raga memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dengan keadaan wajah lebih parah dari sebelumnya.
Pada akhirnya Raga merenung di pinggir balkon kamarnya. Rasanya bingung, apa yang harus dirinya lakukan supaya papahnya itu mengaku, dan apa yang akan terjadi Caca, jikalau papahnya terlibat dalam pembunuhan itu?
Raga menutup wajahnya, rasanya, jikalau Caca terus bersamanya, kebahagiaan itu tidak akan pernah muncul, hanya ada kesedihan yang perlahan-lahan datang yang di sebabkan oleh keluarganya.
Raga sangat mencintai Caca, tetapi Raga berpikir, apakah bagus jikalau Caca selalu bersamanya?
Dulu, lelaki itu sangat egois, Caca harus bersamanya, karena jikalau tak bersama Caca, ia tampaknya tidak akan pernah bisa hidup dengan apa keinginannya, karena Caca lah keinginan lelaki itu. Tetapi sekarang, kini pemikiran Raga berbeda, tak masalah dirinya tak bersama Caca nantinya, toh yang penting orang yang di cintainya itu merasa bahagia.
Kenapa Raga berpikiran seperti itu? Karena Raga berpikir, jikalau Caca terus bersamanya, kebahagiaan itu tidak akan pernah muncul dari kehidupan perempuan itu, karena Raga dan keluarganya yang merusak. Padahal, di sini belum jelas, apa maksud dari Wijaya menuduh Alex.
Raga mengusap sudut matanya yang tiba-tiba mengeluarkan air mata. Rasanya, hanya membayangkan Caca bersama orang yang dicintainya tetapi bukan Raga sendiri itu menyakitkan.
Tetapi Raga kembali berpikir, akan lebih menyakitkan jika Caca yang terus bersamanya.
**
Keesokan paginya, Raga mengajak Caca bertemu, dan bertemulah mereka di tempat biasa mereka bertemu, tetapi pada akhirnya, Raga mengajak Caca untuk kerumah perempuan itu, karena tempat yang biasanya itu terlihat banyak orang, dan Raga tidak menyukai itu.
Kali ini, Raga hanya ingin berdua saja dengan Caca.
"Kenapa si Ga? Manja banget hari ini." Keluh Caca, pasalnya dari tadi, Raga tak ingin jauh padanya, meskipun hanya beberapa centimeter saja.
Raga menggeleng sebagai jawaban, lelaki itu malah semakin merapatkan tubuhnya dengan Caca.
Caca memutar bola matanya, ada apa dengan Raga hari ini? Lelaki itu sangat manis hari ini.
Raga yang awalnya duduk di pinggir Caca, kini beralih tertidur di paha perempuan itu. Menatapnya dalam sambil tersenyum, tidak lupa tangannya yang mengusap-usap pipi Caca.
"Lo sayang sama gue Ga?" Tanya Raga.
Pertanyaan yang muncul di mulut Raga itu membuat Caca menundukkan pandangannya. "Bodoh lo ajuin pertanyaan kayak gitu."
Raga terkekeh, benar juga apa yang di katakan Caca sekarang. Mana mungkin perempuan itu mau bertunangan dengannya kalau tidak menyayanginya.
"Tangannya mana liat?" Caca menurut, dan menyerahkan tangannya pada Raga.
"Cantik," fuji lelaki itu, ketika melihat cincin pertunangan mereka yang terpakai di jari manis Caca.
"Kemana aja lo? Dari lahir juga gue cantik."
"Dih? Geer banget si lo! Gue puji cincinnya, bukan lo!"
"Jadi gue gak cantik?" Caca bertanya dengan tatapan tajam dan menelisiknya.
"Cantik dong sayang, cantik banget malahan," ujar Raga, dengan cengiran khasnya.
Kembali memutar bola matanya malas, Caca melepaskan tangannya dari genggaman Raga. "Lo bilang gue cantik pas udah gue pelototin aja!"
Raga kembali dan kembali tertawa, tetapi berbeda dengan matanya yang memancarkan perbedaan.
"Kenapa Ga? Kenapa mata lo tiba-tiba berkaca-kaca kek gitu?"
Menggeleng, itu yang Raga lakukan, membuat air mata yang berusaha di tahan itu keluar.
"Ga tau, tiba-tiba melow aja."
"Jujur."
Raga bangun untuk memeluk tubuh Caca. Perlakuan itu membuat Caca semakin bingung, ada apa dengan Raga ini?
Lama kelamaan, lelaki itu terisak dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Kenapa Ga? Kenapa? Gak mau cerita sama gue?" Caca menepuk-nepuk punggung tunangannya. Caca ingin menenangkan, meskipun tak tau apa alasan Raga sampai seperti ini.
"Caca ..." Raga memanggil, membuat Caca dengan cepat menyahut.
"Kenapa, kenapa?"
"Caca cape Ga? Terus-terusan sama Raga? Raga bikin hati Caca sakit terus yah?" Raga berkata seperti itu seraya menahan isakkannya.
"Lo ngomong apa si? Lepas dulu pelukannya!"
Raga menggeleng, "Lepas dulu gue bilang!" Caca berbicara tegas. Membuat Raga melepaskan pelukannya secara perlahan.
"Bilang sama gue, kenapa tiba-tiba ngomong gini!"
Mengusap air matanya, Raga menunduk, entahlah, rasanya bicara sejujurnya itu tidak semudah itu.
"Masih belum mau cerita?" Raga mengangguk, membuat Caca kembali memeluk tubuh lelaki itu.
"Yaudah, tenangin dulu diri lo. Mau jalan-jalan?" Tawar Caca antusias.
"Mau, tapi mau peluk yang lama dulu."
Caca mengangguk membiarkan, biarkan Raga bermanja-manja hari ini.
"Caca ..."
"Kenapa Ga?" Tanya Caca, seraya mengusap-usap rambut Raga.
"Kalo kita ga jodoh gimana? Tanggapan Caca gimana, kalau kita ga berjodoh?"
"Gue tetep bersyukur."
"Kok gitu?" Bingung Raga, wajah lelaki itu cemberut, apakah Caca memang tak ingin berjodoh dengannya.
"Gue ga bisa paksain kehendak tuhan. Mungkin kita hanya sebatas di pertemukan bukan di satukan, tetapi meskipun begitu, gue bersyukur karena pernah menjadi bagian di hidup lo, dan mungkin manusia yang berati juga di hidup lo."
"Kenapa ngomong gitu?" Heran Caca.
"Tapi kalau jodoh gak akan kemana kan Ca?" Raga bertanya, dan mengabaikan pertanyaan yang Caca berikan.
Caca menggeleng, "Enggak, sejauh apapun lo berusaha menghindar ataupun sebenci apapun lo sama orang itu, kalo orang itu jodoh lo, lo bisa apa? Begitupun gue, sesayang apapun gue sama lo, tapi lo bukan di takdirin buat gue, gue bisa apa? Kita sebagai manusia hanya bisa mengikuti alur."
"Gue tadi tanya, kenapa ngomong gitu?"
"Gue cuman takut kalo kita ga berjodoh," balas Raga.
"Ngapain takut? Kalo gue gak berjodoh sama lo nantinya, itu berati tuhan tahu, gue gak baik buat lo, dan pasti ada yang terbaik dan lebih pantas buat dampingin lo."
"Lo yang terbaik buat gue. Berati lo jodoh gue!"
"Yang terbaik buat lo, bukan berati baik buat tuhan Ga ..."
Raga semakin cemberut mendengar omongan yang terlontar dari mulut Caca. "Ga mau banget lo berjodoh ama gue!"
"Siapa yang ga mau si?"
"Itu tadi ngomong lo, omongan lo seolah-olah gak mau berjodoh sama gue!"
"Bukan gitu Raga ... Gue kan lagi ngomongin apa itu arti jodoh, bukan gak mau berjodoh sama lo."
"Terserah lo lah!"