Caca memasuki ruangan kerja Wijaya. Perempuan itu di suruh oleh Bunda Renita, untuk mengajak suaminya makan malam bersama.
Caca memperhatikan Wijaya yang sedang menulis. Tulisan itu ... Seperti tak asing dipenglihatannya. Tulisannya, seperti tulisan yang berada di bawah bantal Libertà, yang ditemukan oleh Raga. Tulisan yang bertuliskan nama Alex.
Caca menjadi berpikir. Apakah Wijaya yang berada di cctv rumahnya itu, hanya untuk menyelundupkan nama Alex di bantal Libertà? Cukup masuk akal, pikir Caca.
Tetapi ... Masih ada yang mengganjal diotaknya, untuk apa Wijaya melakukan itu?
"Pah, kata Bunda makan dulu," Caca menginterupsi, membuat Wijaya berhenti menulis.
"Sekarang banget?" Tanya Wijaya.
"Ya udah. Kalo gak mau, aku bilang—"
"Udah selesai ini ... Ayok, keluar-keluar!"
"Takut diaduin lah tuh," Caca berucap dengan nada mengejeknya. Membuat Wijaya menjitak, kepala perempuan itu.
"Oke, kita musuhan mulai sekarang!"
"Oke, aku bilangin Bunda mulai sekarang!"
Raga memelototkan matanya pura-pura garang, "Oh, mulai berani kamu, hah?"
"Kabur!" Caca berteriak, seraya berlari terbirit-birit keluar.
Wijaya tertawa. Sifat Caca dan Raga memang sangat sama. Tetapi, Caca versi lebih parahnya.
**
Acara makan malam keluarga sedang berlangsung. Canda gurau selalu dilemparkan, meskipun makan sedang berlangsung.
Caca yang akan menyuapkan nasi ke dalam mulut pun, harus menghentikannya, ketika Dodi meneleponnya. Ada apa Dodi meneleponnya malam-malam.
"Ga! Ayok kita ke markas! Alzam ngamuk-ngamuk!" Caca menelan air minum dengan cepat, lalu menarik Raga yang masih setia menguyah.
"Bentaran anjir! Belum minum ini!"
Raga menolak, tetapi Caca tetap menariknya secara paksa, membuat lelaki bernama Raga itu terseret.
Caca masuk ke dalam mobil segera, tetapi melihat Raga yang masih diam didepan pintu tanpa ada niatan masuk pun, membuat Caca kembali turun.
"Ayok ih! Lama banget sih!"
"Oh iya, gue tiba-tiba lupa," setelah mengatakan itu, Raga berlari menuju mobil dan melajukannya dengan cepat.
Sedangkan Caca, perempuan itu marah mengedip-ngedipkan matanya pelan. Ketika Raga meninggalkan begitu saja.
Tak lama dari itu, Caca terlihat menepuk jidatnya dengan keras, "Stres!" Maki Caca Kesal, dan berjalan menuju mobilnya.
**
Caca sampai disana, dengan keadaan Alzam yang masih mengamuk. Sedangkan Raga, tampaknya tidak menyadari apa yang dia lakukan terhadap perempuan bernama Caca itu.
"Lo kemana aja sih? Liat noh si Alzam ngamuk-ngamuk kagak berhenti!" Raga malah marah pada Caca, sedangkan Raga sendiri yang meninggalkannya.
Caca tak menjawab, perempuan itu mendekat ke arah Alzam yang sedang marah-marah.
Entah karena kesalahan apa, sampai-sampai Alzam menonjoki muka Sigit hingga babak belur.
"Bangsat lo! Bisa gak usah becandain istri gue!"
Kembali memukuli wajah Sigit yang sudah tak berdaya. Caca Mendekat, lalu menonjok wajah Alzam cukup keras, sehingga membuat lelaki itu sedikit tersungkur.
Alzam memegang sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, "Lo apa-apaan sih!"
"Lo yang apa-apaan! Gak liat? Sigit udah mau mati karena ulah lo!"
"Dia yang duluan! Dia bercanda soal Sasa!"
Caca menghela nafas pelan. Lalu menggiring Alzam untuk ke ruangan inti. Tampaknya, Alzam sedang dilanda masalah. Karena biasanya, Alzam akan oke-oke saja, kalau dirinya atau Sasa yang jadi bahan candaan.
"Sigit ngomong apa?"
"Sigit bilang. Sasa bakalan tinggalin gue, kalau sikap gue dingin terus kayak gini. Dia gak tahu aja, kalau emang bener, gue lagi di tinggalin Sasa." Alzam berbicara dengan nada pelannya.
"Ada masalah? Masalah apa? Cerita sama gue, biar gue entar ngomong sama Sasa."
"Salah paham. Gue kira, dia selingkuh. Gue sampai marahin dia habis-habisan. Tapi ternyata, itu cuman temen deketnya yang lagi kena musibah, makanya temennya itu chat Sasa."
"Tapi ada yang mengganggu banget. Temen cowoknya itu, kek seolah-olah minta di perhatiin banget sama Sasa. Gue nya jadi kesel, gue tonjokin dia, eh Sasanya malah marah."
"Udah minta maaf?" Tanya Caca.
Alzam menggeleng. Bagaimana mau meminta maaf, orang Sasa nya sendiri pergi dari rumah.
"Gue bakalan coba telepon dia."
"Gak akan diangkat Ca. Dia pasti tahu, kalau lo telepon, pasti disuruh gue."
"Gak ada salahnya coba kan?" Caca berucap seraya mencoba menelpon Sasa.
Telepon pertama dan ke dua, tidak diangkatnya. Tetapi pada panggilan ke tiga, Sasa baru mengangkatnya.
"Tuh kan, diangkat."
"Halo, Sa?" Ucap Caca.
[Iya Ca, kenapa?]
"Ada Alzam?"
[Alzam lagi keluar.]
"Lo dimana?" Tanya Caca.
[Di rumah.]
"Dirumah Alzam?"
[Ya iya lah. Masa dirumah suami orang!]
Caca tertawa kecil, kalau di pikir-pikir ... Konyol juga pertanyaannya, "Gue ke sana, ya? Mumpung gak ada Alzam."
"Okey, ditunggu."
Mematikan sambungan teleponnya. Caca langsung saja melihat Alzam yang bangkit dari duduknya. Tampaknya, Alzam ingin cepat-cepat menghampiri Sasa.
"Eits ... Mau ke mana lo? Biar gue aja yang ke rumah lo," Caca menahan bahu Alzam, untuk tetap diam.
Melihat tatapan protes dari Alzam, Caca kembali berucap, "Lo gak mau Sasa marah juga ke gue kan? Gara-gara dia tahu, gue bohongin dia?"
"Tapi Ca ..."
"Tapi apa? Lo mau semuanya selesai? Tunggu dulu sebentar. Sasa di rumah sekarang, itu juga udah bagus, buat nandain dia, bahwa dia udah gak marah sama lo. Jadi sabar dulu."
Alzam terpaksa mengangguk dan kembali duduknya. Sebenarnya, Alzam ingin cepat bertemu dengan Sasa dan meminta maaf, karena sudah salah paham. Bisa-bisanya, Alzam marah besar, hanya karena hal seperti ini.
Melihat Alzam yang sudah terlihat tenang, Caca keluar ruangan, "Ca, mau ke mana?" Tanya Raga.
"Gak usah sok kenal!" Balas Caca, lalu berjalan menghiraukan Raga.
"Lo kenapa sih? Dari awal masuk lho, lo marah-marah."
"Pikir aja sendiri!"
Raga memegang kepalanya untuk mengingat. Apa kesalahannya? Perasaan, dari tadi pun, Raga tak merasa melakukan kesalahan kepada Caca.
Tiba-tiba, Raga menepuk cukup kencang jidatnya. Ketika mengingat secara gamblang, kejadian yang berada di rumah.
Caca menyuruhnya untuk cepat-cepat masuk ke mobil, karena dirinya sendiri, masih diam didepan pintu rumahnya. Tetapi ketika tersadar, Raga cepat-cepat berlari kencang, dan melajukan mobilnya dengan kencang juga. Sampai-sampai meninggalkan Caca sendiri dipekarangan rumah.
"Maaf Ca. Gue gak sadar, kalau gue tinggalin lo di rumah," cicit Raga. Dengan cengiran lebarnya.
Caca menatap Raga datar. Jadi, Raga baru sadar, dengan apa yang telah dilakukannya? Parah sekali.
Apakah lelaki itu tak menyadarinya, pada saat mengendarai mobil? Secepat apakah Raga mengendarai mobil, sampai-sampai sekitar pun, tak dihiraukan?
"Ca, maaf ... Gue beliin seblak ya?" Raga berusaha membujuk.
"Bentar, gue beliin dulu. Lo tungguin disini."
"Gak usah! Lagian, gue mau ke rumah Sasa. Dan gak jadi, nginap di rumah lo!"
"Kok gitu? Gue beliin itu deh, lo mau apa? Gue ke mini market dulu kalau gitu, udah itu beli seblak. Lo tungguin dulu disini."
"Gue bilang gak usah! Gue mau ke rumah Sasa!"
"Gue anterin makanannya, ke rumah dia."
Caca menatap punggung Raga yang sudah pergi. Keras kepala sekali, lelaki yang bernama Raga itu. Dirinya sudah bilang tidak, tetapi malah ditawarkan makanan lebih banyak. Kalau dari awal memang seperti ini akhirnya, Caca akan marah lebih lama lagi, untuk mendapatkan, lebih banyak makanan.