Ditempat lain …
Mona mengusap wajah Topan dengan lembut, sayang sekali dengan lelaki yang sedang diusapnya ini.
Mona hampir saja menyesal, karena tak pernah menyadari keberadaan Topan yang selalu ada untuknya. meskipun dulu, menggunakan embel-embel anak buah.
Tapi tak apa, semuanya ada hikmahnya. Jikalau mungkin dulu Mona tidak mengejar-ngejar Raga, sampai sekarang pun, Mona tidak akan menyadari perasaannya dan akan terus menganggap Topan pembantunya, bukan kekasihnya.
"Cape banget kayaknya," Mona berujar, seraya terus mengusap-usap Topan yang sedang memejamkan matanya.
"Namanya juga kerja, pasti capek." Balas Topan.
"Gak mau balik ke keluarga kamu aja? Biar kerjanya gak capek?"
Topan yang sedang menikmati usapan tangan itu, membuka matanya, ketika mendengar ucapan Mona.
"Kamu tahu alasannya apa kan? kenapa kamu nyuruh aku balik?" Topan menyingkirkan tangan Mona dari wajahnya, lalu menegakan tubuhnya.
"Bukan gitu maksud aku ..."
"Terus apa? Udah jelas-jelas kamu nyuruh aku balik, masih bilangin bukan gitu maksudnya?"
"Aku gak mau balik, karena aku gak mau ngambil hak orang, kamu pun tahu itu. Aku gak mau nikmatin kekayaan yang keluarga aku punya, karena itu barang haram. Mereka punya itu semua karena merampas, kamu tahu itu kan?"
Mona menggenggam tangan Topan. Perempuan itu agaknya lupa, kalau topik yang baru saja di ucapakan adalah materi sensitif bagi lelaki itu.
"Aku tahu ... Aku cuman gak mau, kamu kecapean itu aja."
"Maaf," ujar Mona lagi, ketika Topan tak membalas ucapannya, dan hanya mengalihkan pandangan.
"Gak papa, gak usah minta maaf. Aku cuman gak mau kamu bahas topik itu lagi."
Mona mengangguk, "Iya, gak akan bahas lagi."
"Beruntung banget deh aku. Nyadar kalau misalnya kamu suka sama aku, kalau enggak, aku bakalan terus-terusan kejar Raga."
"Aku masih bingung sama kamu. Apa yang buat kamu kejar-kejar dia sampai celakain orang?"
"Dia ganteng dan famous."
"Gantengan aku tau dia?" Tanya Topan.
Mona terdiam. Bukannya bingung, hanya saja, ketika di tanya gantengan siapa, Mona tak tahu harus menjawab apa. Karena Topan dan Raga sama-sama tampan.
Melihat Mona yang tampaknya berpikir sangat lama sekali, Topan berdecak kesal, sangat susah sekali kah, menentukan siapa yang lebih tampan.
"Gak perlu jawab aja. Aku tahu jawaban kamu, yang pasti lebih gantengan Raga kan, dibanding aku?" Rajuk Topan. Entahlah, Topan memang gampang sekali merajuk.
"Kalau kamu udah tahu jawabannya, kenapa tanya?"
Topan yang kesal pun semakin dibuat kesal. Bisa-bisanya Mona berbicara padanya dengan secara langsung mengatakan bahwa lelaki lain yang lebih tampan dari kekasihnya sendiri.
Jujur memang menyakitkan.
Topan berdiri dari duduknya, "Aku mau nyamperin Clara. Cuman dia dia yang bilang aku ganteng, padahal bukan siapa-siapa. Sedangkan kamu? Udahlah," tak melanjutkan ucapannya. Topan pergi begitu saja.
Mona terkekeh kecil. Selalu saja seperti ini, lucu sekali di kalau Topan marah hanya karena Raga. Mona menyukainya.
"Bercanda, kamu yang lebih ganteng dari siapapun. Jadi gak usah marah, apalagi samperin Clara, awas aja!"
Topan berbalik, lalu berjalan ke arah Mona dengan langkah lunglainya, "Jangan bawa-bawa Raga terus, aku gak suka."
"Jangan bawa-bawa Clara terus, aku juga gak suka!"
Jadi … Apa Mona sudah move on dari Raga? Jika iya, sepertinya akan menjadi kabar baik.
**
Caca berjalan ke arah cctv di rumahnya. Entah kenapa, firasatnya mengatakan untuk ke tempat ini.
Sempat terdiam beberapa saat, setelah duduk di depan layar didepannya. Caca menghela nafas, lalu mulai mengutak-atik layar didepannya.
Awalnya tidak ada yang dicurigai, hanya ada yang orang yang berlalu lalang seperti biasanya.
Karena merasa tak ada apa-apa, Caca akan kembali ke kamarnya. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal, yang membuat perempuan itu kembali duduk di tempatnya.
Papah Wijaya? kenapa lelaki itu masuk, apalagi dengan cara mengendap-endap. Apa untuk menyelidiki kasus orangtuanya? tetapi kenapa dengan cara mengendap-endap.
Caca mengecek cctv di dalam rumah, niatnya ingin mengetahui apa kelanjutan yang di lakukan papah Wijaya. Tetapi betapa sialnya dirinya, karena cctv didalam rumah sama sekali tak berfungsi.
Caca menggebrak meja itu, kenapa rasa penasarannya sangat susah sekali terpenuhi, hanya beberapa langkah lagi saja, tetapi Cctv di dalam rumah yang menjadi bukti malah tak berfungsi.
Entah apa motif Wijaya, tetapi itu cukup membuat Caca penasaran. Jikalau memang benar untuk menyelidiki, kenapa hanya sendirian saja? Dan tidak membawa anak buahnya? Atau supaya penyelidikan yang dilakukannya cepat selesai?
Dan apa yang membuat Caca semakin penasaran, selain alasan itu. Om Wijaya, datang ke rumah ini, setelah dirinya sudah ada disini. Maksudnya, Wijaya sudah tahu dirinya kembali.
Caca mengambil handphonenya, lalu menghubungi Raga. "Halo Ga, Papah ada?"
"Belum pulang, tumben nanyain dia. Ada apa?"
"Gak ada apa-apa. Gue cuman nanyain aja. Hari ini, gue boleh nginep dirumah lo?"
"Boleh banget dong! Gue jemput lo sekarang juga!"
Raga terdengar sangat antusias, dan segera mematikan telepon. Tampaknya, Raga cepat-cepat akan menjemputnya.
**
Caca dan Raga kini sudah sampai di parkiran. Melihat mobil Wijaya, Caca tersenyum, ternyata orang yang di tanyakan nya sudah pulang.
"Papah udah pulang kayaknya," Raga berucap, seraya mengandeng Caca untuk masuk ke dalam.
"Gue tahu. Gue gak buta, gue bisa lihat bentuk mobilnya."
Raga tertawa, lalu menyembunyikan wajah Caca pada ketiaknya, "Ketiak lo bau tahu!"
"Dih? ketiak gue wangi kali!" Raga berucap, seraya semakin mendekatkan wajah Caca dengan ketiaknya.
"Ga! Lo mau tunangan lo yang cantik ini mati! gila lo!"
"Berantem terus kalian ini," mendengar perkataan yang keluar dari bunda Renita, Caca melepaskan rangkulan itu secara kasar, lalu mendekati wanita itu.
"Kangen banget bunda sama kamu. Nginap kan?" Caca mengangguk, seraya memeluk tubuh perempuan itu sesaat.
"Nginap dong! soalnya, Raga maksa," ucap Caca.
Merasa ada yang membawa-bawa namanya, Raga berseru, "Dih? gue maksa lo? mana ada? lo sendiri yang mau nginap di sini!"
"Oh ya udah, kalo misalnya—"
"Iya-iya! gue yang maksa! ambekan banget jadi cewek!" Sela Raga.
Lelaki itu lebih baik mengalah, daripada terus beradu argumen dengan manusia keras kepala seperti Caca.
Caca tersenyum, suka sekali Caca dengan Raga yang mengalah dan mengaku dirinya menang. Kapan lagi kan, seorang Raga mengaku kalah?
"Mah, Raga mah kelakuannya bohong terus. padahalkan dia mana ada maksa aku buat nginap, aku sendiri yang mau, tapi dia malah bilang, bahwa dia maksa aku," ceplos Caca, membuat Raga memelototkan matanya.
Tampaknya, slogan lelaki itu selalu salah, kini tepat bagi Raga. Bagiamana tidak, Raga sedang berada di fase itu. ingin berbicara sejujurnya, bahwa Raga sendiri tak memaksa, tetapi mendengar nada bicara Caca, lelaki itu urungkan, karena takut Caca marah padanya. Tetapi sekarang, ketika lelaki itu berbohong, tetap salah juga di mata Caca.
"Serah lo lah! gue mah selalu salah!"
Raga tampaknya sedikit frustasi. Apalagi, ketika melihat bundanya yang malah menertawakan bukannya membantu.
"Ambekan banget kayak perawatan!"
"Gak mau ngomong, takut salah!" Katanya, seraya menarik kerah baju belakang Caca, supaya berjalan.
"Raga lepasin! gue udah kayak anak kambing aja, di tarik dibelakang!" Caca berteriak, seraya berjalan mundur dan berusaha melepaskan.
"Raga, lepasin!"
"Raga!"
"Bunda ... Tolongin aku!"
"Bunda gak ikut-ikutan ya, bye!" Setelah mengatakan ucapan itu. Bunda Renita, berlari kecil menuju dapurnya, membuat Caca pasrah ditarik seperti itu.