Setelah mendapatkan kabar dari Alex, bahwa orangtuanya akan menemui Caca pagi ini, Caca cepat-cepat membereskan rumah dan memasak, di bantu asisten rumah barunya.
Caca hanya ingin melihat saja, seperti apa bentuk wajah orang tua Alex. dan benar atau tidaknya tentang siapa pembunuh orang tua Caca.
"Bibi gak kecapean kan? awal bekerja sudah seperti ini?" Cemas Caca. Pasalnya, hanya satu asisten saja yang Caca pekerjakan.
"Enggak atuh neng, Kan udah pekerjaan bibi." Balas Bi Surti membuat Caca tersenyum di buatnya.
Caca dan Bi Surti kembali menyiapkan makanan. Setelah di rasa sudah selesai, Caca berjalan ke lantai atas untuk membersihkan diri. rasanya, seperti ada tamu spesial yang datang, yang membuatnya cukup lelah menyiapkan semuanya.
Caca melirik handphonenya, ketika mendapatkan notif pesan dari Raga.
Raga = Sayang, kita jadi jemput Kania kan?
Seperti itulah isi pesannya. Caca hampir saja tertawa geli mendapatkan pesan itu, tumben sekali Raga menyebutnya dengan menggunakan kata embel-embel seperti itu. tetapi meskipun begitu, Caca bersyukur, seiring berjalannya waktu, gengsi Raga seolah-olah hilang secara perlahan.
Caca mengetikan kata untuk membalas pesan Raga. Bahwa tidak bisa sekarang menjemput Kania, karena adanya keperluan. Caca tak bilang, orang tua Alex akan menemuinya, bisa-bisa Raga akan merecoki rencana lagi seperti kemarin, karena Raga tak suka melihat Caca dekat-dekat dengan Alex.
Raga ternyata membalas dengan kata 'Ada keperluan apa?' Membuat Caca segera mematikan handphonenya. Bisa gawat kalau Raga tahu. Pikir Caca, seraya berlari menuju kamar mandi.
**
Berlari kecil untuk menuruni tangga, ketika Bi Surti memanggil tamunya sudah di bawah. Caca tersenyum ramah, ketika melihat orang tua Alex yang sedang menatapnya.
"Senang bertemu dengan anda. Perkenalkan, nama saya Caca Queensa Libertà. Cucu dari orang yang Alex pegang perusahaannya." Caca menjulurkan tangannya, seraya menyalimi tangan kedua orang tua itu.
"Senang juga bertemu dengan anda. Nama saya Rendi, ayahanda dari Alex. Dan di sebelah saya tentunya istri saya, dia bernama Sandra." Balas Rendi, seraya membalas uluran tangan itu.
Caca menyuruh mereka semua duduk. Apakah Alex sedang berbohong padanya? Caca jelas tahu siapa nama orang tua Alex sebenarnya.
Ayah Alex bernama Giovanni, sedangkan ibunya bernama Lioren. jelas-jelas sangat jauh dengan nama yang sedang di perkenalkan. Jikalau nama panggilan pun, tidak akan sejauh itu. orang bernama Giovanni Albina, sangat jelas tidak mungkin di panggil Rendi.
Dari bentuk wajah pun, jikalau di perhatikan, dari wajah ibu atau ayahnya, sama sekali tidak ada yang mirip dengan Alex.
Caca mencoba mengajak mengobrol dengan topik-topik yang ringan terlebih dahulu, seraya memikirkan apa yang harus di lakukan dirinya nanti.
Entah di mulai dari menanyakan hobi, seperti apa sifat Alex ketika di rumah, atau cerita bagaimana Rendi dan Sandra bisa bertemu. sepertinya, semua orang menikmati obrolan ini.
"Eh, gimana kalau kita adain permainan? setuju gak?" Caca berseru ceria, membuat mengangguk saja di buatnya.
"Permainan apa?" Sandra bertanya, dengan intonasi lembut seorang ibunya.
"Pokonya, permainan kekompakan. aku yang jadi wasitnya disini, kalian bertiga yang main."
"Mulai ya?" Caca menginterupsi.
Mereka bertiga mengangguk, "Jadi setelah aku bacain pernyataannya. dan bilang 1 2 3, kalian sebutin jawabannya, oke?" Kembali mengangguk, ketiga orang itu.
"Pertanyaan pertama. Apa warna kesukaan Alex? satu, dua, tiga."
"Hitam!" Serempak keluarga Alex.
Caca tersenyum, "Tanggal lahir Alex. satu, dua tiga!"
"Satu April!"
"Dua Mei!"
"Lima Mei!"
Caca melirik satu persatu ketiga orang itu, ketiga jawaban yang mereka berikan berbeda, "Kok beda?" Caca bertanya, seraya menyembunyikan senyumnya.
"Itu ... Emm—"
"Itu tanggal lahir adik saya. Satu April adik pertama, dan dua Mei adik kedua saya, dan lima Mei, itu saya." Sela Alex.
Caca mengangguk saja, meskipun di dalam hatinya tidak percaya. Caca bisa melihat ketergugupan Rendi, ketika akan menjawab pertanyaannya yang di sela oleh Alex.
"Kok gue baru tahu lo punya adik?"
"Saya tidak pernah bercerita Nona." Caca kembali mengangguk. biarkan saja, Alex bermain-main dengan kebohongannya sekarang.
"Mau lanjut permainannya?" Caca berucap, kembali menawarkan.
Alex jelas menggeleng. Lelaki itu sepertinya, takut jikalau ada pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari Caca.
"Ya udah. Kita makan aja kalau gitu," Caca berdiri dari duduknya, seraya menggiring Sandra, untuk berada di sisinya.
Caca mengambilkan makanan untuk Sandra dan dirinya, dan di lanjutkan mengobrol sebentar sebelum makan. Tidak hanya Sandra dan Caca saja, Alex dan Rendi pun ikut berbincang kecil.
"Loh? bukannya Alex alergi udang? kenapa tante kasih Alex udang?" Kembali menyembunyikan senyumnya, sudah jelas bukan, kedua orang tua di depannya ini memang bukan orang tua Alex.
Orang tua mana yang melupakan ulang tahun anaknya, tetapi anak-anak yang lainnya di ingat? dan pasti sudah jelas, orang tua sangat-sangat hapal, apa yang tidak di sukai anaknya, terlebih lagi perihal makanan.
"Aduh!" Sandra terlihat menepuk jidatnya, "Tante lupa. Soalnya, adik Alex itu sangat suka sekali terhadap udang."
Caca tersenyum, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, "Saya bercanda. Alex menyukai udang, yang tidak menyukai dan alergi udang itu teman saya, Bima."
"Tante gimana sih? orang tuanya kok gak serba tahu? adiknya Alex mulu yang di ingat." Caca berucap, dengan kekehan yang keluar dari mulutnya. Pertanda bercanda, supaya tak menyinggung Sandra.
"Wajar saja Nona. saya kan jarang di rumah, adik-adik saya lah yang sering menemani mereka," balas Alex, membuat Caca kembali mengangguk, seolah mempercayai.
"Lagian gue bercanda aja kok tadi. maaf ya om, tante."
"Gak papa, emang salah om sama tante."
Setelah Sandra mengucapkan kata itu, mereka semua kembali bercanda. Beberapa jam kemudian, orang tua Alex pulang, dan Caca menyuruh Alex kembali ke rumah orangtuanya, setelah mengatakan mereka pulang.
"Ada yang masih mau anda bicarakan, Nona?"
Caca masih diam, seraya memperhatikan Alex. Jangan sampai, terjadi lagi untuk keberapa kalinya, dirinya di bohongi oleh orang terdekatnya.
"Lo gak lagi bohongin gue, kan?" Caca bertanya, seraya menaikan satu kakinya, di atas kaki lainnya.
"Ha? Maksud Nona apa?"
"Gue tanya, lo lagi gak bohongin gue kan?"
Alex menggeleng, "Bohongin apa? saya memang tidak membohongi anda."
"Orang tua tadi siapa? Beneran orang tua lo?" Tanya Caca.
"Iyalah, terus orang tua siapa lagi?"
Melihat Alex yang tetap kukuh, Caca mengangguk saja. Dirinya pun tidak mungkin, memaksa Alex untuk mengaku bahwa lelaki itu berbohong. toh lagian, Caca masih belum punya cukup bukti.
"Ya udah. Lo bisa pulang kalau misalnya gak berbohong. Tapi asal lo tahu Lex, gue paling gak suka di bohongi sama orang terdekat gue, termasuk lo!" Caca berbicara dengan nada tegas, lalu berjalan meninggalkan Alex sendirian di ruang tamu untuk menuju kamarnya.
Caca menghela nafas pelan, seharusnya tadi tak berbicara seperti itu kepada Alex, karena takut, penyelidikan kasusnya semakin sulit untuk di cari tahu.
Caca kembali menyalakan handphonenya. Dan betapa kagetnya dia, ketika menemukan pesan dan telepon yang begitu banyak, dari Raga. Sejenak, Caca membiarkannya terlebih dahulu, ketika melihat pesan Alex yang bertuliskan 'Maaf Noona'.
Dua kata itu, membuat Caca berpikir. Alex memang sudah melakukan sesuatu tanpa sepengetahuannya. Caca yang berusaha selalu berpositif thinking, kini tiba-tiba tidak bisa, ketika mendapatkan chat itu.