Chereads / Raga Cerita Caca / Chapter 6 - Chapter 26

Chapter 6 - Chapter 26

Caca mendatarkan wajahnya, ketika sampai di perusahaan yang di pegang Alex itu malam. Itu karena ulah Raga yang memang pekerjaannya baru selesai.

"Pulang aja lah. Gue tiba-tiba udah gak mood buat tanya-tanya Alex." Ucap Caca, ketika sampai di depan gerbang.

"Ya udah kalau itu mau lo." Balas Raga, membuat Caca melotot di buatnya.

"Lo pulang aja sono! Biar gue sendirian!"

"Lah? Katanya lo mau pulang?" Raga bertanya dengan wajah polosnya, membuat Caca semakin geram melihat itu.

Caca tak menjawab, lalu masuk begitu saja meninggalkan Raga. Menyebalkan sekali lelaki ini.

Ngomong-ngomong soal menyebalkan. Ada yang lebih menyebalkan dari sifat Raga. Yaitu tidak memiliki bukti lagi bahwa Alex adalah pembunuh orang tua Caca.

Kenyakinan tentang Alex pembunuh orangtuanya semakin membuat Caca tidak percaya. Kenapa? Bukan hanya tidak masuk akal, bukti yang di cari pun sepertinya tak menampakkan dirinya.

Pada saat Caca tanya kepada Wijaya pun tentang bukti pembunuhan itu, jawaban tidak jelas, membuat Caca penasaran. Sama halnya seperti bertanya kepada teman-temannya.

Caca harus mencari tahu pastinya. Alex itu hanya tertuduh, atau memang betul pelakunya? Alex benar pelakunya, atau kita susah mencari barang bukti itu? Alex pintar menyembunyikan, atau kita yang tak mampu mencari, siapakah Alex sebenarnya?

Di dalam perjalanan untuk ke ruangan Alex. Banyak bisik-bisik tentang Caca yang kembali setelah di kabarkan meninggal.

Caca berhenti berjalan, membuat mereka yang sedang berbisik-bisik memberhentikan aksinya. "Ada yang mau kalian omongin? Kenapa? Jangan bikin mood gue makin anjlok, karena bisik-bisik kalian. Kalau ada dari kalian yang gak suka, ayok sini, ngomong di depan gue!"

Mereka semua diam, membuat Caca mendengus di buatnya. Sebenarnya, Caca tipikal manusia yang malas meladeni orang seperti ini, tetapi mood nya sudah terlanjur jelek, membuat apapun yang di lakukan orang-orang, terlihat salah di matanya.

"Kalau gak berani ngomong langsung, gak usah bisik-bisik ngomongin gue di belakang!" Setelah mengatakan ucapan ketus itu, Caca kembali berjalan ke ruangan Alex.

Baru saja Caca akan masuk ruangan, Alex terlebih dahulu keluar. "Eh nona, tumben sekali anda ke sini. Masuk-masuk!"

"Ada apa? Apakah ada yang penting?" tambahnya.

Caca menggeleng, tiba-tiba bingung harus mulai dari mana, "Ga, lo awas dulu sana, gue mau ngobrol berdua dulu sama Alex." Suruh Caca, kepada Raga.

"Males. Kalau mau ngobrol ya ngobrol aja."

Caca menaikkan satu kakinya di kaki yang lainnya. "Gue mau ketemu orang tua lo, Lex."

"Mau ngapain?" Tanya Alex.

"Emang gak boleh, kalau gue mau ketemu sama orang tua lo?"

"Bukannya seperti itu—"

"Atur jadwal secepatnya kalau gitu." Sela Caca.

"Selesai kan ngobrolnya? Ayo kita pulang, gue udah ngantuk," lontar Raga. Sebenarnya lelaki itu berbohong, karena sangat malas sekali berada di tempat ini.

Caca berdiri, perempuan itu tampaknya akan menuruti keinginan Raga, supaya lelaki itu berhenti mengoceh. Lagian, Caca dan Alex bisa bertemu lain waktu, dan tentunya dengan Caca yang tak perlu izin terlebih dahulu kepada Raga, supaya perempuan itu leluasa mengobrolnya.

"Gue sama Raga pulang dulu." Ucap Caca.

Alex mengangguk, lalu mengantarkan ke depan pintu.

"Perlu saya antar sampai gerbang depan?"

Caca menggeleng, "Kita berdua duluan, yang benar kerjanya. Bye-bye!"

"Ngapain gue ke sini, kalau cuman mau ngomongin mau ketemu orang tuannya? Oon banget sih!" Runtuk Caca dalam hati.

Di dalam perjalanan pulang. Caca menghubungi Alzam, untuk mencari tahu lebih lanjut. Pasalnya, Caca sangat penasaran sekarang.

"Halo, Zam?" Ucap Caca. Ketika sambungan teleponnya terhubung.

"Kenapa?"

"Gue mau tanya. Kenapa lo tuduh Alex pembunuh orang tua gue? Sedangkan alasannya aja gak pasti."

"Bukannya gue udah pernah Bilang dulu?" Tanya Alzam.

"Cuman karena nama Alex ada di papan ruangan opah gue? Terus dia suka datang ke makam orang tua gue? Itu doang?"

"Hm. Gue gak tahu jelas pastinya. Karena, om Wijaya yang nyelidikin kasus ini, mendingan lo tanya sama dia. Tapi, sikap Alex emang bersikap seolah-olah dia pembunuhnya, gue pun akuin itu. Waktu lo gak ada aja, dia mau rebut rumah lama lo yang sekarang lo tinggalin lagi."

Caca mengangguk, tetapi dalam hati, bertanya kepada om Wijaya pun sama saja, tak ada jawaban jelas, membuat Caca bimbang. Caca bukan tipikal manusia yang mengiyakan, jikalau buktinya belum terlihat jelas.

"Kenapa orang tua gue di kabarkan di bunuh sih? Padahal gue udah tenang-tenang ae kan pas tahu mereka kecelakaan. Eh, sekarang di kabarin di bunuh, pusing jadinya!"

Raga tertawa, seraya mengusap-ngusap bahu Caca dengan satu tangannya, "Sabar ya ... Kita cari pembunuhnya bareng-bareng."

Caca mengangguk, rasanya lelah sekali. Tragis sekali nasib keluarganya ini. Caca ingin berhenti mencari siapa pembunuh orang tuannya, toh karena waktunya sudah lama juga. Tetapi jiwa-jiwa penasarannya meronta begitu saja, dan tak mungkin juga Caca membiarkan pembunuh orang tuanya begitu saja.

Caca menjadi berpikir bergitu saja. Apakah opahnya mati di bunuh juga? Itu yang sekarang jadi pikiran barunya.

"Apa opah mati di bunuh juga Ga?" Caca bertanya, seraya memiringkan tubuhnya.

Mendengar itu, Raga memberhentikan mobilnya di pinggir, lalu ikut memiringkan tubuhnya, "Gak usah mikir yang aneh-aneh!"

"Ya lagian, gue pusing banget sumpah. Gue kira nih masalah udah selesai aja, ternyata enggak!" Caca berucap dengan intonasi kesalnya.

"Bentar lagi selesai. Percaya sama gue!"

Caca tertawa, "Kalau bentar lagi selesai, episode ceritanya juga selesai!"

"Kata siapa selesai? Kalau semua masalah nya selesai. Kisah kita baru di mulai!"

"Iya, baru di mulai untuk mendapatkan masalah baru."

"Sinting lo!"

Mereka berdua akhirnya tertawa dengan ucapan terakhir itu. Entahlah, humor mereka semua selalu anjlok jikalau sedang bersama.

Caca menatap jendela. Setidaknya, sebanyak apapun masalah yang datang kepadanya, Caca tak sendirian, selalu ada Raga di sisinya.

Caca berterimakasih sekali kepada Raga, yang selalu menemaninya dari dulu hingga sekarang. Padahal sudah jelas, Caca hanya menjadi beban untuk lelaki itu, meskipun Raga sendiri pun menyayanginya.

Caca terkadang selalu merasa, hidup Raga yang awalnya sudah baik-baik saja, menjadi kembali runyam, setelah kedatangannya.

Caca tersenyum, ketika Raga kembali melajukan mobilnya. Sempurna sekali pasangannya ini.

"Raga ... Besok kota ketemu saya Kania yuk? Gue kangen sama dia."

"Ayok! Gue juga kangen sama dia." Raga membalas.

"Lo ingat gak sih? Pas awal-awal kita ketemu, dan lo pura-pura amnesia."

"Inget-inget, kenapa emang?" Tanya Caca.

"Waktu itu ... Gue sama Kania, lagi beli ice cream kan. Eh, tiba-tiba dia bilang liat lo, padahalkan dia sama sekali gak pernah lihat lo secara asli, cuman lewat foto doang. Jadinya gue gak percaya. Tapi dia maksa buat ikutin lo, sampailah kita di toko bunga milik lo. Dan benar saja, cewek yang di bilang Kania itu lo, memang bener lo."

"Dari sana, gue berterimakasih banget sama Kania. Karena dia, gue temuin lo. Gue yang udah ngira kita gak bakalan bisa ketemu lagi, ternyata salah, ketika Kania lihat lo. Semuanya berkat Kania. Mungkin, kalo waktu itu Kania gak lihat lo, kita gak akan kayak gini sekarang. Lo bakalan jadi Della, yang pura-pura gak kenal sama gue, dan ngawasin gue dari jauh."

Ya, Caca mengingatnya. Kejadian itu sudah terlampau jauh dari hari sekarang. Saat itu Caca sempat ada masalah keluarga dan masalah dengan Raga. Hanya saja tak banyak diceritakan, tapi pada akhirnya konflik itu mereda. Tapi, tetap saja konflik yang sekarang Caca rasakan tampak mulai mencari percikan api.