Feni mematung seketika. Tunggu-tunggu, supervisor dingin itu meninggalkan Feni di ruangan kosong sendiri?
"Mas Egyyy!"
Seketika Feni nekat memanggil supervisornya dengan suara keras. Egy yang sudah melangkah mendekati pintu keluar ruangan, sontak berhenti.
"Apa lagi? sudah selesai tugas yang saya berikan?"
"Be-belum Mas.. anu.. saya."
"Perintah saya sudah jelas kan?" tanya Egy sambil membalikkan badannya.
"Umm itu Mas Egy. Semua karyawan sudah pada pulang, jadi saya sendirian disini."
"Lalu?"
"Ya, saya sebagai anak baru di kantor ini merasa tidak enak saja. Ngga nyaman gitu Mas..hehe," terang Feni jujur.
Egy menyipitkan kedua matanya sambil bersedekap memandang Feni yang terlihat khawatir.
"Kamu ketakutan? Kamu ingin saya menamanimu bekerja, gitu? Jangan manja!" celetuk Egy.
Tentu saja bukan itu yang Feni maksud. Jika disuruh memilih, lebih baik Feni tidak berada di dekat supervisornya itu. Salah-salah dia bisa kena oceh lagi.
Sambil menggelengkan kepala, Feni mencoba menjelaskan, "bukan Mas, maksud saya apa tidak dilanjut be…"
"Kalau tidak ada yang penting, silahkan lanjutkan tugasmu. Tanggung jawab itu penting. Kamu telah melakukan kecerobohan dan harus membayarnya, paham!"
'Ya iya sih, tapi ini kan sudah malam hei pria dingin. Apa anda tidak punya sedikitpun rasa belas kasihan pada anak buahmu ini,' gumam Feni resah.
Kali ini Egy benar-benar membuka pintu ruangan dan melangkah keluar. Sementara Feni yang masih berada di dalam hanya terpaku menatap lelaki yang tega itu tanpa membiarkan dirinya pulang.
"Oh ya, kalau kamu sudah tidak kuat. Silahkan matikan saja.. ACnya! Pasti dingin berada di ruangan sebesar ini sendirian. Oke, selamat malam."
Brakk
Feni masih terpaku memandang kepergian sang supervisor dari balik pintu. Beberapa saat kemudian dirinya meringis menyadari kebodohannya.
"Heem.. kau pikir aku mau mengikuti perintahmu. Memangnya aku sudah gila berada di ruangan ini sendirian? Benar kata karyawan tadi, lebih baik aku lanjut besok pagi saja."
Feni kembali ke mejanya dan mulai mematikan komputernya. Sambil merapikan barang-barang dan peralatan yang lain, kedua netra Feni seakan ingin menjelajahi sudut ruang kantor yang sunyi.
Jangan ditanya bagaimana perasaannya. Feni harus berpikir keras mengingat masa liburan bersama teman-temannya untuk menenangkan pikirannya. Seluruh bulu kuduk berdiri mengetahui satu ruangan kecil diujung sana telah dipadamkan lampunya.
'Benar-benar kejam lelaki itu. Bisa-bisanya dia meninggalkan seorang wanita sendirian, anak baru lagi. Aku yakin tidak akan ada wanita yang mau denganmu. Dasar pria arogan menyebalkaan!'
Telililit telilittt
Sontak jantung Feni terkejut. Seakan ingin melompat keluar, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Matanya membulat sempurna. Pikirnya, sudah malam begini siapa yang akan berkomunikasi dengannya mengenai pekerjaan.
Feni menarik shoulder bagnya dengan cepat dan meluncur dengan langkah kaki seribu.
Wuzz
Brak, pintu ruangan tertutup keras.
"Loh Mba Feni sudah selesai Mba? kenapa terburu-buru?" tanya security yang ada di lantai tersebut.
"Huft. Ternyata ada Bapak yang jaga disini."
"Iya Mba Feni. Tadi Pak, maksudnya Mas Egy yang memerintahkan saya untuk naik ke lantai ini. Siapa tahu Mba Feni butuh sesuatu katanya."
"Owh iya Pak, makasih. Saya sudah selesai. Saya pulang duluan ya Pak, permisi."
Feni menekan tombol lift untuk segera meninggalkan lantai tersebut. Egy berhasil memberikan kesan yang tidak dapat dilupakan oleh Feni. Mungkin dia akan ingat hal ini seumur hidup.
Ting.. Pintu lift terbuka.
Secepat kilat Feni keluar dari lift dan berjalan menuju lobby. Mulutnya tidak berhenti berbicara dan mengumpat. Rasa kesal pada supervisornya itu membuat Feni terus-menerus mencerca Egy.
"Dasar laki-laki tidak punya perasaan. Anak baru dibuat pulang jam setengah sembilan malam. Harusnya aku sudah bisa berbaring dengan damai di kamar, tapi gara-gara dia aku masih harus berada di kantor. Mudah-mudahan besok kau mendapatkan masalah untuk membayar semua kesengsaraanku iniiiiiii."
Sama seperti saat pagi hari, Feni pun harus memesan kendaraan beroda dua secara online untuk kembali ke rumah agar waktunya lebih efisien.
*
Ceklek
Setelah hampir satu jam berkendara di tengah lalu lintas yang sudah tampak lengang, akhirnya Feni tiba di rumah yang sedari tadi sangat dia rindukan.
Kedamaian akhirnya dapat dirasakan Feni, manakala menengguk air dingin yang dengan cepat menyelusup hati dan otaknya yang sudah panas dari tadi.
Glek glek glek
"Akhirnya kamu pulang juga Fen. Lembur atau habis ada acara?"
"Huft Mamah, bikin kaget aja. Ada tugas tambahan tadi," jawab Feni seadanya.
"Owh lembur maksudmu. Ayo makan dulu gih."
"Bukan lembur tapi ya kerjaan tambahan aja Mah. Jadi aku itu.. ya gitu deh bingung jelasinnya."
Tentu saja sang ibu hanya bisa mengerutkan dahinya. Lalu menggelengkan kepala sambil menghela napas melihat Feni yang dengan cepat menuang nasi dan lauk yang ada di atas meja.
Tanpa menunda waktu lagi, Feni pun melahapnya dengan nikmat.
"Ya ampun Fen, kamu kaya habis kerja rodi aja," celetuk ibu.
"Emang! Capek banget hari ini pokoknya."
Tidak seperti biasanya juga Feni mau menyantap makan malam. Biasanya jika jarum jam sudah melewati angka tujuh malam, pantang baginya menyentuh nasi atau makanan karbohidrat lain yang bisa menambah berat badannya.
Namun, kali ini sepertinya ada pengecualian. Bagaimana tidak, dari pagi hari otak dan tenaganya cukup terkuras. Bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena factor emosional.
Setelah selesai menyantap makan malam, Feni segera beranjak menuju kamar. Seperti rencananya esok hari, bahwa dirinya harus datang ke kantor pagi-pagi sekali.
Tentu saja karena tugas yang diberikan oleh supervisor dingin itu belum selesai dikerjakannya. Bisa-bisa besok dirinya kena semprot lagi.
"Baiklah aku harus segera membersihkan diri, mandi pakai air hangat, lalu tidur. Tenagaku harus diisi lagi buat besok. Siapa tahu lelaki arogan itu ngerjain aku lagi."
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Feni tidak mau membuang waktu istirahatnya percuma. Setelah selesai membersihkan diri, dia pun langsung beranjak menuju kasur kesayangannya.
Matanya memang sudah terasa berat. Hanya dengan hitungan beberapa menit saja, Feni sudah terlelap menuju alam bawah sadar.
Berselang waktu, Feni pun diliputi dengan mimpi yang sempat hampir dalam tidurnya. Mimpi yang masih membuatnya tanda tanya.
"Permisi. Apakah ini pesanan minumanmu?"
Sosok laki-laki itu datang lagi dalam mimpi Feni. Laki-laki yang sangat dimusuhinya di kantor. Kenapa wajahnya mirip sekali dengan Egy?
"Kau! Kau yang kemarin di toko buku itu kan?"
Lelaki itupun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Begitu ramah dan manis. Sangat berbeda dengan sosok yang mirip dengannya di dunia nyata.
"Umm.. Kenapa kamu yang mengantarkan minuman ini?"
"Tidak apa kan. Aku hanya ingin mengatakan, mungkin saja kau orang yang kucari."
"Maksudmu? Cari apa?"
**