"Benar juga katamu. Kalau ada kesalahan, yang pasti bukan berasal dariku. Harusnya hari ini aku bisa pulang tepat waktu," ucap Feni penuh keyakinan.
Feni kembali menempati tempat duduknya, namun tidak dapat dipungkiri rasa penasaran menggelayuti pikirannya. Bola mata Feni masih menatap supervisor dan kedua laki-laki didepannya yang berdiri tidak terlalu jauh dari tempatnya.
Sesaat kemudian Leo dan pak Wijaya pergi meninggalkan Egy. Ketika Egy berbalik badan menuju ruangannya kembali, secara tidak sengaja netranya menangkap Feni yang sejak tadi sedang memperhatikannya.
Tentu saja Feni langsung terkejut. Sebisa mungkin dia tidak boleh terlihat gugup. Mata Feni langsung bergulir menatap layar monitornya kembali. Namun sudut matanya bisa menangkap pergerakan Egy yang melanjutkan langkah memasuki ruangan pribadinya.
**
Tidak terasa hari beranjak sore, akhirnya Feni bisa bernapas dengan lega karena tugasnya bisa diselesaikan tepat waktu.
"Ayoo La, waktu sudah jam 17.10 kan. Artinya kita sudah bisa banget keluar ruangan sekarang," ucap Feni sambil merapikan tasnya.
"Iya Fen sabar. Sebentar lagi nih data dikirim. Tenang, barang-barangku sudah dibereskan semua tadi jadi bisa langsung kabur," terang Ola.
"Aduh aku khawatir Mas Egy ngasih tugas aku lagi nanti. Aku tunggu di luar deh ya. Cepet lho!"
"Iya cerewet deh. Yaudah tunggu di depan, aku nyusul nanti," ucap Ola.
Dengan langkah kaki seribu, Feni langsung meninggalkan ruang kerjanya. Mau bagaimana lagi, pikiran Feni digelayuti dengan rasa khawatir kalau nanti dirinya bertemu dengan supervisor killernya, bisa-bisa tugas tambahan diberikan lagi padanya.
Feni berjalan di lorong dan memutuskan menunggu Ola di ruang tunggu lantai tersebut. Sambil memainkan ponselnya sesekali Feni melirik kearah jam dinding yang terpasang di tembok dekatnya duduk.
"Katakan pada Egy, saya tunggu di ruangan saya. Anak itu kalau di kasih tahu susah sekali," ucap Wijaya.
"Baik Tuan, saya akan beritahu putra anda segera," ucap asisten keluarga.
"Suruh cepat. Saya tidak mau menunggu."
"Segera Tuan."
Feni yang telah memasang telinganya di dalam ruang tunggu, dapat menangkap percakapan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Namun, Feni masih bingung dengan perkataan sang pelayan pribadi direkturnya itu. Kenapa dia menyebut Egy dengan sebutan putra beliau?
"Hei Fen bengong aja. Yuk ahh cabut. Semua kerjaan aku sudah beres," tiba-tiba Ola muncul.
"Yakin! Yaudah yuk ah. Seneng banget deh akhirnya bisa lihat matahari juga jam pulang kerja gini," ucap Feni sambil menyeringai.
"Kasihan banget sih, gara-gara Mas Egy jadi lembur terus.. haha.. Eh tadi aku lihat Mas Egy sepertinya sedang tidak mood sejak kedatangan pak direktur," celoteh Ola saat memasuki lift.
"Sepertinya dia habis kena tegur. Tapi tentang apa ya?"
"Eh kamu mikirin Fen? Rajin bener," ledek Ola sambil terkekeh.
"Ihh nggalah. Aku hanya bingung aja kenapa tiba-tiba pak direktur terlihat sangat dekat dengannya. Direktur gitu lho, dekat sama seorang supervisor doang."
"Bener juga katamu. Ada apa ya?" Ola ikut penasaran.
**
Malam hari sekitar pukul 20.00 Feni sudah berada di rumah sambil bersantai menyaksikan acara televisi. Baru kali ini setelah dia menyandang sebagai seorang karyawan, jam segini sudah bisa menghirup udara kebebasan di rumahnya.
"Tumben kamu tidak pulang malam lagi Fen?" tanya Lina yang duduk mendekati anaknya.
"Iya Mah, hari ini aku bisa bebas karena tugas sudah aku kerjakan dari pagi hari. Kalau sore hari dikasih kerjaan baru lagi, kebangetan itu namanya," jawab Feni.
"Kata kamu memang sering dikasih kerjaan sudah sore seperti itu."
"Iya kalau hari itu bosku belum sama sekali memberiku tugas. Atau kalau aku melakukan kesalahan, pasti dengan bahagianya dia memberiku tugas saat injury time."
"Perasaanmu saja kali Fen. Memangnya job desk kamu itu apa?"
"Nah itu dia Mah, aku pun tidak tahu. Pokoknya kerjaanku tergantung dia yang ngasih. Menyebalkan," curhat Feni.
Di tempat yang berbeda. Egy tampak murung saat memasuki rumahnya. Dia berjalan kemudian duduk di sofa ruang tengah sambil melempar jasnya ke samping.
"Kamu kenapa Gy, pulang-pulang wajah kok ditekuk seperti itu?" tanya Ana pada putranya.
"Suntuk Mah."
"Suntuk kenapa?"
"Anakmu ini dikantor kerja jadi supervisor. Sudah dikasih posisi bagus sebagai CEO, malah milih jadi supervisor," ucap Wijaya yang kemudian datang setelah Egy.
"Hah, benar begitu Egy? ngapain kamu melakukan itu? Itu perusahaan keluarga kita," imbuh Ana.
"Harusnya kamu membantu perusahaan dengan memberikan wewenang yang lebih strategis lagi sebagai CEO, bukan supervisor yang hanya dalam lingkup unit saja. Urusanmu dengan rekanan, menjalin kerjasama. Bukannya ngurusin karyawan bawahan," terang Wijaya emosi.
"Sudah deh Pah. Gak perlu dibesar-besarkan. Lagi pula ini juga kan karena Papah," Egy membela diri.
Suasana hening seketika. Wijaya yang memiliki perusahaan besar tidak habis pikir dengan sikap putranya itu. Jalan pikiran keduanya memang tidak pernah sejalan. Selalu ada saja hal yang diperdebatkan.
"Kenapa jadi karena Papah? Apa maksud kamu Egy?"
"Papah yang mau kan aku mencari seorang istri. Yasudah apa salahnya aku mencari seorang wanita langsung di perusahaan kita sendiri."
"Kamu? Jadi kamu mengincar gadis di perusahaan kita? Siapa orangnya?"
"Tidak ada. Aku hanya baru ingin mencari disitu. Tidak ada yang salah kan?" tanya Egy.
"Memang tidak ada yang salah Egy. Tapi, kamu kan tahu kita ini pemilik perusahaan. Papahmu juga seorang direktur utama disana, jadi kalau menurut Mamah lebih baik kamu mencari wanita di tempat lain," Ana menyarankan.
"Bukan hanya di tempat lain Mah. Tapi juga harus selevel dengan kita dong. Kalau bisa yang sama-sama bermanfaat untuk perkembangan bisnis perusahaan," celoteh Wijaya emosi.
Sejurus kemudian Egy terlihat terkekeh mendengar ucapan Wijaya yang hanya memandang seseorang dari derajatnya saja. Tidak ada yang bisa dikatakan Egy untuk menimpali ucapan tersebut selain mendiamkannya. Baginya percuma menjelaskan apapun karena orang tuanya sudah menutup mata.
"Terserah deh Papah mau bicara apa. Bagiku orang tidak bisa hanya dilihat dari derajatnya saja, titik."
Egy langsung berdiri dan beranjak menuju kamarnya. Rasanya dia sudah sangat lelah menanggapi ucapan Wijaya sejak di kantor tadi.
"Egy, tunggu!"
Sontak Egy berhenti mendengar titah papahnya. Dia mencoba mendengarkan walaupun tanpa menoleh.
"Dari pada kamu gak jelas mencari wanita di kantor. Lebih baik Papah kenalkan kamu dengan anak rekanan Papah yang berada di Bandung. Papah rasa dia juga sedang mencari calon untuk putrinya."
"Aku tidak mau dijodohkan. Biarkan aku yang mencari sendiri," ucap Egy kemudian melanjutkan langkahnya.
"Papah rasa kamu pasti akan suka. Pokoknya jangan membangkang."
Egy menelan ludahnya kasar. Dia melanjutkan langkahnya kembali yang sempat terhenti. Pokoknya Egy ingin buru-buru sampai kamarnya dan merebahkan diri di kasur. Tapi seketika langkahnya melambat ketika mendengar suara sapaan dari mulut Wijaya.
"Hallo Saptaji apa kabar, keluarga sehat? Ohh saya dan keluarga juga baik. Betul betul sudah lama kita tidak bertemu ya. Syukurlah kalau bisnis semua lancar. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan mengenai anak-anak kita. Tapi lebih baik kita bertemu langsung, bukan. Bagaimana jika besok, kamu dan keluarga aku undang makan malam bersama di rumah."
Deg
**