"Arggh kenapa sih Papah selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Padahal yang akan menjalaninya kan aku sendiri," keluh Egy kesal.
Dengan terpaksa Egy keluar dari ruang kerjanya untuk pulang karena di rumah telah ditunggu oleh keluarga yang akan dijodohkan dengannya.
Suasana malam sudah tampak lengang dan tenang dari pada sore hari tadi. Tapi tentu saja bertolak belakang dengan hati Egy saat ini.
Tidak dapat digambarkan bagaimana perasaan huru-hara yang dirasakan Egy karena sebentar lagi harus berhadapan dengan wanita yang akan menjadi calon istrinya.
sesampainya di halaman rumah, Egy memarkir mobilnya di belakang mobil milik keluarga kerabat Wijaya, papahnya.
Egy berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Semakin dekat pintu, semakin perasaannya tidak tenang.
terdengar suara tawa dan obrolan dari dalam ruang tengah.
'Sepertinya mereka sedang berbincang santai. Huftt.. Kenapa aku harus melakukan ini sih?' rutuk Egy dalam hati.
"Selamat malam.." sapa Egy ketika muncul dihadapan mereka.
"Malam.." sontak mereka menoleh dan menjawab serempak.
"Nah ini dia Egy sudah datang. Maaf putra saya terlambat. Hari ini dia lagi sibuk, habis ada meeting tadi."
"Tidak apa-apa, kami paham namanya juga lagi sibuk CEO perusahaan."
" Egy kemari. Ini Pak Saptaji teman Papah bersama istrinya, dan ini putrinya," ucap Wijaya sambil merekahkan senyuman.
Bola mata Egy bergulir pada tamu yang datang dihadapannya. Sebenarnya ia sangat malas menghadapi ini semua. Ujung-ujungnya hanya untuk memenuhi kehendak Wijaya saja, sang papah tercinta.
"Salam kenal Om Saptaji, Tante dan..." ucap Egy sambil mengulurkan tangan.
"Herra Zayani Saptaji. Panggil aku Herra," ucap gadis yang ada dihadapan Egy.
"Oh oke.." Egy memberikan senyum kilat kemudian duduk disebelah Wijaya.
"Tapi apa benar Egy belum ada dekat dengan siapa-siapa? Sepertinya banyak yang ngejar nih. Ganteng, keren, punya jabatan lagi di perusahaan," tanya Saptaji meyakini diri.
Sejurus kemudian dahi Egy mengernyit mencoba menebak obrolan macam apa yang mereka perbincangkan sebelumnya.
Pasti Wijaya sudah mengatakan maksud tujuannya mengundang kerabatnya itu. Seolah Egy tidak diberikan ruang untuk memikirkannya lebih dulu.
"Umm ada sih Om yang dekat," sergap Egy.
"Tapi belum jelas kok. Lagi pula dekatnya sebagai teman saja. Biasa anak muda seperti kita dulu. Kalau Herra gimana, sudah ada yang serius belum?" Wijaya mengambil alih jawaban.
Sorot mata Egy menatap Wijaya tajam. Padahal papahnya tidak tahu kehidupan Egy di kantor seperti apa. Bisa-bisanya ia menjawab seperti itu, seakan benar adanya.
"Belum ada Om. Aku belum tertarik dengan pria yang deketin aku sejauh ini. Belum ada yang cocok," jawab Herra.
"Setelah melihat anak Om gimana? Kira-kira Egy cocok gak, masuk gak ke kriteria Nak Herra?"
deg
'Apa-apaan sih Papah. Memangnya aku gak punya harga diri apa? seakan aku yang meminta jodoh dan ngebet sama wanita itu..' gumam Egy kesal.
"I-iya Om Wijaya. Kalau aku sih cocok, tapi gak tahu sama Egy gimana?" jawab Herra malu-malu.
Sontak bola mata Egy membesar, 'apanya yang cocok, kenal saja belum,' gerutu Egy dalam hati.
"Gimana Nak Egy?" tanya Saptaji.
Egy menelan ludahnya kasar. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ingin sekali ia menolak perjodohan ini.
"Egy juga pasti cocok. Dia gengsi jawabnya," Wijaya kembali mengambil alih jawaban.
"Nah kalau sudah begini kan kami jadi tenang. Masalahnya ini putri satu-satunya, jadi harus dijaga oleh orang yang tepat, seperti Egy ini."
Egy terdiam tanpa merespon apapun. Semua dia lakukan karena masih menghormati Wijaya sebagai papahnya. Jika tidak, Egy pasti sudah menolak dan beranjak meninggalkan tamunya.
Perbincangan mereka semakin akrab dan malam semakin larut. Hingga akhirnya tamu mereka pamit untuk pulang.
pertemuan pertama hari ini sangat positif bagi Wijaya, tapi negatif bagi Egy. Mereka selalu bertolak belakang dalam mengambil keputusan.
Sikap Wijaya yang diktator membuat Egy kesal dan beranjak ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Ceklek
'Sebenarnya Papah menghargai aku gak sih sebagai anaknya. Sampai kehidupan masa depanku dia ikut campur,' gumam Egy sambil melempar jasnya ke kasur.
tok tok tok
Suara pintu diketuk membuyarkan pikiran Egy. Sejenak ia terdiam tak mau menjawab. Hingga beberapa kali, akhirnya suara ketukan sudah tidak terdengar lagi.
Entahlah siapa yang mengetuk. Mereka pasti berpikir bahwa Egy sedang berada di kamar mandi.
Malam ini sepertinya Egy tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya kalut dan hatinya gundah. Semua gara-gara kenekatan Wijaya, papahnya.
**
Weekend yang cerah, secerah hati Feni yang hari ini mau jalan-jalan bersama sahabatnya Ola.
Paling tidak dia bisa melupakan urusan pekerjaannya yang setiap hari membuatnya mumet, apalagi kalau dikasih kerjaan tambahan secara mendadak.
Tepat pukul sebelas Feni tiba di Mall Taman Tulip, sebagai mall terbesar di kota Jakarta. Feni langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Ola.
Dert dert dert
"Hallo Fen, udah dimana?" tanya Ola tidak sabar.
"Udah sampe nih. Kamu dimana? Dari pada muter-muter keliling mall, mending aku tanya langsung."
"Aku di lantai satu, tepatnya di toko 'Wanna Shoes' nih sambil lihat-lihat sepatu. Kamu kesini deh, aku tunggu," pinta Ola sambil berjalan memilah-milih sepatu.
"Oke, tunggu jangan kemana-mana."
Tutt..
Feni beranjak dari tempatnya dan mulai menyisiri lantai satu yang lumayan luas itu. Satu-persatu toko yang dilalui ia baca baik-baik.
'Ahh oke, ini dia tokonya,' gumam Feni yang segera masuk.
Dari kejauhan Feni sudah dapat melihat sahabatnya itu mencoba sepatu yang dipilihnya.
Feni hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Ola yang terlihat repot dengan berbagai macam sepatu didekatnya.
"Gimana mba, sudah ketemu belum sepatu yamg cocok?"
"Eh Feniiiii.. Akhirnya sampai juga kamu. Hahaha.. ini lho mumpung ada waktu ke mall, jangan sia-siakan kesempatan berbelanja. Lumayanlah buat ganti-ganti kerja," Ola menyeringai.
"Sepatuku masih banyak pilihan di rumah. Malas nentengnya berat. Ya sudah kalau kamu masih mau pilih-pilih. Aku mau santai dulu disini, baru sampai kan."
"Aku sudah bilang jangan mepet makan siang datangnya. Sekarang udah setengah dua belas. Jam dua belas kita naik ya ke food court," Ola mengingatkan.
"Ya ampun La, lewat dikit juga gak apa-apa. Makan aja pakai di jadwal jam deh," sahut Feni.
Setelah Ola mendapatkan sepatu yang diinginkan dan selesai membayarnya, mereka pun bergulir ke lantai paling atas melalui lift.
Suasana mall siang itu lumayan ramai karena weekend memang waktu yang tepat untuk orang-orang keluar rumah, berbelanja, refreshing atau sekedar makan mencari suasana baru seperti dirinya.
sesampainya di food court, Ola dan Feni langsung menempati tempat duduk yang masih kosong tak berpenghuni.
Percis seperti di kantin, mereka memesan makanan secara bergantian.
Banyak sekali menu makanan yang tersedia disana. Mulai dari masakan Indonesia, Timur Tengah, Asia Timur, sampai Western.
Sejurus kemudian, netra Ola menangkap seseorang yang duduk tak jauh dari dirinya.
"Fen.. Fen, lihat deh pria itu. Dia temannya mas Egy kan yang waktu itu kita pernah ketemu di ruangan?" tanya Ola.
"Eh iya. Itu pacarnya ya? cantik juga. Aku pernah disuruh Mas Egy minta data di tempatnya. Orangnya baik, langsung dikasih datanya. Dia gak nyusahin kaya Mas Egy banyak aturan."
"Kayanya bukan, itu pasti adiknya. Anak kecil gitu," ucap Ola yakin.
"Hahahaha.. Emang kamu pikir kita udah sedewasa apa? Paling gak jauh dari seumuran kita," Feni berkata sambil menyuap makanannya.
"Yakin deh bukan. Semoga emang bukan. Semoga dia masih single.. Jadi kamu pernah ke ruangannya. Siapa namanya dia Fen?"
"Mas Leo.. Leo Putrawan. Kenapa, kamu naksir?" tanya Feni menebak.
"Heee..." jawab Ola sambil mengangguk.
Glek
***