Siapapun tidak bisa menghentikan langkah dan rencana Wijaya, Egy tahu itu. Dia hanya menggelengkan kepala, lalu melanjutkan langkahnya hingga memasuki kamar.
Bruk
Tubuh Egy membentur kasur empuknya yang besar. Bukan hanya fisiknya yang lelah bekerja, tapi juga hati dan pikirannya. Hingga detik ini, orang tuanya selalu ikut campur mengenai siapa yang akan menjadi istrinya nanti.
'Pokoknya aku tidak akan menjetujui perjodohan itu. Apa-apaan sih, memangnya aku anak kecil yang tidak bisa memilih sendiri,' gumam Egy kesal.
**
Keesokkan harinya
"Akhirnya hari Jum'at yang ditunggu tiba Fen. Besok weekend ada rencana kemana?" tanya Ola sambil menatap layar monitornya.
"Entahlah, mungkin aku akan istirahat seharian," jawab Feni sambil menghela napas.
"Kalau istirahat malam hari Fen. Siangnya kita harus melakukan aktivitas. Bagaimana kalau kita wisata kuliner?"
"Ya ampun Ola, waktu istirahat aja sampai dijadwal harus malam segala. Eh tapi boleh tuh kulineran. Selama di kantor belakangan ini, kita gak pernah bisa jajan keluar kan."
"Iya, apalagi aku. Selalu dapet tugas tambahan dan dadakan yang sangat menyita waktu," ucap Feni sambil cemberut.
Suasana ruang kerja tampak sibuk. Beberapa karyawan serius menatap layar komputer dan sebagian lainnya menjawab telepon dari rekanan perusahaan.
Tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini. Egy yang biasanya sudah berlalu lalang di depan ruang kerja, tampaknya belum terlihat. Bagi Feni itu sesuatu yang melegakan. Tentu saja begitu karena dirinya bisa bebas melakukan pekerjaan dengan tenang.
Waktu tidak terasa berlalu, istirahat pun tiba. Kedua rekan sahabat telah bersiap menuju kantin. Sejak pagi hingga siang hari, wajah Feni terlihat sumringah.
"Yuk La, aku sudah lapar mau makan soto nih," ajak Feni yang sudah berdiri di depan meja Ola.
"Oke done. Sip yuk ah," sahut Ola bersemangat.
Mereka segera berjalan meninggalkan ruangan. Namun, tinggal dua langkah lagi menuju pintu keluar ternyata Egy masuk ke dalam ruangan. Wajah tampannya terlihat kalut dan kaku memandang Feni serta Ola bergantian.
"Mau kemana kalian?" tanya Egy sinis.
"Mau makan Mas. Sudah waktunya istirahat kan," jawab Feni.
Sambil menelan ludahnya kasar, Feni berharap supervisornya itu tidak menyuruhnya kembali ke meja kerja dan memberikan tugas apapun itu. Wajah Egy yang suram membuat perasaan Feni tertekan.
"Hmm.." Egy mengangguk sambil melirik jam tangannya.
"Mari Mas Egy," Feni dan Ola berlalu tanpa menoleh.
"Heii.. tugas hari ini gimana? Kalian sudah menyelesaikannya?"
Seketika langkah kaki mereka terhenti. Ada saja yang jadi bahan Egy untuk memperlambat kebebasan Feni.
"Sedang proses Mas. Lagi dikerjakan kok. Tapi kita mau istirahat dulu, lapar. Permisi Mas Egy," jawab Feni sambil mengedipkan mata kearah Ola dan mengambil langkah kaki seribu.
Ting
Pintu lift terbuka, mereka pun segera masuk ke dalam. Tanpa menunggu aba-aba, Feni dan Ola kompak tertawa mengingat cara mereka kabur dari atasannya itu.
"Parah juga kamu Fen. Kalau nanti dia balas dendam gimana? Katamu Mas Egy sensi orangnya," oceh Ola sambil terkekeh.
"Ahh biarin aja, kalau gak gitu dia pasti menghalangi kita untuk menikmati makan siang di kantin.. hahaha."
"Tapi kamu lihat gak sih wajahnya. Kayanya dia lagi ada masalah," Ola mencoba menerka.
"Iya betul. Walaupun dia sembunyikan, tetap saja terbaca kalau dia sedang gundah gulana. Entahlah," sahut Feni.
Setibanya di kantin, suasana sudah ramai. Untung masih ada sisa meja yang kosong. Mereka segera menempatinya, lalu memesan makanan.
Setelah beberapa lama, mereka kembali menuju ruangannya. Waktu juga tersisa lima belas menit lagi untuk melakukan aktivitas yang lain sebelum melanjutkan pekerjaan mereka.
"Huft aku senang hari ini tersisa setengah hari lagi menuju weekend. Besok pokoknya kita refreshing ya Laaa," Feni berkata penuh intonasi.
"Siap, aku juga sudah menantikan itu. Mumet banget isi kepalaku. Besok kita berangkat jam sembilan ya, biar bisa muter-muter. Jadi siangnya makan tepat waktu, gak telat. Pulang jangan kesorean, jam empat cukup."
"Ya ampun La, weekend ada jadwalnya segala sih. Ribet agh. Lagi pula berangkat jalan-jalan pagi bener jam sembilan bukannya santai," sahut Feni.
"Sampai mall paling siang juga."
"Kan satu jam doang La. Emang mau mall dimana sih?" tanya Feni.
"Lah iya Fen. Sampai jam sepuluh kan udah menjelang siang. Yaudah gini aja. Kita janjian langsung di mall."
"Nah setuju. Tapi jangan jam sepuluh, pas mall buka banget. Jam sebelas deal, gimana?"
"Baru aku bilang biar gak telat makan siang. Waktunya gak banyak nanti," Ola menggaruk kepalanya.
"Judulnya kan wisata kuliner, bukan hunting atau shopping tadi katanya."
"Ya okelah, deal!" sahut Ola pasrah.
Waktu terus berjalan. Mereka kembali mengerjakan tugas yang sudah diselesaikan sebagian. Hari ini kerjaan Feni memang sesuai job desk. Beda cerita jika Egy yang memberikan.
Walaupun Feni sedikit merasa aneh dengan sikap Egy yang sedari tadi belum keluar ruangannya, tapi Feni merasa hari ini lebih baik dari hari-hari yang lalu.
Jam menunjukkan pukul 17.05 sore. Feni masih melirik ke arah ruangan supervisornya itu. Namun nampaknya tidak ada kehidupan. Maksudnya, tidak ada tanda-tanda bahwa dia membutuhkan sesuatu.
"Let's go Fen," tiba-tiba Ola menepuk bahunya.
"Haduh kaget tau gak. Sudah beres semua La?"
"Ya udah dong. Kamu juga kan? bukannya udah selesai dari tadi. Ngapain nengok ke ruangan Mas Egy melulu? Kangen mau dikasih tugas tambahan."
"Ihh amit-amit, jangan sampai. Ayo agh sebelum dia nongol."
Feni dan Ola langsung keluar dan meninggalkan ruangan. Sementara Egy masih berkutat dengan layar komputernya. Pikirannya kacau, wajahnya juga masih ditekuk.
Dert dert dert
Sejenak Egy melirik ke layar ponselnya. Air wajahnya semakin berantakan. Antara malas dan terpaksa, akhirnya Egy menjawab telepon tersebut.
"Hallo," jawabnya singkat.
"Sudah dimana Egy? sudah dijalan pulang kan?" tanya Wijaya.
"Masih di kantor Pah."
"Jangan macam-macam kamu, bukannya Papah sudah ingatkan kalau hari ini kita akan bertemu dengan teman Papah dan keluarganya."
Pikiran Egy langsung berputar mencari jawaban yang tepat. Dia tahu apa yang akan dilakukan oleh orang tuanya bersama kerabatnya itu.
"Tapi aku ada kerjaan sampai malam Pah, sepertinya aku lembur. Ini juga kan untuk perusahaan."
Egy pasrah dengan jawabannya. Dia hanya berharap, Wijaya dapat percaya dan tidak mengusiknya lagi. Moodnya hari ini memang tidak bagus. Tentu saja ini karena sikap Wijaya kemarin.
"Jangan beralasan. Papah sudah cek bahwa hari ini tidak ada meeting dan hal penting lainnya. Jadi, kamu harus segera pulang. Papah mau kenalin kamu sama anak teman Papah. Pasti kamu suka dengan dia," ungkap Wijaya bersemangat.
"Cch tapi Pah."
"Tapi apa lagi?"
"Aku sudah suka dengan wanita lain."
"Apa maksudmu, mau menghindar lagi hah..? Cepat, Papah tunggu!"
Tut…
**