"Eungh…."
Kirana melenguh bersamaan dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa sangat berat dan pusing. Ia pun bangun dari tidurnya sembari terus meringis karena tak nyaman dengan keadaan yang tengah ia hadapi.
"H-huh?" Kirana membatu, rasa sakit itu kini telah tergantikan oleh rasa terkejut yang timbul karena kini netranya tidak lagi melihat pemandangan lapangan yang begitu panas, melainkan rungan serba putih dengan aroma antiseptic yang begitu khas.
"Kau pingsan."
Kirana lantas menoleh ke sumber suara. Alangkah terkejutnya ia malah mendapati Arja kini duduk di kursi samping brankar dengan mata menatap fokus ke arah buku tebal yang ada di tangannya.
"Dan kau jatuh ke pelukanku tadi."
BLUSH!!
Kirana lantas membuang wajah ke arah samping. Ia tak percaya dan tak menyangka jika ia pada akhirnya akan jatuh ke pelukan Arja—bahkan ia tak tahu kalau dirinya pingsan tadi. Seba ingatan terakhirnya tadi ialah saat dirinya mengatakan pada Arja kalau ia berhasil menyelesaikan hukuman dengan tuntas.
Arja melihat dan tahu bahwa Kirana saat ini tengah menahan malu. Pria itu tersenyum tipis dibalik wajah datarnya—entah apa yang sedang pria itu pikirkan saat ini.
"Jika keadaanmu sudah pulih, kembalilah ke kelas. Jangan jadikan hal ini sebagai alasanmu untuk bolos di mata pelajaran Matematika Wajib kali ini."
Baru saja rasanya Kirana merasa malu karena ia jatuh ke pelukan Arja yang telah ia sikapi sangat sinis saat di lapangan, kini perasaan dongkol mulau menguasai Kirana.
Kirana kesal karena Arja tak ada habis-habisnya untuk menuduhnya yang tidak-tidak.
"Tanpa kau beritahupun aku—sial!"
Kirana memaki kuat karena Arja telah bangun dari duduknya sebelum ia berhasil menyelesaikan ucapannya. Terdiam sejenak sembari menunggu punggung tegap itu hilang setelah pintu UKS kembali ditutup.
"Apa ini? Bubur?" Kirana bergumam pelan dan mengurungkan niatnya saat netranya menangkap semangkuk bubur di nakas samping brankarnya. Mata Kirana kemudian menatap pintu UKS lamat.
'Mungkinkah ini dari Arja?'
Kirana menggelengkan kepalanya kuat, berusaha menghempaskan jauh-jauh pikirannya yang mulai beterbangan ke mana-mana. Arja terkadang memang sulit untuk ditebak. Pria itu bersikap seakan-akan ia memiliki dendam pribadi kepada Kirana, tapi di sisi lain ada saja perlakuan Arja yang membuat Kirana merasa bahwa Arja peduli padanya.
"Okey Kirana, berhentilah melamun dan sekarang pergi ke kelas jika kau tak ingin mendapatkan semprotan dari Pak—" Kirana tak melanjutkan ucapanna karena ia sudah bergidik ngeri membayangkan tampang Guru mata pelajaran Matematika Wajib yang begitu menakutkan.
***
"Baik, saya ucapkan terima kasih banyak untuk masing-masing dan keseluruan dari semua panitia lomba yang sudah mau menjalankan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin sejak event Ulang Tahun SMA KASTA di mulai hingga acara puncak kemarin malam," ujar Kirana dengan senyum lebarnya yang penuh dengan semangat.
Sore ini, setelah jam pulang berbunyi, semua anggota OSIS tak terkecuali Kirana dan Arja melakukan evaluasi susulan untuk event kemarin malam. Laporan dari masing-masing koordinator lomba telah disampaikan beberapa detik yang lalu. Kini acara masuk ke bagian evaluasi dari semua pihak untuk kinerja event kemarin malam.
"Sejauh ini, kita sudah melewati banyaki acara dan kegiatan yang syukurnya telah berjalan dengan lancar, Untuk keseluruhan event kemarin malam, apakah ada keluhan, masukan dan saran yang ingin kalian semua sampaikan mungkin?"
Baru saja, Kirana mengatakan hal itu, hampir sebagian dari anggota OSIS yang hadir saat itu kini erlihat mengacungkan tangannya ke atas. Diam-diam Kirana menghela napas pasrah, ia tahu keluhan yang mungkin akan mereka ajukan pasi akan ada yang menyeret namanya.
Kirana kemudian memberikan waktu untuk para anggota OSIS yang mengacungkan tangannya untuk mengeluarkan keluh kesah, masukan atau mungkin saran yang ada di benak mereka.
Sejauh ini masih belum ada yang menyinggung perihal hilangnya Kirana kemarin malam. Semua masih mengarah ke beberapa anggota yang selama event berlangsung sedikit lambat bahkan sengaja menghindar dari tanggung jawabnya sendiri.
Semua telah diberikan waktu unuk menyampaikan hal-hal yang ingin mereka sampaikan. Kini hanya tinggal sosok perempuan yang sejak pertama kalinya Kirana menapakkan kakinya di sekolah ini sudah menatapnya dengan sinis.
"Baik, untuk koordinator Sie Acara waktu dipersilahkan," ujar Kirana kemudian sembari berusaha untuk mempertahankan senyumnya.
"Baik terima kasih untuk waktu yang telah diberikan kepada saya." Mentari, Koordinator dari Sie Acara kini telah bangun dari duduknya kemudian membungkukkan badannya beberapa kali. Setelahnya, pandangan Mentari jatuh pada Kirana yang kini berdiri di depan sana dengan Arja yang berada di samping kanannya menginga Arja adalah wakil ketua panitia dari event kemarin malam.
"Sejauh ini, dari apa yang telah dilewati, saya rasa kinerja semua panitia selama event berlangsung sangat baik dan terkendali. Namun, ada satu hal yang membuat saya merasa event ini hampir sedikit berantakan, dan saya menginginkan konfirmasinya segera."
Kirana tahu jika Mentari tengah menyindirnya. "Silahkan sampaikan saja Mentari."
"Kau sendiri," sahut Mentari dengan seringaian liciknya dibalik senyum miring yang sekarang ini menghiasi wajahnya. "Kita semua tahu bahwa di sini kau adalah ketua panitia, tapi kenapa kau bisa hilang tanpa kabar dan meninggalkan acara dengan begitu mudahnya? Apa ini yang dinamakan sifat bertanggung jawab yang sesungguhnya?"
"Bukankah seorang pemimpin seharusnuya menjadi panutan? Jika pemimpin kita saja seperti ini, aku rasa jika adav sesuatu yang terjadi dan marak pelanggaran yang berasal dari anggota OSIS lainnya, semua pasti akan menggunakan namamu untuk menghindar dari hukuman. Saranku, jika memang tidak bisa bertanggung jawab, lebih baik jangan pernah mengambil resiko untuk mengambil posisi tinggi seperti ini."
Arja menatap Mentari datar seperti biasanya tatkala perempuan itu melempar kerlingan nakal ke arahnya. Arja tak habis pikir kenapa perempuan seperti Mentari bisa terus bersamanya dala satu organisasi dari tahu ke tahun.
Mentari kemudian tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, aku tidak sedang ingin memojokkanmu Kirana, aku hanya ingin meluruskan sesuatu yang bagiku bisa membuat organisasi OSIS tahun ini amburadul karena ini. Sudah, hanya itu saja. Sekarang aku menunggu konfirmasi darimu, Kirana."
Saat Mentari sudah kembalu duduk, semua pandangan kini mengarah pada Kirana, tak terkecuali Arja. Arja tahu apa yang Kirana rasakan dan kebimbangan apa yang sedang menyerang perempuan di sampingnuya itu karena sedikit tidaknya tahu mengapa Kirana menghilang saat acara berlangsung—walaupun hanya dengan menemukannya berjalan seorang diri di jalanan sepi dini hari tadi.
"Baik, terima kasih untuk masukan dan sarannya. Pertama-tama, saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang saya perbuat kemarin malam—"
"Memangnya kejadian kemarin malam bisa diperbaiki dengan minta maaf saja, Kirana?" sela Mentari dengan senyum menjengkelkan di wajahnya.
***
BERSAMBUNG….