"Kau harus ikut denganku, Kirana!"
Suara pekikkan yang menggema ke setiap sudut mobil yang tengah mereka tumpangi itu membuat Kirana semakin membrontak, berusaha melepaskan tangan Angga yang mencekal erat tangannya. Kirana awalnya sudah hampir berhasil membuka pintu mobil dan segera kabur dari hadapan Angga tepat saat mobil itu berhenti.
Sayangnya, semua pergerakan Kirana telah dibaca dalam hitungan detik oleh Angga yang membuat Kirahna kembali gagal untuk bisa kabur. Terlebih, langit yang mulai menggelap dan siap menangis membuat suasana di dalam mobil semakin begitu mencekam.
"Lepaskan tanganku, brengsek!" Dengan air mata yang semakin membasahi wajahnya tanpa henti, Kirana memekik kencang. Wajahnya memerah menahan amarah.
"Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kita bertemu langsung dengan perempuan yang kau lihat bersamaku di ruang kerja Mommy-mu! Atau setidaknya, kau harus melihat rekaman CCTV di ruangan itu!"
TES!
Tepat saat itu juga, langit akhirnya menangis dengan begitu derasnya, membasahi setiap inchi permukaan bumi yang terlihat begitu kering setelah diterpa oleh panasnya sinar matahari beberapa saat lalu.
"Lalu apa yang akan terjadi setelahnya, huh?! Apa kau gila? Apa kau tak punya akal sehat?!" pekik Kirana lantang. "Apa kau ingin memperlihatkanku dengan jelas dan membuat semua adegan menjijikan yang kau lakukan bersama perempuan itu terus terlintas di benakku setiap saat? Kau ingin menghancurkan mentalku, Kak?!"
"Kirana, apa yang kau katakan? Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu padahal jelas-jelas niat awalku adalah—"
DUG!
"Sshhh ….." Angga meringis pelan saat Kirana baru saja menghantukkan dagunya itu dengan keras pada dagunya. Hal itu tentu membuat cekalan Angga di tangan Kirana mengendor.
Kirana yang tak ingin kehilangan kesempatan emas untuk kabur pub lantas bergegas untuk membuka pintu kemudian menerobos hujan yang turun dengan derasnya kala itu. Angga yang baru menyadari hal tersebut mengumpat kesal kemudian dengan segera turun dari mobil untuk menyusul Kirana.
Namun, saat ia baru saja menutup pintu mobilnya, sosok Kirana yang bersembunyi di balik punggung perempuan yang berada sekitar 5 meter di depannya itu membuat Angga termenung.
Amira, perempuan itu berdiri sembari memakai payung untuk menghindari tetesan hujan yang dapat membuat pakaian formal namun elegannya itu basah dan berakhir terlihat tidak rapi.
"Sayang …." Kaki Angga refleks melangkah dengan cepat mendekati Amira. Fokusnya saat ini bukan pada Amira, melainkan pada seorang perempuan yang masih mengenakan seragam sekolah itu. Tubuh Karina terlihat bergetar hebat di balik punggung Amira, entah efek tangis atau dinginnya air hujan yang telah membasahinya.
"Kenapa kau tidak memakai payung? Ayo bergabunglah bersama kami untuk meneduh!"
Angga masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari Kirana yang terlihat begitu berusaha keras menghindar untuk tak menatap matanya.
"Tidak, Sayang! Kita bicarakan saja hal ini di sini!"
"Apa yang terjadi, Sayang?" Amira bertanya pelan, dengan mata melirik Kirana yang semakin mencengkeram erat jas kerjanya.
"Tidak ada, Sayang!" sahut Angga pelan.
"Tidak, Mom! Dia berbohong! Dia pembohong besar, jangan percaya apapun yang keluar dari mulutnya!" pekik Kirana keras yang teredam oleh suara air hujan.
Angga diam, tak bergeming sedikitpun.
"Kau yakin semua baik-baik saja, Sayang?"
Bukan suara Angga yang terdengar setelahnya, melainkan suara penuh permohonan dari Kiranalah yang terdengar. "Mom, kumohon. Bawa aku pergi darinya …."
Angga masih belum menjawab. Bukan karena takut ia akan salah menjawab yang membuat Amira mengetahui kejadian barusan, melainkan karena keinginan Angga yang begitu besar untuk menarik Kirana ke dalam dekapannya.
Demi apapun, Angga tak pernah berniat memuat Kirana ketakutan seperti ini. Dan jikapun seandainya tidak ada Amira di sini, Angga pasti akan membawa Kirana ke pelukannya dan terus mengucapkan kata maaf. Ia bersedia melakukan apa saja asalkan Kirana mau memaafkannya.
Ia benar-benar lepas kendali.
Perasaan takut yang diakibatkan oleh kekhawatiran Angga akan semakin jauhnya pikiran Kirana melayang ke arah negative mengenai dirinya membuat Angga tanpa sadar berlaku demikian.
"Sebenarnya apa yang terjadi di sini?" Amira menatap bingung Angga. Ini adalah kali pertamanya Amira melihat Kirana berlagak ketakutan seperti ini.
"Hanya sedikit salah paham, dan aku akan menyelesaikannya dengan segera," sahut Angga berusaha tenang.
Menyeka air hujan yang membasahi wajahnya, Angga menatap Amira lekat. "Akh, ya, Sayang. Apa aku bisa melihat rekaman CCTV yang ada di ruang kerjamu sebentar saja?"
Kening Amira berkerut. "Untuk apa?"
"Ada sesuatu yang ingin aku cek kebenarannya," sahut Angga cepat.
Di bawah derasnya guyuran air hujan, Amira tersenyum. "Sayang, aku tidak sedang ingin menyembunyiakn sesuatu apapun darimu, tapi sayangnya CCTV di ruanganku rusak. Aku baru berniat mencari orang untuk memperbaikinya besok mengingat jadwalku yang begitu padat."
"A-apa?" Angga diam mematung. Pupus sudah harapan Angga. Bahu Angga melorot, tapi demi Kirana pria itu berusaha untuk tetap mencari jalan keluar lain. Dia harus bisa bagaimanapun caranya karena semua ini begitu beresiko.
"Akh,ya! Sekretarisku! Aku dan Kirana ingin bertemu dengan Sekretarismu, apakah dia ada di kantor?"
"Sekretaris?" Amira terdiam sejenak. "Akh, dia maksudmu? Sayangnya dia sedang tak ada di kantor, dia barus aja pergi untuk mengurus data-data yang tertinggal di Rumahnya karena akan kubawa menemui klien besok. Namun, jika hal ini adalah hal yang begitu mendesak, aku bisa saja menyuruhnya untuk kembali ke sini dan menemui kalian."
Mendengar itu, Kirana lantas menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak, Mom! Kumohon jangan termakan oleh omogannya! Asal kau tahu, aku melihatnya dengan kepala mataku sendiri sedang begr—"
"Kirana sebentar!" Amira menyela ucapan Kirana saat merasakan benda pipih yang ada di dalam tas selempangnya.
Angga dan Kirana hanya bisa sama-sama terdiam, melempar tatapan berbeda dari masing-masing kubu. Kirana dengan tatapan sinis dan kecewanya, sementara Angga dengan tatapan sendu dan penuh penyesalannya.
"Kirana, maaf. Namun, Mommy harus segera pergi sekarang karena klien yang menyibukkan Mommy akhir-akhir ini meminta untuk mengadakan pertemuan sekali lagi untuk membahas finalo dari kontrak yang sedang Mommy ajukan. Kau bisa menceritakan apa yang ingin kau ceritakan nanti malam setelah Mommy pulang."
Mendengar itu, dada Kirana bergemuruh. Tatapan yang tadinya sinis lantas berubah begitu menyedihkan. "Mom, tidak, Mom! Jangan lakukan ini kepadaku! Atau bagaimana jika … jika aku ikut denganmu saja?! Kumohon, Mom! Izinkan aku ikut denganmu saat ini saja!"
"Tidak, Kirana. Kau tidak boleh ikut. Mommy bukannya melarangmu, hanya saja klien ini begitu berbeda dari klien-klien sebelumnya. Dia arrogan, tapi Mommy tidak bisa melepasnya begitu saja karena dia sangat penting untuk perusahaan Mommy. Kau pasti tak ingin terjadi sesuatu pada perusahaan Mommy, kan, Sayang?"