Wajah yang nampak pucat pasi itu perlahan mulai mengeluarkan semburat merahnya. Bukan karena malu, tetapi karena terbakar oleh amarah.
Amarah yang sudah tak bisa Kirana tahan lagi untuk tak segera ia luapkan pada Angga
"KAU SENGAJA, KAN? KAU SENGAJA MEMBUATKU TERTEKAN DENGAN KEADAAN INI, KAN?! APA YANG HARUS KULAKUKAN AGAR KAU PUAS MEMBUATKU MENDERITA DAN TAK LAGI MERECOKI HIDUPKU, KAK?!"
Angga mematung, darahnya berdesir hebat secara bertahap di ikuti dengan sensasi panas dan perih yang merambat di pipinya. Kedua tangannya terkepal, rasa tersinggung yang masih ada dibenaknya pada Kirana lantas kembali menumpuk dan perlahan bersiap untuk meledak saat ini juga.
Suara kekehan perpaduan antara rasa kecewa, sakit dan marah yang ada pada diri Angga lantas terdengar di telinga Kirana.
"Kembali menuduhku, huh?!" Angga rasanya begitu ingin membalas tamparan, tapi sebisa mungkin pria itu mengingatkan pada dirinya bahwa yang ada di depannya ini ialah seorang perempuan.
"Lalu apa yang bisa kulakukan selain menuduhmu? Hanya itulah fakta yang bisa kutemukan saat ini!"
Dengan air mata yang bercucuran tiada henti, Kirana berusaha meluapkan segala kekesalannya pada Angga.
"Fakta kau bilang? Apa kau buta?" Angga tak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Kirana. Fakta yang mengatakan bahwa Angga memang sebrengsek itu sehingga dengan sengaja membiarkan Kirana berada di situasi seperti ini?
Iya, Angga akui pada awalnya dia memang begitu puas melihat Kirana mendekam di keadaan yang paling perempuan itu. Namun, demi apapun Angga tak pernah berharap jika situasi ini akan kembali muncul ke permukaan di saat hubungan mereka sedang tak baik-baik saja.
"Iya, itulah kenyataannya! Dan karena itu aku begitu membencimu, Kak! Aku berharap kau akan dengan segera mendapatkan karma atas apa yang telah kau perbuat padaku! Aku berjanji pada diriku sendiri akan menjadi orang pertama yang tertawa saat melihatmu mendapatkan karma tersebut!"
Dada Angga semakin naik turun, kedua tangannya yang bergetar itu perlahan terlihat hendak terangkat dan melayang ke wajah Kirana, tapi pria itu masih berusaha untuk mengontrol dirinya dan sadar akan konsekuensi yang akan ia dapatkan di ke depannya nanti.
"AKU MEMBENCIMU! AKU BERHARAP KAU MENINGGAL SECEPATNYA, BAHKAN JIKA KEPERGIAN ORANG-ORANG DI SEKITARMU YANG BEGITU ENGKAU SAYANGI AKAN BISA MEMBUATMU HANCUR BERKEPING-KEPING, AKU BERHARAP ITULAH YANG AKAN KAU DAPATI!"
"KIRANA!"
JEDER!
"AKH!"
Bagaikan seseorang yang baru saja memberi kutukan kepada orang yang durhaka kepadanya, suara petir yang begitu menakutkan mengiringi bentakan Angga yang membuat telinga Kirana kembali berdengung hingga suara teriakan penuh ketakutan itu tak bisa ia tahan lagi.
"Jangan sampai aku kehilangan kesabaranku Kirana! Sudah kukatakan bukan bahwa kau boleh saja menginjakku, tapi jangan harap aku akan tetap diam saja jika kau menyangkut orang-orang yang aku sayangi!"
Mata itu mulai menggelap, menatap Kirana dengan penuh emosi seakan-akan ingin membunuh Kirana saat itu juga dengan tangannya sendiri.
Kirana hanya bisa diam sembari menangis sesenggukan. Ia sadar dengan apa yang baru saja ia katakan itu adalah sebuah kesalahan bahkan suatu ucapan yang tak seharusnya keluar dari bibirnya.
Kirana sendiri tak pernah berharap jika kalimat-kalimat menyakitkan itu akan keluar dari bibirnya, sayangnya takdir sepertinya memang berniat membuat keduanya semakin menjauh hingga tak ada lagi alasan untuk saling memaafkan dan kembali seperti sediakala.
"Kau itu hanyalah bocah ingusan yang masih belum mengerti apa-apa! Kau tak akan pernah mengerti apa dan bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi!"
Mendengar itu, semua penyesalan yang sempat hampir mengambil alih jiwa dan raga Kirana lantas buyar begitu saja. Suara isak tangis itu perlahan terdengar seperti suara kikikan kecil penuh dengan nada meremehkan.
"Kau bilang apa? Tidak mengerti?" Kirana memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap Angga nyalang.
"Sadar, Kak! Ingatlah bahwa kaulah yang membuatku merasakan kehilangan tersebut! Berawal darimu, aku perlahan kehilangan semua orang yang aku sayangi! Ibu dan teman-teman panti, para guru serta teman-temanku, semua menjauhiku, Kak! Dan kau bilang apa tadi? Aku hanya bocah ingusan yang tidak mungkin mengerti hal itu?!"
Kirana mengepalkan kedua tangannya erat kemudian kembali tertawa sarkas. "Lucu sekali, Kak! Lucu!"
Kini keduanya nampak begitu termakan oleh ibu mereka masing-masing. Dan sepertinya malam itu itu akan menghadirkan dua pilihan seperti, perdamaian yang tak terduga atau pertikaian yang tak akan pernah ada ujungnya bahkan berangsur memburuk termakan oleh waktu.
"Kirana." Angga menyebut nama Kirana dengan nada berat nan rendah, membuat bulu kuduk Kirana meremang tanpa bisa perempuan itu tahan.
"Berhenti menyebut namaku, sialan! Aku tak akan pernah sudi nama ini disebut oleh bibirmu itu!"
Angga memejamkan matanya perlahan setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Kirana. Tatkala mata itu terbuka, tatapan dingin dan datar kembali mendinginkan suasana atmosfer yang menyelimuti di antara mereka.
"Kau tidak ingin aku menyebut namamu, kan? Lalu harus aku sebut seperti apa dirimu? Perempuan tak tahu diri? Atau seorang jalang kecil? Mengingat kau kutemukan untuk pertama kalinya di sebuah klub malam?"
"BRENGSEK!" Air mata yang tadinya telah berhenti menggenang itu kembali jatuh berlomba-lomba membasahi pipi Kirana.
"Kenapa? Apa kau tersinggung dengan apa yang kukatakan?"
Angga menumpu tangannya di kedua sisi tubuh Kirana kemudian mendekatkan wajahnya diiringi dengan senyum smirk yang begitu memancarkan aura menakutkan.
"Pergilah, Kirana."
GLEK!
Suara itu bagaikan suara bisikan malaikat maut yang meminta Kirana untuk segera melepas semua ikatan keduniawian yang ada pada dirinya.
CEKLEK!
Beberapa saat kemudian suara pintu mobil yang dibuka hingga membuat sensasi angin kencang yang begitu sejuk menyerap masuk hingga ke pori-pori kulit Kirana. Bahkan rasanya sampai menyusup ke tulang-tulang rusuk Kirana.
Kirana refleks menoleh ke ke jalanan sepi yang kini terlihat dengan jelas di depan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap Angga yang mana jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa jengkal saja.
"Pergilah Kirana! Pergi sebelum aku melakukan hal yang di luar dari kendali dan kesadaranku hingga membuatmu semakin membenci raga bernama Angga ini!"
"H-huh?!" Kirana menahan nafasnya saat matanya terkunci oleh tatapan penuh dengan kekelaman yang begitu mendominasi tersebut.
"APA KAU TULI?!"
Suara Angga menggelegar di telinga Kirana membuat tubuh perempuan itu bergetar hebat diiringi dengan suara sesenggukan yang kian terdengar semakin jelas.
Setelah nada berat nan penuh penekanan yang keluar dari bibir Angga membuat jantung Kirana berdegup kencang diiringi rasa takut yang begitu luar biasa.
"Turun dari mobil ini dan segeralah menjauh dari pandanganku sekarang juga, Kirana!"