"Sialan! Kau benar-benar membohongiku ternyata?!" Kirana menatap nyalang Angga, merasa begitu dibohongi.
Angga dengan santainya malah memasukkan kembali hpnya di saku celana bahannya itu seakan-akan ia memang sengaja membawa Kirana datang ke mari untuk memperpanjang waktu mereka berdua hari ini.
"Kau benci berlama-lama denganku, kan? Berhentilah berpikiran yang tidak-tidak kemudian segera ikut aku menuju butik. Atau bagaimana jika kita ke Rumah terlebih dulu agar kau bisa mengganti pakaianmu. Rasanya tidaklah sedap dipandang oleh mata yang melihat jika kau datang ke butik dengan masih mengenakan seragam sekolah."
Kirana mengatur napasnya kembali. Perempuan itu memejamkan mata, berniat mengiyakan apa yang dikatakan oleh Angga agar semuanya berlalu dengan cepat. Namun, saat sesuatu terlintas di pikirannya, Kirana lantas kembali menatap nyalang pria di hadapannya itu.
"Kau merekayasa semua ini, kan? Lalu di mana Mommy?!" pekik Kirana kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Kirana berniat memastikan semuanya dengan menelpon Amira langsung.
Angga menghela napas panjang kemudian berjalan menghampiri Kirana. Setelah sampai tepat di hadapan perempuan itu Angga dengan segera merampas ponsel Kirana cepat.
"Kau--" Kirana sudah mengambil ancang-anang untuk memaki Angga, tapi pria itu malah mengunci pandangan Kirana dengan menangkup kedua pipi Kirana yang hendak membuang muka ke arah samping.
"Kirana. Mommy-mu sedang tidak ada di kantor ini. Dia sedang menemui klien penting di sebuah restoran. Jadi, tolong jangan membuat kegaduhan seperti ini. Jangan mengganggu Mommy-mu, biarkan dia fokus dalam hal mencari kesempatan untuk bisa mendapatkan klien kali ini. Karena aku dengar-dengar klien yang Mommy-mu temui hari ini begitu penting untuk perusahaan ini!"
Angga berusaha meyakinkan Kirana. Kali ini tak ada unsur kebohongan sama sekali. Ia ingat dengan apa yang dikatakan oleh Amira sebelumnya dimana perempuan itu mengatakan jika ia begitu berharap besar bisa bekerja sama dengan klien kali ini.
Hal inilah yang membuat Amira hingga harus berangkat bekerja lebih awal dari biasanya pagi tadi. Perempuan itu ingin memastikan bahwa apa yang ia perlukan sudah lengkap untuk menemui klien tersebut.
Dan dengan bodohnya, Angga melupakan pesan Amira mengenai mengajak Kirana ke butik yang dikirimkannya tadi pagi sekitar jam 10.
Angga benar-benar lupa, ia sama sekali tak melakukan ini dengan sengaja agar bisa bersama dengan Kirana lebih lama.
Jikapun Angga ingin bersama dengan Kirana lebih lama, Angga tak perlu melakukan hal-hal seperti ini mengingat sekarang ia dan Kirana berada di atap yang sama.
"Kau mengerti, kan?" Angga bertanya pelan, saat Kirana tak kunjung memberi respon.
Kirana awalnya hanya mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, beberapa saat kemudian perempuan itu lantas menghempaskan tangan Angga.
"Tidak usah menyentuh pipiku lagi!" tekan Kirana kemudian dengan segera pergi dari hadapan Angga.
Angga yang melihat itu hanya bisa menghela napas pelan kemudian berdecih dan menatap kepergian Kirana dengan sorot mata remeh.
Kirananya memang begitu banyak berubah dari segi manapun perempuan itu telah banyak berubah, dan Angga hanya takut jika perubahan yang begitu terlihat menarik di matanya itu akan membuatnya kembali memiliki hasrat untuk menjadikan Kirana sebagai miliknya satu-satunya.
"Kak Angga ...."
Angga yang berniat menyusul Kirana lantas dibuat terdiam setelah mendengar suara itu masuk ke indera pendengarannya.
***
Kirana yang baru saja selesai berbincang-bincang sedikit dengan seorang pegawai yang memang dekat dengannya itu kini berniat kembali melanjutkan langkahnya untuk kembali ke lift yang ia dan Angga gunakan tadi.
Namun, saat Kirana hampir sampai, Kirana lantas menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang dan baru menyadari jika Angga tak berada di sekitarnya.
Kirana menatap sekitar, berusaha mencari keberadaan Angga. Namun, ia tak menemukannya. Hal itu membuat Kirana dengan segera kembali melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Amira.
Jika tidak bersamanya, ia yakin Angga pasti berada di sekitaran sana. Dalam perjalanan, Kirana sudah menerka-nerka hal apa yang membuat Angga bersikap seperti ini. Rasanya hanya karena ucapannya yang kelewat sinis tadi, itu tidak mungkin.
Angga bukanlah seseorang yang mudah tersinggung. Itu yang Kirana ingat mengenai sosok Angga yang dulu. Namun, sesaat ia juga berpikir bahwa itu mungkin saja benar adanya mengingat apapun bisa berubah mengingat waktu yang telah berlalu begitu lama.
Saat sudah sampai di depan ruangan kerja Amira, Kirana mengernyitkan dahinya bingung. Pintu ruangan ditutup? Bukankah ia tak menutup pintunya tadi? Apakah Angga tidak ada di sini?
Menggelengkan kepalanya pelan, Kirana lantas dengan cepat membuka pintu tersebut.
"Kak Angga--"
Ucapan Kirana terhenti. Tubuhnya membeku dalam hitungan detik. Semua saraf-sarafnya seakan berhenti bekerja saat matanya mendapati pemandangan tak senonoh.
Ia melihat Angga sedang bercumbu dengan seorang perempuan yang duduk di meja kerja Amira dimana perempuan itu berpakaian ketat dan terbuka yang memperlihatkan bentuk lekuk tubuhnya.
Bahkan yang lebih parahnya lagi, Kirana melihat dengan jelas bahwa setengah dari kancing kameja ketat itu telah terbuka.
"BRENGSEK!"
Mendengar makian yang tiba-tiba menggema di segala penjuru ruangan itu. Pagutan bibir Angga dan perempuan itu terlepas karena Angga dengan segera mendorong tubuh perempuan itu untuk menjauh darinya.
"Kirana, tolong jangan salah paham, semua ini--"
Kirana lantas membalikkan badannya kemudian dengan segera pergi dari sana. Angga berniat untuk meyusul Kirana, tapi sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan menahan pergerakan Angga.
"Kak Angga, akan pergi kemana kau? Bukankah kita belum selesai? Apa kau tega meninggalkanku seorang diri di sini?"
Angga yang mendengar itu lantas menghempaskan tangan perempuan kasar kemudian membalikkan badannya dan menatap nyalang perempuan yang tiada lain adalah sekretaris Amira sekaligus adik tingkatnya semasa kuliah dulu.
"Tutup mulutmu, jalang!"
Tersentak. Itu yang terlihat dari mimik wajah perempuan itu. Terlihat, ia ingin menahan Angga, tapi pria itu telah terlebih dulu pergi dari hadapannya untuk mengejar Kirana.
Setelah kepergian Angga, perempuan itu menyunggingkan senyum miringnya kemudian mengambil ponselnya dan mengetikan sesuatu di sana.
Berbeda dengan Angga, pria itu nampak kelimpungan mencari Kirana yang tak kunjung ia temukan hingga ke depan gedung perusahaan Amira.
Pria itu sudah berniat untuk kembali ke mobilnya, tapi setelah matanya tak sengaja melihat Kirana hampir menaiki taksi, pria itu lantas dengan segera menghampiri Kirana.
"KIRANA! BERHENTI!"
Angga sedikit berteriak dan Kirana mendengarnya. Namun, bukannya menuruti apa yang diteriaki Angga, Kirana malah mempercepat dirinya untuk masuk ke dalam taksi dan segera menyuruh supir untuk melajukan mobil pergi dari sana secepatnya tepat saat Angga hampir bisa meraih taksi tersebut.
Angga meremas rambutnya kuat karena frustasi. "Argh! Sialan! Bagiamana ini semua bisa terjadi hari ini?"