Chereads / MANTANKU, AYAH ANGKATKU / Chapter 18 - HUKUMAN BERAT?

Chapter 18 - HUKUMAN BERAT?

"Dia sudah menerima hukumannya tadi siang, apa kau buta?"

Sontak, untuk sesaat keadaan menjadi begitu hening. Kalimat yang keluar dari mulut Arja sukses membuat ruangan tempat dimana mereka mengadakan rapat menjadi sepi layaknya kuburan.

"Kita sedang mengadakan evaluasi, bukan acara jatuh-menjatuhkan. Mohon kerjasamanya," ujar Arja lagi.

Dari tatapannya yang lebih dingin dan tak bersahabat itu menunjukkan dengan jelas ketidaksukaan Arja mengenai pertanyaan yang diajukan oleh Mentari.

"Ouh ya?" Kirana berlagak seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arja walaupun dari awla ia sudah memprediksi semua ini akan terjadi. "Jadi kau membela yang salah dan menyalahkan orang yang ingin memberitahu letak kesalah—"

"Kau bukan Tuhan," sela Arja cepat. Pria itu tak ingin membuat keributan di rapat seperti ini, tapi karena Mentari telah melewati batas yang membuat kesabarannya habis, prria itu tak bisa menahan diri lagi.

Mentari tertawa sinis kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku memang bukan Tuhan, tapi sebagai ciptaan-Nya yang dikaruniai indera, aku tentu berhak mengeluarkan pendapat mengenai apa yang ditangkap oleh inderaku."

"Ouh, ya, satu lagi. Kau mengatakan apa tadi? Menjatuhkan? Arja, ayolah, kita tidak saling menjatuhkan, tapi kita sedang mengadakan evaluasi yang bertujuan untukn menyadarkan seseorang dari kesalahannya. Jangan membawa perasaan dalam hal ini, Arja."

Kirana merasa situasi mulai memanas. "Teman-teman, apa yang kalian lakukan, kenapa kalian malah berdebat seperti ini? Ayolah, jangan seperti ini. Ini memang salahku, dan aku mengakuinya. Jikapun—"

Ucapan Kirana terhenti setelah Arja merentangkan satu tangannya di depan Kirana—seolah-olah mengatakan bahwa Kirana tak perlu berbicara di saat-saat seperti itu.

"Siapa yang membawa perasaan dalam hal ini? Apa kau sedang menjadikanku kaca?"

Ujaran Arja kembali membuat suasana semakin menegang. Wajah semua orang yang ada di ruangan itu nampak tegang sekaligus penasaran dengan apa yang akan terjadi mengingat bahw adari desas-desus yang beredar, Mentari menyukai Arja—sepupu jauhnya itu, sejak berumur 10 tahun. Namun Arja tak pernag menanggapi serius perasaan yang Mentari punya untuknya.

Sementara sekarang? Mereka berdua telah berumur 18 tahun, bisa dilihat betapa lamanya Mentari menyimpan rasa pada Arja.

Kirana bangun dari duduknya, membuat perhatian semua orang yang tadinya terfokuskan pada Arja dan Mentari kita berpusat padanya. "Guys, kita adakan voting sekarang untuk hukuman apa yang akan diberikan kepadaku. Aku mengakui kesalahanku, dan karena di sini kita sudah menetapkan peraturan mengenai hal ini serta aku juga sadar bahwa kata maaf tak bisa memperbaiki semuanya."

"Seperti peraturan yang telah disepakati, hukuman bisa berupa—"

"Kau sudah menjalani hukuman. Diamlah," sela Arja cepat.

Tak hanya Kirana, semua orang kini menoleh ke arah Arja yang ikut bangun dari duduknya.

"Ketua Panitia kita ini sudah menjalani hukuman tadi siang saat jam istirahat hampir habis dan telah menyelesaikan hukuman tepat setelah bel masuk berbunyi," ungkap Arja membuat semua orang berbisik-bisik.

Dari apa yang dikatakan oleh Arja, semua orang tahu bahwa Arja seakan-akan ingin mengatakan secara tak langsung bahwa Kirana tak pantas untuk dihukum lagi karena telah menyelesaikan hukumannya.

"Tidak!"

"BIG NO, BROTHER!"

Kirana dan Mentari menyela dengan cepat dan secara bersamaan.

Mentari kemudian menatap sinis Kirana, sementara yang ditatap memilih untuk mengalah daripada suasana semakin ebrada di luar kendali. Ketidaksukaan Mentari pada Kirana semakin menjadi-jadi setelah kembali melihat Arja diam-diam berusaha melindungi Mentari.

"Iya, dia memang telah menyelesaikan hukuman. Namun, siapa yang telah menjatuhkan hukuman itu? Pak Pembina? Oh ayolah, jangan membohongi kami. Pak Pembina tak pernah menjatuhkan hukuman secara pribadi tanpa mengumpulkan semua anggota OSIS terlebih dahulu!"

"Maksudmu?" Arja kembali menyahut, nampak tak ingin membiarkan Mentari menang.

"Singkatnya seperti ini. AKu tahu bahwa Kirana memutuskan untuk menjatuhkan hukuman lari pada dirinya di jam istirahat siang ini agar ia terbebas dari hukuman berat yang sudah kita sepakati tempo hari."

Semua orang kembali berbisik-bisik. Mereka baru sadar bahwa hal itu mungkin saja terjadi mengingat hukuman berat yang merupakan hukuman rahasia yang hanya diketahui oleh anggota inti dan belum disampaikan hingga saat ini masih menjadi tanda tanya. Hukuman itu dikatakan sangat manjur membuat seseorang menyadari kesalahannya, dan mungkin saja Kirana memang melakukan semua ini karena hal tersebut.

Mereka semua yakin bahwa tak mungkin ada orang yang mau meloncat ke lubang lava tanpa memperhitungkan sesuatu hal. Padahal di sini Kirana memang tulus menjalani hukuman karena ia benar-benar merasa bersalah, bukan untuk menghindari hukuman berat.

"Jadi, bagaimana jika kita menjatuhkan hukuman yang masih menjadi rahasia itu? Kita semua juga penasaran dengan hukuman berat apa yang dimaksud bukan?" tambah Mentari lagi. "Kita lihat pertanggung jawaban dari Ketua panitia kita ini."

"MENTARI!!"

Suara bentakkan Arja yang terdengar begitu nyaring terdengar, membuat beberapa orang memegangi dadanya karena terkejut. Kedua tangan pria itu mengepal di kedua sisi tubuhnya dari balik meja.

"Jaga batasanmu, jangan biarkan sikapmu ini membuat diriu suatu nanti pulang hanya tinggal nama ke Rumah," desis Arja dengan tatapan yang kian mendingin hingga suhu ruangan tersebut ikut menutrun.

"Arja, sudahlah," ujar Kirana cepat sembari berusaha menenangkan Arja.

Dengan tangan yang masih menggenggam tangan Arja yang mengepal—tak terlihat oleh siapapun mengingat meja rapat setinggi pinggang mereka.

"Baik. Aku akan menjalani hukuman berat besok. Kalian bisa menentukan waktu untukku melaksanakan hukuman ini," ujar Kirana to the point. Ia sebenarnya bimgung dihadapkan di posisi seperti ini.

"APA?!"

Suara Arja kembali meninggi. Kirana dengan segera berusaha menggenggam tangan Arja lebih erat agar pria itu mampu menahan emosinya. Namun, belum sempat hal itu terjadi, Arja telah menghempaskan tangannya dan segera keluar dari ruangan rapat itu dengan suasana hati yang tak bia dikatakan baik-baik saja.

"Ouh, baguslah."

Suara Mentari terdengar semakin menyebalkan. Ajang rapat evaluasi sore itu berubah menjadi pertikaian mengenai mana yang salah dan siapa yang patut disalahkan.

Mentari tersenyum kecut. Ia ssudah tahu bahwa apapun yang terjadi, diam-diam Arja tak akan mau tinggal diam saja membiarkan dirinya menjatuhkan Kirana.

Mentari sebenarnya tak ingin berubah menjadi sosok menyebalkan seperti ini, tapi rasa cemburu yang tumbuh pada dirinya setiap melihat secara langsung di depan mata Arja selalu berusaha melindungi dan membnatu Kirana keluar dari masalah membuat Mentari perlahan menyimpan dendam pribadi pada siswi baru yang belum apa-apa sudah merebut segalanya darinya.

Berawal dari perhatian para guru-guru, serta jabatan di OSIS, dan terakhir adalah Arja. Mentari benci, Mentari iri dengan Kirana yang bisa mendapatkan semua itu dengan mudah. Sementara dirinya berusaha mati-matian tapi teap tak mendapatkan hasil apapun.

Apalagi mendapatkan perhatian seorang Arja—walaupun pria itu tidak menunjukkannya secara terang-terangan.

'Lihat saja, Kirana. Aku tak akan pernah membiarkanmu bahagia di atas penderitaanku karena kaulah yang membuat semua orang memandangku remeh dan mencampakkanku,' batin Mentari sembari mentap Kirana dari mejanya dengan tatapan sinis menusuk.