"Ya, Tuhan, kenapa aku harus mengingat malam itu—"
Belum sempat Kirana menyelesaikan ucapannya, Kirana lantas terdiam membeku layaknya patung. Pikirannya buntu, tapi tangannya dengan cepat malah menyibak selimut yang menghangatkan tubuhnya.
Kenapa ia ada di sini? Bukankah tadi ia berada di kelas setelah Pembina menyetujui permintaannya untuk menerima konsekuensi saat jam istirahat?
"As-astaga! Di mana seragamku?! Kenapa aku hanya mengenakan bra saja?!"
Belum sempat mencerna keterkejutannya setelah menyadari dirinya hanya memakai bra—walaupun celana rok sekolahnya masih membalut tubuh bagian bawahnya, suara gemercik air yang terdengar dari balik pintu yang ada di ruangan bernuansa serba abu itu membuat Kirana menahan napas selama beberapa saat.
"T-tidak, aku … akh, aku tidak mungkin mengulangi kesalahan yang sama!"
Dengan panik, Kirana lantas turun dari ranjang, pikirannya telah melayang ke mana-mana, tak ada pikiran positif sedikitpun yang sekarang ada pada kepalanya. Merasa dirinya baru saja melakukan kesalahan, Kirana tak punya pilihan lain selain segera kabur seperti apa yang dia lakukan 2 tahun yang lalu juga kemarin malam.
Salah dan melelahkan memang, tapi hanya itu yang bisa Kirana lakukan. Ia tak punya banyak keberanian untuk menghadapi kenyataan ataupun fakta pahit yang sudah menunggunya di depan sana.
Kirana lelah, Kirana tak kuat lagi harus didatangi kepahitan dan masalah dalam hidupnya. Sekali-kali, Kirana ingin hidup bahagia tanpa beban seperti yang lainnya.
"Ahh, tunggu? jangan bilang waktu kemarin malam diputar ulang?" Merasa memiliki kesempatan untuk mengubah segalanya, Kirana dengan segera bergerak cepat.
"Tu-tunggu! Aku … aku tidak bisa keluar dari sini dengan penampilan seperti ini!" bibir tipis berwarna peach alami itu meracau dengan panik sembari menyilangkan tangannya di depan dada yang terasa begitu kedinginan akibat terpaan hawa sejuk dari AC yang ada di kamar tersebut.
Bersyukurnya, manik hazel itu tak sengaja menangkap jaket denim--mirip dengan milik Arja, yang tergeletak seolah-olah tak ada harganya di atas sofa yang hanya berjarak beberapa langkah di depan ranjang. Tak mau membuang-buang waktu lagi, Kinara lantas menyambarnya kemudian memakainya dengan tergesa-gesa.
Manik hazel itu beberapa kali melirik pintu yang ia yakini adalah kamar mandi tersebut, ia benar-benar berharap besar bahwa orang yang ada di dalam sana tak keluar di saat ia masih ada di kamar tersebut.
"Aroma ini…."
Kirana menggelengkan kepalanya kuat untuk menyadarkan dirinya setelah ia sempat dibuat membeku untuk kesekian kalinya tatkala aroma woody yang fresh menyeruak memenuhi indera penciumannya setelah memakai jaket itu.
"Sial! Jaket ini miliknya, bukan Arja!"
CEKLEK!
Kali ini, tubuh Kirana tak hanya membeku, tetapi juga menegang. Sengatan listrik ia rasakan mengalir di tubuhnya tatkala manik hazelnya itu tak sengaja bertubrukan dengan manik hitam pekat milik seorang pria yang baru saja membuka pintu kamar mandi dengan keadaan telanjang dada. Saking terkuncinya oleh tatapan tersebut, Kirana sampai tak sempat untuk melihat dengan jelas wajah pria tersebut.
"AKHHH!!!"
Kirana berteriak kencang seolah-olah yang baru saja ia lihat itu bukanlah manusia, melainkan hantu. Bahkan saat pria yang hanya memakai handuk sebatas pinggang itu mulai berjalan cepat mendekatinya, bukannya segera pergi dari sana, Kirana malah masih tetap mempertahankan posisinya di sana.
"Kiran—"
Belum sempat pria itu menyelesaikan ucapannya dan meraih bahu Kirana untuk menenangkan remaja itu, Kirana yang baru saja menyadari situasi gawat tersebut lantas melenggang pergi secepat kilat dan keluar dari kamar tersebut.
"Kirana!"
Pria itu sepertinya tak ingin membiarkan Kirana pergi dari kamarnya sampai-sampai ia tak memedulikan penampilannya yang hanya memakai handuk itu dan tetap berusaha mengejar Kirana.
Di posisi Kirana, ruangan yang tadinya gelap gulita itu akhirnya berubah terang. Namun, Kirana tak senang sama sekali dengan hal itu karena ia tahu bahwa pria tadilah yang menghidupkan lampu. Itu artinya, pria itu memang sedang mengejarnya.
Hal itu pun membuat Kirana yang baru saja sampai di sebuah ruangan kecil yang penuh dengan perabotan dapur itu, lantas mempercepat langkahnya untuk membuka pintu yang ada di depannya—walaupun Kirana tak yakin jika itu memang pintu keluar dari tempat tersebut.
"Uhh, terima kasi—"
Belum sempat Kirana menggumamkan syukur sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan karena ia berhasil menemukan jalan keluar dari tempat itu, bahunya tiba-tiba ditahan, membuat Kirana lantas menghempaskan tangan yang bertengger di bahunya itu dengan kasar.
"AKH!"
"MAKAN ITU! DASAR GILA!"
Kirana memekik kuat setelah berhasil melepaskan diri kemudian dengan segera mengambil langkah panjang untuk segera pergi dari sana. Semakin Kirana berlari tanpa arah dan menjauh dari tempa itu, semakin jelas pula suara derap langkah dari pria yang mengejarnya di belakang sana.
Kirana memejamkan matanya beberapa saat dengan kaki jenjang yang masih terus berlari, ia berdoa dalam hati dan berharap Tuhannya bisa menyelamatkan Kirana dari pria itu apapun yang terjadi.
Beruntung!
Saat Kirana baru saja membuka matanya, sekitar 4 meter dari posisi Kirana, ia mendapati sebuah lift. Hal itu membuat Kirana tak bisa berkata-kata lagi selain mempercepat langkahnya, dan saat ia telah berada di dalam lift, Kirana dengan panik terus menekan tombol lift agar pintu lift tersebut segera menutup sebelum pria yang mengejarnya itu berhasil ikut masuk ke dalam.
"Kirana tungg—"
TING!
Pintu menutup sempurna saat sosok jangkung yang mengejarnya itu baru saja berniat masuk ke dalam lift. Kirana menyenderkan tubuhnya yang terasa lemas ke dinding lift, napasnya lantas terputus-putus layaknya orang yang mengidap penyakit asma.
"Sial! Apa waktu memang sedang diulang kembali?"
Tubuh Kirana bergetar hebat setelah mengingat wajah pria yang mengejarnya tadi sebelum lift akhirnya menutup sempurna. Kristal bening yang telah berkumpul di pelupuk matanya lantas mengalir deras tanpa henti saat itu juga.
"Tidak, dia tidak mungkin Kak Angga. Angga sudah mati! Dia sendiri yang mengatakannya padaku bahwa jika dia tak datang menemuiku malam itu, itu artinya ia telah mati! Dia bukan Kak Angga! Dia bukan pria brengsek itu!!"
Kirana menjambak rambutnya sendiri karena merasa tak kuat mulai dihantui oleh bayang-bayang Angga yang telah begitu lama berusaha ia lupakan. Padahal ia sudah tahu bahwa beberapa jam yang lalu pria itulah yang mengantarnya, tapi pikirannya saat ini seperti masih terjebak di masa lalu kembali.
Saat itu, di dalam lift yang sepi dan hanya ditemani oleh kesunyian, Kirana menunggu lift yang akan membawanya ke lantai 1 segera terbuka agar ia bisa dengan cepat segera pulang dengan tubuh yang perlahan merosot ke bawah serta suara tangis sesengukan yang begitu menyayat hati.
TING!
Kirana yang tadinya memejamkan mata kini perlahan membuka matanya perlahan bertepatan dengan pintu lift yang telah terbuka sempurna. Dengan tenaga yang rasanya telah terkuras habis, Kirana berusaha bangun, tapi saat suara langkah cepat diiringi dengan napas yang ngos-ngosan itu berhenti di depan lift tersebut, gerakan Kirana lantas terhenti.
Suara decihan yang begitu familiar di telinga Kirana membuatnya lantas merinding.
"Kirana, sejauh mana lagi kau ingin pergi dariku, hmm?"
"AKHHH!!!"
***
BERSAMBUNG....