"AKHH!!"
Kepala yang tadinya bertumpu pada kedua lipatan tangannya di atas meja itu terangkat. Dengan mata yang memerah juga napas yang tak beraturan, Kirana lantas dibuat membatu di tempat.
Kelas?! Kenapa ia bisa ada di kelas seorang diri tanpa ada siswa-siswi lainnya? Bukankah tadi ia berada di lift dengan keadaan ketakutan karena telah ditemukan oleh Angga? Apa ia telah dilempar ke tempat baru lagi?
"H-huh?" Kirana membelalakkan matanya tatkala mendapati Arja tiba-tiba datang entah dari mana kemudian duduk di kursi yang ada di depan mejanya.
"Apa?" tanya Kirana karena Arja tak kunjung mengalihkan tatapan dinginnya itu darinya.
"Kenapa kau berteriak?" tanya Arja setelah diam selama beberapa saat. "Apa kau baru saja bermimpi buruk?"
"Mi-mimpi?" Kirana bertanya dengan nada ragu. Ia tak menduga kalau ternyata yang baru saja ia alami barusan adalah sebuah mimpi.
Entah harus bersyukur karena kejadian buruk yang menimpanya barusan ternyata adalah mimpi, atau buntung karena secara tidak langsung ia dirugikan. Walaupun bagi Kirana mimpi tadi adalah kejadian buruk, setidaknya ia bisa mencari cara untuk lepas dari tarikan Angga walaupun ia telah ditemukan.
Kemudian, Anggukan Arja menyadarkan Kirana dari lamunannya. "Kemanakah perginya semua orang?"
Pukulan ringandi dahi Kirana membuat perempuan itu meringis kemudian menatap nyalang Arja selaku pelaku. "Kenapa kau memukulku?!"
"Apa kau memang memiliki niat untuk menjalankan apa yang kau katakan pada Pembina pagi tadi?" Masih dengan tatapan dinginnya, Arja menaikkan satu alisnya.
"A-apa? Apa yang salah?" Kirana masih belum mengerti maksud Arja. Namun, saat matanya menoleh ke arah jam dinding yang terpasang di atas papan tulis di depan sana, Kirana membulatkan matanya kaget.
"A-apa? Jadi aku—"
"Iya, waktumu hampir saja habis. Jam istirahat telah berbunyi 15 menit yang lalu, dan kau seharusnya sudah menjalankan hukuman saat itu juga. Namun, karena kau tidur, semua yang kau katakan tadi pagi kepada pembina kini hanya terlihat sebagai bualanmu saja agar citramu tidak tercemar di mata Pembina."
"Tidak! Aku tidak sengaja tertidur tadi." Kirana berusaha meyakinkan Arja. Sesaat kemudian, Kiranalah yang sekarang memukul pelan lengan pria itu. "Lagipula kenapa kau tidak membangunkanku, huh?! Kau sengaja kan?!"
Arja menatap Kirana lamat kemudian menghela napas. "Masih ada waktu kurang lebih 15 menit lagi sebelum bel. Jika kau memang bisa memegang apa yang kau katakan kepada Pembina tadi pagi, ikutlah denganku ke lapangan."
"H-huh? Ikut denganmu? Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Kirana bingung.
Suara kekehan kecil Arja terdengar. "Kau memang pikun atau berpura-pura lupa saja? Bukankah Pembina sendiri yang memerintahkanku untuk memantaumu saat menjalankan hukuman di lapangan?"
"W-what?!" Kirana memekik kaget. " Kapan? Kenapa aku tidak mendengarnya sama sekali? Kau berbohong kan?"
"Berhentilah mengoceh seperti ini jika kau tak ingin kehilangan banyak waktu." Arja bangkit dari duduknya. "Atau jangan-jangan kau memang sengaja berdebat denganku agar kau tak jadi menjalankan hukuman?"
"Sinar matahari yang terik siang ini membuatmu ingin mundur, kan?"
Kirana nampak menganga tak percaya setelah mendengar apa yang ia katakan, tapi Arja terus saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Kirana seorang diri di kelas .
"Ck! Dasar menyebalkan!" pekik Kirana keras. "Kenapa dia selalu saja mencari masalah untuk bisa berdebat denganku? Tadi pagi dia menuduhku ingin tebar pesona di lapangan, sekarang dia malah menyindirku seakan-akan aku takut dengan sinar matahari!"
"Apa dia memiliki dendam tersembunyi padaku?!"
***
"Kukira kau tak akan datang mengingat jam istirahat akan selesai 10 menit lagi."
Saat kakinya baru saja menapak di pinggir lapangan tepatnya di samping sosok menyebalkan yang kini menatapnya dengan senyum miring, Kirana sudah disindir lagi oleh Arja.
"Ingat, nanti setelah jam pulang sekolah berbunyi, kita harus mengadakan evaluasi susulan event kemarin malam karena kau tiba-tiba menghilang."
"Kau kira aku selupa itu?" tanya Kirana sinis.
"Tentu. Aku mengenal penyakit pikunmu itu dengan baik," sahut Arja santai.
"Kau—"
Walaupun sejujurnya Kirana begitu greget melihat senyujm yang terlihat penuh dengan makna pengejekkan itu, Kirana memilih untuk menghentikan ucapannya karena ia sadar bahwa berdebat lagi dengan Arja hanya akan membuang-buang waktunya lebih banyak lagi.
Tanpa memperdulikan sinar matahari yang begitu terik dan menyengat mengenai kulitnya, serta tatapan bingung dari siswa-siswi yang melihatnya berada di lapangan, Kirana lantas pergi dari hadapan Arja,--memulai hukumannya.
Beberapa menit kemudian, tepatnya setelah Kirana berlari mengelilingi lapangan sebanyak 3 kali, nametag kepanitian tanda bahwa ia adalah salah satu anggota yang bertanggung jawab dalam hal penyelenggarakan event kemarin malam yang tadinya mengantung di lehernya kini malah menggantung ke belakang punggungnya.
Peluh Kirana bercucuran, semua mata menatapnya dengan seksama seakan-akan hukuman yang ia jalani saat ini adalah sebuah tontonan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan beberapa dari mereka terlihat berbisik-bisik kemudian tertawa bahagia. Namun Kirana tak peduli sama sekali karena ia harus menyelesaikan 7 putaran lagi sebelu bel masuki kelas berbunyi.
Mereka sepertinya bahagia melihat Kirana mendapat hukuman yang secara tak langsung mempermalukan harga diri perempuan itu di depan orang banyak, Mereka bahagia melihat panitia event SMA KASTA yang sangat diagung-agungkan oleh para guru karena kinerjanya yang tak bisa diragukan lagi sekarang malah terlihat diberikan konsekuensi atas kesalahannya.
Mereka tidak tahu saja jika Kiranalah yang meminta untuk diberikan konsekuensi tadi pagi.
"Sial! Kenapa rasanya napasku sangat sesak?" Tepat saat Kirana baru saja memasuki putaran ke tujuh, perempuan itu mulai merasakan perubahan yang sangat tidak enak pada dirinya. Namun, Kirana masih tetap berusaha bertahan hingga akhirnya ia masuk ke putaran ke delapan.
"Ayolah, 8 putaran lagi. Aku tak selemah itu hingga harus pingsan sebelum aku menyelesaikan hukumanku," gumam Kirana menguatkan diri dengan tangan kanan yang nampak mengepal itu kini memukul-mukul dadanya pelan.
Dari pinggir lapangan, semua itu sudah ditangkap dengan jelas oleh mata Arja sejak tadi. Kening pria itu berkerut, dia mulai sadar bahwa Kirana mulai tak bisa bernapas dengan benar.
Saat Kirana hampir lewat di depannya, Arja mencegat lari perempuan itu. "Apa kau masih bisa melanjutkannya? Kau bisa istirahat, aku akan melanjutkannya untuk—"
Kirana melanjutkan larinya lagi tanpa memperdulikan Arja. Telinganya berdengung hebat hingga ia hanya bisa mendengar samar-samar apa yang diucapkan oleh Arja tadi.
"Kirana, istirahat saja jika kau—"
"KYAKKKK!!!"
"KIRANA BERUNTUNG BANGETT!!"
Pekikkan kuat dari beberapa siswi yang melihat Arja ikut berlari menghampiri Kirana terdengar membuat Kirana berdecak sebal walaupun pandangannya kini kian menggelap.
"Ck, tidak bisa … bisakah kau diam saja? Fansmu bisa saja membunuhku nantinya."
Kirana mempercepat larinya saat ia hampir menyelesaikan putaran terakhirnya. Saat jaraknya kini hanya tinggal beberapa meter saja dari posisi awalnya berlari tadi, Kirana memaksakan dirinya untuk tersenyum walaupun kepalanya kini mulai terasa berat.
"Yes!" Kirana memekik lirih saat kakinya berhasil menapak di posisi awalnya saat berlari tadi. Tepat saat itu juga, pundaknya di tahan, semuanya terlihat berputar, tubuhnya linglung.
"Kirana kau bisa mendengarku?" Arja kini berada di hadapannya. Wajahnya panik saat melihat wajah Kirana terlihat begitu pucat.
"Aku berhasil…."
Kirana kemudian jatuh ke pelukan Arja.
***
BERSAMBUNG....