"Kirana, kau tahu apa kesalahanmu, bukan?"
Di ruangan berukuran sedang yang di dominan oleh warna hijau, Kirana nampak menundukkan kepalanya di depan seorang pria dengan tubuh sedikit berisi juga kumis tebal di antara bibir atas dan hidungnya.
"Ya, Pak. Saya tahu apa kesalahan saya." Walaupun berat rasanya mengatakan kenyataan yang memang terjadi kemarin malam, Kirana pada akhirnya memilih untuk tetap menerima konsekuensi yang memang seharusnya ia terima.
"Sebagai seorang ketua panitia event kali ini, kau seharusnya paham apa pengaruh posisimu sebagai panutan dari anggota lain. Jika seperti ini, bukankah tugasmu sebagai role model bagi anggota OSIS lainnya telah melenceng dari ketentuan?" suara pria berkumis tebal itu terdengar meyeramkan di telinga Kirana. Dia adalah Pembina OSIS.
"Iya, Pak, saya tahu. Saya minta maaf atas kelalaian saya kemarin malam."
"Memangnya kau pergi kemana, huh?! Bisa-bisanya kau meninggalkan tanggung jawabmu. Untungnya ada Arja yang menghandle semuanya, jika tidak? Aku tidak bisa membayangkan betapa kacaunya event kemarin malam."
Mendengar nama Arja disebut, Kirana baru ingat kalau di Ruang OSIS ini masih ada Arja yang memantaunya sejak tadi. Dalam hati Kirana berdecak sebal. Bohong jika ia mengatakan tak malu dimarahi seperti ini.
Dibandingkan dimarahi di depan umum, Kirana lebih malu jika dimarahi di depan Arja. Itu bukan karena Arja memiliki rasa kepada Arja, itu hanya karena perbedaan usia mereka sau sama lain.
Yang lebih tua dimarahi di depan yang lebih muda? Bagi Kirana itu tentu cukup memalukan. Terlebih Arja dan dirinya berada di satu organisasi. Singkatnya, mereka akan sering bertemu satru sama lain. Kirana tak bisa membayangkan bagaimana malunya ia nanti setiap bertemu Arja karena pasti akan teringat kejadian pagi ini.
"Kirana, apa kau dengar apa yang kukatakan tadi?"
"Ah … iya, Pak, saya mendengarnya." Sesaat kemudian Kirana membelalakkan matanya kaget. Kejadian kemarin malam? Oh tidak! Ia di hadapkan pada situasi yang rumit. Ia tidak mungkin menceritakan kejadian kemarin malam untuk menghindari problem baru yang mungkin akan ia hadapi. Namun jika tidak diceritakan, pembinanya itu akan mengira jika Kirana meninggalkan tanggung jawabnya untuk berhura-hura di luaran sana.
Tidak, tidak! Perjuangannya untuk bisa kembali berinteraksi dengan lingkungan sekitar juga cukup dikenal di kalangan guru dan para siswa/siswi SMA Kasta tidaklah mudah. Belum lagi ia sampai mengambil keputusan untuk terjun ke dunia organisasi sekolah seperti ini.
"Ya sudah, jangan ulangi kesalahanmu lagi. Sekarang kau boleh keluar dari sini," ujar pria itu kemudian setelah Kirana tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Menghela napas lega, Kirana membungkukkan badannya beberapa kali. "Terima kasih, Pak. Karena tak ada lagi yang perlu dibahas, saya izin keluar dari sini.""
Setelah mendapatkan anggukan dari Pembina, Kirana membalikkan badannya dengan perasaan lega yang tidak bisa dideskripsikan. Namun, saat melihat sorot dingin tak tersentuh Arja yang kini berdiri dengan tangan dilipat di depan dada, Kirana lantas dibuat teringat sesuatu.
Sesuatu yang ia katakan pada Arja tatkala pria itu berniat menceramahinya di dalam mobil.
Konsekuensi!
Kirana dengan cepat membalikkan badannya, menatap Pembina dengan tatapan panik. "Pak, Bapak belum memberikan konsekuensi yang harus saya terima sesuai dengan kesalahan yang telah saya perbuat!"
BRUSH!!
Air putih yang belum sampai di kerongkongannya itu lantas tersembur bebas tanpa kendali setelah Kirana mengatakan hal itu padanya. Tak berbeda jauh dengan Pembina, Arja yang mendengar ucapan Kirana ikut dibuat mengernyitkan dahinya. Tangan yang ia lipat di depan dada pun ikut turun.
"Apa? Konsekuensi?" Pembina itu nampak tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Di saat semua orang berusaha menghindar dari kata konsekuensi di saat melakukan kesalahan, kau malah memintanya? Kau sehat?"
"Syukurnya sehat, Pak!" Kirana mengangguk mantap. "Saya sadar untuk apa yang baru saja saya katakan, Pak. Sayalah orang yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk event kemarin, saya juga yang mengesahkan peraturan dimana anggota ataupun panitia yang melakukan kesalahan dan tak mau mengerjakan tugasnya dengan sengaja, maka orang itu akan diberikan konsekuensi untuk apa yang ia perbuat."
Kirana terdiam sejenak, memantapkan diri. "Konsekuensi ini adalah salah satu bentuk untuk mewujudkan kesuksesan dan kelancaran dari event yang sedang berjalan. Jadi, saya ingin mematuhi ketentuan yang telah saya tetapkan bersama anggota OSIS lainnya."
Mendengar itu, Arja dibuat tersenyum tipis. Entah apa yang sedang pria itu rasakan dan pikirkan hingga kedua sudut bibirnya itu terus berkedut sejak tadi.
"Jadi, kau mengaku bahwa meninggalkan tanggung jawab kemarin adalah sebuah kesengajaan?"
Walaupun awalnya sempat merasa tidak terima, Kirana pada akhirnya malah merespon dengan senyum lebar.
"Saya tidak pernah mengatakan bahwa kelalaian saya kemarin malam adalah sebuah kesengajaan. Saya hanya mengatakan jika saya ingin mematuhi ketentuan yang ada."
"Tapi ketentuan itu menyatakan seseorang akan dikenakan konsekuensi jika dengan sengaja lalai dengan tugasnya sendiri, bukan?" tanya Pembina itu dengan tegas.
"Iya, itu memang benar." Kirana terdiam sejenak. "Namun, saya sendiri merasa bahwa walaupun kelalaian saya itu mengandung unsur ketidaksengajaan, saya tetap harus mendapatkan konsekuensi mengingat posisi saya di event kali ini sangat penting. Saya ingin membuat anggota OSIS lainnya sadar bahwa konsekuensi dan hukum tak pernah memandang bulu."
Pembina itu terdiam selama beberapa saat, otaknya berpikir keras setelah mendengar apa yang Kirana katakan. "Ahh Kirana, jangan katakan bahwa kau melakukan ini semua agar kau bisa bolos dari mata pelajaran yang mungkin tidak kau senangi pagi ini."
"Pak, pagi ini saya mendapat mata pelajaran Kimia, itu adalah salah satu mata pelajaran yang paling saya sukai. Mungkinkah saya bolos di mata pelajaran yang saya minati? Jika bapak tidak percaya bapak bisa tanyakan hal ini kepada…." Kirana kembali tersenyum kemudian menatap Arja selama beberapa detik sebelum kembali menatap sang Pembina.
"Arja. Dia sekelas dengan saya. Kurang lebih sepertinya dia tahu bagaimana saya di kelas."
Menoleh ke arah Arja, Pembina itu malah mendapatkan anggukan kecil yang menyatakan bahwa Kirana jujur, tidak sedang berbual.
"Lalu jika aku memberimu konsekuensi, bukankah itu akan menganggu kegiatan belajarmu pagi ini?"
"Saya bisa melaksanakan konsekuensi itu saat jam istirhat berbunyi," sahut Kirana mantap.
"Jam istirahat?" ulang Pembina itu. "Tapi bagaimana mungkin, itu—"
"Biarkan saja, Pak." Arja berjalan maju mendekat ke Kirana dan Pria berkumis tebal itu.
Tatapan Arja jatuh pada Kirana, yang entah kenapa membuat Kirana merasa bahwa Arja tengah berusaha mengintimidasi dan mengunci pandangannya.
"Di sini ada dua opsi yang mungkin menjadi alasan Kirana begitu ingin mendapatkan hukuman atas apa yang telah ia perbuat. Pertama, dia ingin mempermalukan dirinya sendiri di depan umum; kedua dia ingin tebar pesona di hadapan semua siswa/siswi SMA Kasta."
***
BERSAMBUNG….