"Kamu mengatakan kalau mencintaiku, tapi kenapa kamu sering mengejekku?" ucap Winda dengan kesal.
Gibran hanya diam sambil menahan tawanya, perempuan di sampingnya begitu menggemaskan dan semakin cantik jika ia marah. Winda menatap Gibran yang berdiri dan berjalan menuju lemari, lalu pria itu melempar baju ke arah Winda. "Pakai itu?"
Winda terkejut melihat baju yang hitam yang kekurangan bahan itu. "Apa kamu sudah gila memberikan baju kekurangan bahan seperti ini?"
Gibran membuang napasnya dengan kasar, kemudian dia mengambil sweter dan memberikannya kepada Winda. "Mau pakai ini?"
"Iya." Winda menatap Gibran yang masih berdiri di depan lemari, pria itu terus menatap Winda dengan intens. Mana bisa Winda ganti baju jika ada Gibran di dalam kamar.
"Kenapa lihatin aku terus, aku sudah tahu kalau wajahku tampan. Sana ganti bajumu, kamu mau aku yang memakaikannya?"
"Ihh ... gak mau, kamu keluar dari kamar sana!" ucap Winda dengan kesal.
Gibran pun segera keluar dari kamarnya, kemudian menutup pintu kamarnya lagi. Winda akhirnya bisa bernapas dengan lega dan ganti baju dengan tenang. Winda kemudian memutuskan untuk mandi.
Perempuan cantik itu menatap pemandangan dari luar kaca itu dengan sedih. Air matanya pun tanpa disadari menetes, dia saat ini merindukan sosok pria yang dicintainya. Bagaimana keadaannya saat ini? Apakah Arga masih mencintainya? Winda tidak memahami kehidupan baru yang dialaminya.
Mendengar penjelasan Gibran, bahwa Winda adalah istrinya, membuat Winda semakin bersedih. Tidak menyangka bahwa dulu Winda menjadi seorang Ratu Vampir. Yang Winda inginkan sekarang hanyalah Arga, meskipun Arga memiliki istri baru lagi. Tapi Winda masih mencintai Arga.
"Mas Arga, aku merindukanmu. Aku ingin pulang dan memelukmu dengan erat. Maafkan aku yang ingin bunuh diri." Winda meneteskan air matanya. Tepat di belakang Winda, Gibran pun memperhatikannya.
Hati Gibran pun terasa tercabik-cabik melihat orang yang dicintai memilih mencintai orang lain. Gibran dapat menerima itu, sebab Winda masih hilang ingatan. Tapi, Gibran tidak tahu kapan ingatan itu akan kembali. Ingin sekali Gibran memeluk Winda dengan erat, beribu-ribu tahun Gibran sudah menahan rindu.
"Kamu mau kembali dengan Arga?" Pertanyaan dari Gibran membuat Winda dengan cepat menyeka air matanya. Lalu menoleh ke belakang, terlihat jelas ada kesedihan di matanya Gibran. Tapi pria itu mencoba menutupinya.
"Iya," lirih Winda.
"Berjanjilah denganku terlebih dahulu." Gibran berjalan mendekati Winda, kemudian duduk di sampingnya.
"Apa?" heran Winda.
"Berjanjilah untuk menjadi perempuan yang kuat, buktikan bahwa kamu pantas untuk dicintai bukan untuk dibuang." Winda menyadari bahwa selama ini dirinya begitu lemah, jika ada masalah Winda tidak bisa membela diri dan lebih memilih diam. Alih-alih Arga memahami diamnya Winda, justru Arga mencari yang lebih sempurna.
"Tapi ... aku mandul. Mas Arga, ingin punya anak," ucap Winda dengan sedih.
"Jangan sedih. Kamu harus bisa menghadapinya, yakinlah dengan dirimu sendiri. Jika ada yang membuatmu menderita, maka orang itu harus kamu lawan."
"Iya, terima kasih. Kamu sudah membantuku menjadi kuat, Raja Vampir," ucap Winda dengan tersenyum.
"Panggil saja namaku Gibran."
"Apa? Bear brand." Winda tidak begitu mendengar suara Gibran yang samar-samar itu.
"Kamu kira aku beruang. Namaku Gibran Altezza Reymond," ucap Gibran dengan jelas.
Winda terkekeh mendengar nama yang unik itu, melihat senyum di sudut bibirnya Winda, hati Gibran pun berdetak kencang.
"Saat aku menjadi Ratu, dulu aku memanggilmu apa?"
"Sayang," ucap Gibran tanpa merubah posisinya.
Winda seketika langsung terdiam, sudah berkali-kali Winda mencoba mengingat masa lalunya. Tapi Winda tidak menemukan titik terang.
"Besok saja ya, kamu pulangnya. Sekarang kamu istirahat. Selamat malam." Gibran tersenyum tipis dan segera keluar dari kamarnya.
***
Winda pun sudah bersiap untuk pulang. Perempuan cantik itu tidak lagi memiliki wajah buruk rupa, kini Winda memakai baju yang dia pakai saat pertama kali masuk di gua. Gibran dari depan pintu menatap Winda yang sedang menyisir rambutnya.
"Ayo, berangkat," ucap Winda dengan ceria sambil menatap Gibran.
"Hmm." Gibran pun berjalan keluar, Winda segera mengikutinya. Biasanya langkah Gibran sangat cepat, namun kali ini langkah Gibran sangat lambat. Bahkan Winda kini berjalan di depannya Gibran.
"Gibran, ayo yang cepat jalannya." Winda berdecak kesal melihat Gibran terlihat tidak semangat.
Wajar saja Gibran begitu, mana ada orang yang tidak sedih jika ditinggalkan orang yang dicintainya. Pria itu hanya tersenyum tipis, sekadar menutupi kesedihannya. Tibalah mereka kini berada di gua, sebelum Winda pergi dia menyempatkan menatap Gibran.
"Selamat tinggal, Gibran," ucap Winda dengan ceria sambil melambaikan tangannya.
Gibran hanya terdiam, pria itu sebenarnya tidak ingin melepaskan Winda, tapi membuat Winda tetap di sini sama saja membuat Winda tidak bahagia. "Sebentar, jangan pergi dulu."
"Kenapa?"
Gibran berjalan mendekati Winda, tanpa izin siapapun Gibran langsung memeluk Winda dengan erat. Betapa terkejutnya Winda saat ini, merasakan kehangatan dari pria misterius itu.
"Jangan bilang siapapun tentang Kerajaan Anvatazia, jika kamu membutuhkanku, masuk saja di gua lalu panggil namaku. Pasti aku akan datang," bisik Gibran.
Winda melepaskan pelukannya lalu menatap mata Gibran dalam-dalam. "Iya, kamu juga harus kuat. Cinta pasti akan menguatkanmu, tidak mungkin membuatmu lemah."
Gibran hanya mengangguk, Winda pun segera keluar dari kerajaan ini melalui gua. Sebelumnya Gibran sudah memberikan Winda pelindung di tubuhnya, agar hewan yang mematikan tidak melukai Winda. Cinta pun sudah hilang, Winda sudah hilang dari pandangannya Gibran.
***
"Wah cantiknya, glowing pula Mbak Winda. Habis operasi di mana, Mbak?" tanya Bu Darti tetangga rumahnya Winda.
"Rahasia, Bu." Winda pun melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki rumah. Terlihat rumahnya kini tertutup, Winda pun tidak sabar bertemu dengan Arga.
Tok tok tok
Tidak ada jawaban, Winda segera membuka pintu. Benar ternyata tidak ada orang di dalam. Entah kemana sekarang Arga dan istri keduanya itu. Winda pun mencoba untuk tetap tenang, kata Gibran Winda harus kuat. Kemudian Winda masuk ke dalam kamarnya.
"Mas, kamu istirahat dulu ya keadaanmu masih belum pulih. Aku pesanin grab food dulu." Lita kini menuntut Arga dengan hati-hati, sebab kesehatan Arga setelah di gigit ular masih sangat lemah. Arga baru saja pulang dari rumah sakit.
Pria malang itu terus saja bersedih, setelah Winda dinyatakan meninggal dunia. Arga duduk di sofa ruang tamu sambil menatap foto pernikahannya dengan Winda di dinding itu. Arga pun saat ini begitu merindukan Winda, selama ini Arga menyadari bahwa dia sudah menyia-nyiakan istri pertamanya itu.
"Aku mau tidur dulu, Lit." Arga berjalan pincang menuju kamarnya Winda.
"Loh, kenapa kamu ke kamarnya Mbak Winda, Mas? Kamu tidur di kamar kita saja."
"Mengertilah, Lit. Aku sangat rindu dengan Winda, setidaknya tidur di kamar Winda bisa menyembuhkan rasa rinduku ini."
Lita pun sangat kesal dan cemburu. "Untukmu apa, Mas! Mbak Winda itu mandul dia juga buruk rupa, ada aku disini yang jauh lebih sempurna daripada Mbak Winda."
"Jangan mengatakan hal buruk kepada Winda, dia juga istriku dan aku sangat mencintainya." Arga yang kesal itu segera mendekati pintu kamarnya Winda.
Klop pintu dengan pelan Arga buka, mata Arga tertuju pada perempuan berambut panjang yang nampak dari belakang. Jantung Arga pun berhenti berdetak, apakah itu hantunya Winda yang ada di kamar sekarang? Itulah yang membuat Arga bingung. Perempuan itu menoleh ke belakang dan tersenyum begitu cantik.
"Winda," ucap Arga dengan bergetar.