Langsung saja Gibran melepaskan pergelangan tangannya itu, kedua mata mereka saling menatap, ada rasa sakit dalam hati Gibran saat ini, Winda yang Gibran kenal sebagai Viska itu bukanlah miliknya.
"Maaf, tapi mengajakmu makan di restoran itu bukan masalah yang besar, kan?" Gibran masih menatap Winda dengan sayu.
"Emm ... tidak juga, sebentar aku akan izin dengan suamiku dulu."
Gibran mengangguk setuju, kini Winda mengirimkan pesan kepada suaminya itu. Winda pun langsung terkejut melihat isi pesan suaminya yang menyetujui Winda makan siang dengan pria lain.
"Ada yang tidak beres," batin Winda.
"Ayo." Lagi-lagi Gibran menarik paksa Winda untuk keluar dari ruangan ini.
Winda pun tertatih-tatih mengikuti Gibran, pria itu tersenyum penuh kemenangan dan menganggap suaminya Winda itu bodoh. Winda berdecak kesal, menyetujui pekerjaan sebagai sekertaris dengan Gibran, pasalnya Winda sama sekali tidak mengerti bahwa pemilik perusahaan itu adalah Gibran.
Saat di restoran, Winda pun hanya diam. Pria itu menatap mata Winda dalam-dalam. Dia mengerti bahwa Winda saat ini tidak nyaman berada di restoran dengan pria lain.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Gibran.
"Terserah kamu saja." Winda tanpa merubah posisinya, dia masih memeluk tasnya dengan erat.
"Oke, spaghetti bolognese dua dan orange jus 2." Gibran memberikan menu kepada pelayan di restoran ini.
"Baik, pesanan Anda akan segera jadi. Saya permisi dulu." Pelayan itu tersenyum begitu ramah dan sopan, lalu dia pun pergi.
Winda yang dari tadi menatap pemandangan di luar kaca, kini matanya menatap Gibran. "Kenapa kamu bisa ada di dunia manusia?"
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya kepadamu."
"Tapi, aku ingin tahu." Winda mulai emosi.
Gibran malah terkekeh, dia sangat gemas melihat wajah Winda yang mengemaskan jika marah. Tiba-tiba saja, Gibran teringat akan masa lalunya dulu, Winda yang tidak lain Viska itu selalu membuat Gibran tersenyum.
Dalam hati kecilnya Gibran menginginkan untuk memeluk Winda dengan erat dan mengatakan cinta yang sesungguhnya, tapi saat ini Gibran berusaha mati-matian menahannya. Pasalnya Gibran tahu, bahwa hati Winda saat ini masih ada Arga.
"Tidak penting untuk kamu tahu," ucap Gibran dengan datar, meskipun hatinya kini berdebar-debar.
"Ya sudah aku pulang saja." Winda yang kesal itu langsung beranjak dari tempat duduknya.
Gibran semakin terkekeh melihat Winda yang ngambek saat ini. "Hey, sebentar dong. Kamu kan belum makan." Gibran menahan tangannya Winda agar tidak pergi.
Winda mengehela napasnya dengan kasar, lalu menatap mata Gibran dengan malas. "Aku gak suka pria banyak rahasia."
"Iya, aku ceritain. Tapi kamu harus makan dulu, ini makanan sudah jadi."
Pelayan itu meletakkan spaghetti di atas meja, Winda segera menyantap makanan itu di mulutnya. Rasanya luar biasa enak, Gibran hanya diam tidak menyentuh makanan. Pria itu kini malah sibuk menatap Winda yang makan dengan belepotan.
"Berapa hari kamu gak makan?"
"Maksudmu apa? Aku kemarin makan kok." Gibran tersenyum menatap Winda seperti orang tidak makan tiga hari.
"Suamimu gak pernah ngajak kamu makan di restoran ini ya?"
Winda menghentikan makannya, lalu menatap Gibran dengan sedih. "Ngajak kok," bohong Winda.
Tiba-tiba saja, Gibran mengambil tisu dan segera mengusap soal spaghetti yang masih menempel di bibirnya Winda. Terkejut bukan main, Winda menatap Gibran dengan heran.
"Kayak anak kecil saja, makan tuh yang benar."
"KURANG AJAR, BERANINYA KAMU MENDEKATI ISTRIKU, HAH!" Arga tiba-tiba datang dan mencengkeram kuat kerah bajunya Gibran.
Gibran sama sekali tidak takut, dia malah terlihat santai dan tersenyum.
"Kau cari mati, hah?" bentak Arga.
Winda kini ketakutan melihat kemarahan suaminya itu, sungguh di luar dugaan mengapa Arga bisa datang ke sini. Hal itu membuat Winda bingung, kini Winda memengang lengannya Arga.
"Mas, jangan ribut di restoran ini."
Gibran menepis tangannya Winda dengan kasar, lalu menatap mata Winda dengan tajam. "Istri kurang ajar kamu, Win. Beraninya kamu jalan dengan pria lain!"
Winda sangat bingung, bisa-bisanya Arga menuduh Winda yang bukan-bukan, pasalnya tadi Arga menyetujui Winda untuk makan di restoran dengan bosnya itu. Lantas kini, Agra sangat marah besar.
"Tapi aku tadi sudah izin kamu, Mas," ucap Winda dengan bibir gemetar.
"Sejak kapan aku memberikanmu izin? Ayo pulang sekarang juga!"
Sebelum mengajak Winda pulang, Arga pun menatap Gibran dengan tajam.
Bhuk
Arga mengerutkan keningnya, dia tidak percaya pukulan di perutnya Gibran tidak berhasil membuat Gibran kesakitan. Pria itu kembali memukul perut Gibran lagi, namun Gibran justru tersenyum.
"Sialan kamu." Arga menarik paksa Winda untuk keluar dari restoran ini.
Semua orang terkejut dan saling menatap ke arah Gibran dan Arga. Lelaki vampir itu hanya diam saat melihat orang yang dicintainya itu pergi.
"Sudah jelas kamu tidak bahagia menikah dengan pria itu, kenapa kamu masih mempertahankannya Winda," batin Gibran.
"Sialan kamu, Win. Istri gak guna!" bentak Arga mengendarai mobil dengan kecepatan sangat tinggi.
Pria itu sangat marah besar, rasa cemburunya pun meluap-luap. Winda pun ketakutan saat ini, mobil yang ditumpangi kini secepat kilat. Hati Arga pun sakit melihat pria lain mengusap bibir istrinya dengan tisu.
"Maafkan, aku Mas," lirih Winda.
"Apa katamu maaf, hah? Aku kamu lupa, bahwa dirimu itu sudah punya suami," bentak Arga.
"Aku sudah minta izin darimu, dan kamu mengizinkannya."
Brak
Arga memukul stir mobilnya dengan keras lalu segera menepikan mobilnya di pinggir jalan. "Aku sama sekali nggak pernah memberikanmu izin," ucap Arga dengan penekanan.
Winda mengeluarkan ponselnya dan menujukan isi pesannya itu. "Ini buktinya."
Arga berdecak kesal, dan menatap isi pesan itu dengan heran, pasalnya dia sama sekali tidak membalas pesan itu. Namun siapa yang membalas pesan itu. Saat di restoran, kebetulan Arga bertemu dengan rekan bisnisnya dan tidak sengaja melihat istrinya berduan dengan pria lain.
"Dengarkan aku, Win. Aku sama sekali gak balas pesanmu itu."
"Loh, lalu siapa, Mas." Winda pun mulai panik
"Bodoh amat, aku gak peduli, yang aku tahu bahwa istriku sudah selingkuh dengan pria lain."
"Kenapa kamu bilang seperti itu, Mas. Aku mengira bahwa kamu yang membalas pesanku. Aku tidak mungkin selingkuh darimu."
"Kamu harus dihukum, agar kamu mengerti tentang arti kesetiaan."
Winda menatap Arga dengan tajam. "Kesetiaan katamu? Apa kamu sendiri paham apa itu setia, sedangkan kamu itu sudah mengkhianatiku dengan menikahi Lita, apa dirimu itu lantas disebut setia."
Arga pun berpikir keras dan mencoba introspeksi diri, namun kemarahan dengan istri pertamanya itu masih terus menggelora. "Harusnya kamu yang sadar diri, Win. Kamu tidak bisa memberiku anak."
Winda meremas gamisnya dengan erat, bulir panas pun sejak dari tadi dia bendung kini menetes. Arga tidak peduli dengan kesedihan istrinya itu. Kini pria itu segera menyalakan mobil dan kembali mengendarai mobil itu dengan cepat.
"Kamu harus dihukum, Winda," ucap Arga.
"Hukum mati pun aku tidak peduli, Mas. Kamu selalu saja egois."