"Winda, jangan dimakan ayam goreng itu." Arga mulai panik dan segera berdiri untuk melihat keadaan istri keduanya itu.
"Lita, kamu baik-baik saja kan?" Arga berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menatap Lita yang masih memuntahkan isi makanannya.
"Pasti Mbak Winda, Mas. Yang memberikan kecoa itu di makananku."
"Kenapa kamu bisa menuduh Winda yang melakukannya?"
"Karena Mbak Winda cemburu, Mas." Lita membersihkan mulutnya dengan menyikat gigi, Arga tidak memahami Lita. Pria itu hanya berpikir bahwa makanannya ada kecoa karena restoran itu tidak mengutamakan kebersihan.
Arga segera menelepon pihak restoran dan melaporkan agar lebih memperhatikan masakan yang higienis. Pria itu mengandeng tangannya Lita untuk keluar dari kamar mandi dan mengajaknya duduk di ruang tamu.
Lita menatap tajam ke arah Winda yang terlihat biasa-biasa saja. "Kamu mau ngeracunin aku gak gini juga caranya, Mbak," bentak Lita.
"Loh maksudnya apa kamu nuduh aku, mana mungkin aku yang memberikan kecoa itu. Mas Arga yang pertama kali membawakan makanan itu."
Lita menatap ke arah Arga yang terlihat bingung, lagi dan lagi kedua istrinya bertengkar. Arga menghela napasnya dengan kasar kemudian menatap Winda. "Jujurlah, kamu yang sudah memberikan kecoa itu di makanannya Lita kan?"
Sungguh tidak menyangka Arga menuduh Winda pelakunya, padahal Winda sama sekali tidak mengerti siapa yang sebenarnya yang melakukan. Winda pun berdecak kesal. "Buktinya mana, Mas kalau aku pelakunya?"
Pria itu hanya diam, memang tidak ada bukti yang kuat. Mati-matian Winda menahan rasa kesalnya dengan suaminya itu, lalu dia pergi ke dalam kamar. Winda tidak memperdulikan suaminya itu, dia kini sibuk mengurusi jualannya.
Keesokan harinya Arga dan Lita membawa koper, mereka terlihat rapi. Arga pun berjalan mendekati Winda yang masih marah kepadanya, perempuan itu masih sibuk di dapur membuat kue. Arga tiba-tiba memeluk Winda dari belakang, ingin sekali rasanya menangis, hati Winda pun terasa berkeping-keping.
"Kamu masih marah denganku, hmm?" Arga mengecup pipi kanannya Winda.
"Tidak," ucap Winda dengan senyuman tipis.
Arga membalikkan tubuhnya Winda agar berhadapan dengannya, namun Winda hanya diam. "Hadap sini, Winda sayang."
"Kenapa?" lirih Winda.
"Maaf sayang, kemarin aku menuduhmu."
"Hmm." Winda terus sibuk dengan masakannya, meskipun air matanya hampir menetes, tapi Winda berjanji untuk menjadi perempuan tanguh.
"Kamu beneran gak mau ikut aku dan Lita ke Paris."
Bagai disambar petir hati Winda sangat hancur, impian dari dulu ingin ke Paris kini telah digantikan oleh Lita. Mana mungkin Winda ikut suaminya bersama dengan istri keduanya, itu hanya akan membuat Winda sakit hati.
"Gak, Mas."
"Kamu tidak mengatakan selamat tinggal, mungkin hari Minggu aku sudah pulang." Arga mengelus rambut hitamnya Winda dengan sayang.
"Hati-hati, maaf aku tidak bisa memberikanmu anak."
"Akhirnya kamu sadar juga, Mbak. Sudah Mas ayo kita berangkat, ngapain kamu peduli dengan perempuan mandul itu." Lita yang tiba-tiba datang langsung menarik tangannya Arga.
"Lita, jaga bicaramu. Winda juga istriku," ucap Arga dengan tatapan tajam.
Lita menyilang kedua tangannya di depan sambil memutar bola matanya malas. "Ayo, Mas kita berangkat. Nanti ketinggalan pesawat."
"Tunggu aku di mobil, aku mau pamit sama Winda dulu!"
Lita segera pergi ke mobil, kemudian Arga membalikkan tubuhnya Winda dengan paksa. Kini, Arga dapat melihat jelas raut wajahnya Winda yang terlihat kesal. Sebelum Arga pergi, ingin sekali dirinya melihat senyum istri pertamanya yang cantik itu. "Senyumnya mana, Mas mau lihat."
Winda tersenyum tapi sangat tipis, Arga terkekeh melihat senyum terpaksa itu. Pria itu langsung memeluk Winda dengan erat, sebenarnya Arga juga tidak ingin meninggalkan Winda sendirian di rumah. Tapi mau bagaimana lagi, Lita juga ingin ke Paris.
Winda tidak membalas pelukan suaminya itu, dia hanya diam. Arga melepaskan pelukannya sambil menatap mata Winda yang terlihat kosong.
"Kamu berani di rumah sendiri, sayang?"
"Berani, cepat kamu berangkat, Mas."
"Jaga diri baik-baik ya sayang, jangan hilang lagi." Arga mengelus pipi kanannya Winda, kemudian sekilas mengecup bibirnya.
"Iya, Mas."
Arga tersenyum, lalu segera pergi meninggalkan Winda. Perempuan itu langsung menjatuhkan air matanya, saat melihat punggung suaminya yang mulai menjauh itu.
"Tidak menyangka, kamu masih terus mementingkan istri keduamu, Mas," batin Winda.
***
"Mas, kamu kenapa?" Lita menatap heran ke arah Arga yang kini sedang melamun.
Arga hanya diam sambil menatap pemandangan Kota Paris yang benar-benar indah. Lita berdecak kesal, selama liburan Arga tidak fokus liburan di Paris, dia terlihat seperti banyak pikiran.
"Kamu mikirin Mbak Winda, Mas?" Lita menatap Arga dengan kesal.
Arga tersenyum lalu meraih tangannya Lita agar duduk di sampingnya. Lita langsung saja bersandar di bahunya Arga. "Tidak sayang, aku memikirkan kapan kita punya anak."
"Kamu tenang saja, Mas. Sebentar lagi aku pasti akan hamil dan kamu akan menjadi seorang ayah," ucap Lita dengan ceria.
"Terima kasih sudah mau menyempurnakan hidupku, Lita."
"Sama-sama, Mas. Tapi sebenarnya aku gak suka jika ada Mbak Winda di rumah."
"Lalu kamu mau Winda tinggal di mana?" heran Arga.
"Kamu usir dan ceraikan saja, Mas. Dia kan tidak bisa memberikanmu anak, ngapain istri kayak gitu dipertahanin."
"Aku masih mencintainya, Lit."
Setelah berada di Paris selama satu Minggu, kini Arga dan Lita waktunya kembali di Indonesia. Arga tidak sabar bertemu dengan Winda, dia sangat merindukan istri pertamanya itu. Lita berdecak kesal melihat Arga yang berlari-lari seperti anak kecil.
"Lita, ayo jalannya yang cepat dong."
"Ngapain sih, Mas buru-buru." Lita memutar bola matanya malas.
Kini tibalah Arga dan Lita di rumah, Arga segera memakirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah. "Winda sayang ... aku pulang."
Suara Arga tidak mendapatkan respon dari istri pertamanya itu, lalu Arga semakin panik dan berlari menuju ruang keluarga. Betapa terkejutnya Arga melihat Winda yang kini tertidur pulas di sofa, Arga berjalan mendekatinya.
Pria tampan itu mengelus lembut rambutnya Winda, seminggu tidak bertemu istri pertamanya itu, rasanya hidup Arga sangat hampa. Padahal Arga ditemani istri keduanya, pria itu memang aneh dan tidak bisa tegas dengan perasaan. Arga sendiri kadang menyadari dirinya begitu sayang dengan Winda, namun di satu sisi Arga sering berlaku tidak adil.
Pria itu mengendong tubuh Winda ke dalam kamar. Lita melihat itu hanya bisa diam sambil menahan rasa kesalnya. Arga meletakkan tubuh Winda di kasur, pria itu tidak bosan menatap wajah cantiknya Winda.
"Sayang ... bangun, aku sudah pulang. Kamu gak kangen sama suamimu, hmm?" Tidak lama kemudian Winda membuka matanya dan terkejut melihat pria tampan yang sedang tersenyum itu.
"Mas, tinggalkan aku sendirian. Aku ngantuk ingin istirahat." Winda menutupi wajahnya dengan selimut.
Arga mengerutkan keningnya tidak percaya, biasanya Winda akan senang dan memeluknya. Namun kini sifat Winda tidak seperti dulu, apa yang sebenarnya terjadi? Rasa kesal seketika menyelimuti diri Arga, pria itu menarik paksa selimutnya Winda.
"Kalau ada suaminya pulang, sambut dengan baik! Kamu mau jadi istri durhaka, hah," bentak Arga.