"Kalau ada suaminya pulang, sambut dengan baik! Kamu mau jadi istri durhaka, hah," bentak Arga.
"Tidak begitu, Mas ... aku hari ini tidak enak badan." Winda kembali menutupi tubuhnya dengan selimut.
Pria itu mengepalkan kedua tangannya, pupil mata cokelat Arga terlihat penuh amarah. Arga tidak terima dengan kelakuan Winda saat ini, dia merasa menjadi suami yang tidak dihargai keberadaan. Sungguh pria itu sangat egois, padahal Winda benar-benar sakit.
"Gak usah banyak alasan, kamu marah kan denganku, Win. Cobalah jangan bertingkah seperti anak kecil, sebelum aku pergi ke Paris dengan Lita, kamu sudah kuajak. Tapi kamu gak mau ikut. Kini mengapa kamu marah, hah!"
Winda memejamkan mata, kepalanya terasa berputar-putar, amarah dari suaminya itu membuat Winda membuka matanya dan menatap Arga dengan sayu. "Aku beneran sakit, Mas."
Plak
"Gak usah bohong kamu! Saat aku di Paris. Kamu ngapain saja di rumah. JAWAB JUJUR!" Arga mencengkeram kuat bahunya Winda dan matanya kini menatap tajam.
Perempuan itu kebingungan mengapa suaminya tiba-tiba marah, Winda pun mencoba untuk tetap tenang. "Aku sibuk mengurusi bisnisku, Mas."
"Berhentilah bekerja, aku akan membakar semua jualan brownismu itu, jika kamu tidak bisa menghargai posisiku sebagai suami, Win!"
Pria itu memang aneh, terkadang dia begitu sayang, terkadang dia begitu jahat. Winda mencoba menahan air mata, dadanya kini sesak, bernapas pun rasanya sulit. Kepergian Arga dengan istri keduanya itu membuat Winda bersedih, tapi Arga tidak pernah mengerti perasaannya Winda.
"Maaf, Mas. Aku malas bertengkar hari ini," lirih Winda.
"DASAR ISTRI SIALAN!" bentak Arga.
Plak
Tamparan keras keras berhasil mengenai pipi mulusnya Winda, perih dan panas yang Winda rasakan saat ini. Hari demi hari Arga tidak seperti Winda kenal dulu, perempuan malang itu mencoba menatap suaminya dengan berkaca-kaca.
"Ada ada denganmu, Mas? Kamu yang kukenal sebagai pria yang baik dan penyayang, sekarang siapa pria yang ada di depanku saat ini?" Winda menjatuhkan air matanya saat menatap Arga yang masih diam dengan tatapan tajam.
"Apa kamu tidak lagi mencintaiku? Iya, benar ... aku memang tidak pantas untuk kamu cintai, aku tidak bisa memberikanmu anak. Tapi, aku sangat sayang denganmu, Mas." Bibir Winda bergetar, terus-menerus air matanya keluar membasahi pipi.
Rasa sakit di pipi kirinya itu masih terasa, Arga yang Winda anggap sebagai pangeran dalam hatinya, kini menjadi monster yang mengerikan. Banyak perubahan yang terjadi pada diri Arga setelah mengenal istri keduanya, Lita.
"Kenapa kamu diam saja, Mas. Jawab pertanyaanku, kamu tidak lagi mencintaiku, kan?" Winda tersenyum disertai air mata yang terus berderai.
Pria itu masih terdiam menatap wajah pucat istrinya itu, sungguh Winda sangat kecewa dengan Arga. Melihat air matanya Winda, Arga baru menyadari bahwa hati istrinya itu benar-benar hancur. Arga pun duduk di sampingnya Winda.
Pria itu meraih tangan kanannya Winda dan menggenggamnya dengan erat, terlihat jelas di pipi kanannya Winda masih ada bekas tamparan. Perlakuan Arga dengan Winda sangatlah kasar, pria itu menarik pelan tubuhnya Winda ke dalam pelukan.
"Tinggalkan aku sendiri," lirih Winda.
Arga memengang pipi kanannya Winda, tapi perempuan itu segera menghindar. "Apa tamparanku menyakitimu?"
"Tidak, Mas. Tapi sifatmu yang membuatku terluka."
Brak
Arga dan Winda terkejut melihat Lita yang telah membuka paksa pintu kamarnya Winda, istri keduanya Arga itu terlihat bahagia. Lita berjalan mendekati Arga dan duduk dipangkuan.
"Ketuk pintu dulu kalau masuk kamar orang," kesal Arga.
"Sayang, aku punya kabar bahagia untukmu," ucap Lita dengan ceria. "Tapi kamu harus tutup mata dulu."
"Lit, ayo keluar dulu, jangan di kamarnya Winda."
"Gak Mas, di sini saja. Biar Mbak Winda tahu aku memberikanmu kejutan. Kamu gak masalah kan, Mbak Winda jika aku di kamarmu," ucap Lita dengan tatapan sinis.
Winda hanya memutar bola matanya malas, setiap hari Lita selalu membuat dia kesal. Entah apa yang perempuan itu inginkan saat ini.
"Tutup mata dulu, Mas."
Arga langsung menutup matanya, sangat berbeda sekali Arga memperlakukan Lita dengan Winda. Satu perintah saja dari Lita, langsung Arga lakukan, berbeda dengan Winda. Dia harus merasakan sakit hati dan menanggis baru Arga mengerti.
Winda mengeluarkan benda kecil dari kantung plastik dan menunjukkan tepat di mata Arga. "Buka matamu, Mas."
Arga membuka matanya dan tersenyum menatap tespek yang menujukan dua garis merah, Arga pun sangat senang dan langsung memeluk Lita dengan erat.
"Beneran kamu hamil, Lit?" ucap Arga dengan histeris.
"Iya, Mas."
"Terima kasih sayang, kamu memang istriku yang paling kucintai."
Bagai di tusuk ribuan pisau, hati Winda mendengarnya terasa hancur berkeping-keping. Winda sudah tidak kuat lagi melihat pemandangan yang ada di depannya saat ini. Suami yang paling dicintai itu sebentar lagi akan menjadi ayah dari wanita lain, lantas posisi Winda saat ini ada di mana.
Cinta dari Arga tidak lagi Winda rasakan lagi, Arga masih memeluk Lita dengan erat, tidak terasa air matanya Winda menetes. Arga melepaskan pelukannya dengan Lita dan kembali menatap Winda.
"Winda, kamu lihat Lita hamil. Itu artinya sebentar lagi, aku akan menjadi seorang ayah." Pria itu terlihat bahagia dan menatap perutnya Lita yang masih datar.
Arga mendekati wajahnya di depan perutnya Lita. "Halo anak papa, kamu jangan buat ibumu susah. Papa gak sabar pengen banget ketemu kamu."
Lita mengelus perutnya sambil terkekeh mendengar suaminya itu, mereka terlihat bahagia, tapi tidak dengan Winda. Kehancuran yang ada di depannya saat ini.
"Ayo, Mas kita keluar dari kamar sini. Aku sangat senang, Mas bisa memberikanmu anak, tidak seperti istri pertamamu itu." Lagi-lagi Lita menatap Winda dengan sinis.
"Sudah, ayo keluar." Arga mengandeng tangannya Lita keluar.
Pergi begitu saja, tanpa memperdulikan perasaan istri pertama. Seperti itulah Arga, pria yang egois dan sifatnya sering berubah-ubah seperti bunglon. Winda segera menutup pintu kamarnya lagi.
***
Tok tok tok
"Permisi ...."
"Iya, ada perlu apa?" Arga menatap heran pria berkulit hitam dan tinggi itu. Pria itu tersenyum menampakan gigi putihnya, Arga tidak tahu siapa pria itu.
"Perkenalkan Tuan, namaku Denis. Saya dengar Tuan butuh tukang kebun, ya? Kehadiranku di sini untuk bekerja di rumah Tuan."
"Iya, silakan masuk dulu. Saya akan menjelaskan apa saja yang perlu kamu bersihkan dan merawat kebunku."
Denis masuk ke dalam rumah dan segera duduk di sofa empuk. Arga segera masuk ke dalam dan mencari keberadaan para istrinya, tidak mungkin Arga menyuruh Winda, sebab dia masih sakit hati. Senyum Arga pun mengembang saat melihat Lita yang sedang menonton TV.
"Lita sayang, tolong kamu bikin kopi untuk tukang kebun."
"Sekarang, Mas?"
"Tahun depan, iya sekarang lah, Lita. Ayo ya cepat." Arga segera kembali ke ruang tamu.
Lita berdecak kesal, sebenarnya istri kedua Arga itu sangatlah pemalas, hampir setiap hari dia hanya berleha-leha dan tidak pernah memasak. Tangan nanti kotor adalah alasan Lita yang berhasil membuat Arga terbodohi. Namun, kali ini Lita membuat kopi dengan terpaksa.
Setelah membuat kopi hitam, Lita kini membawanya ke ruang tamu. Perempuan itu tersenyum dengan cantik dan memakai baju daster tapi terkesan elegan, motif dasternya tidak kampungan, sehingga membuatnya terlihat mewah.
Prak
Lita menjatuhkan kopi hitam itu di lantai, matanya kini terkejut saat melihat pria hitam yang tak lain adalah Denis. Arga terkejut melihat Lita yang menjatuhkan kopi itu di lantai, namun Denis terlihat begitu santai sambil tersenyum menampakan gigi putihnya itu.
"Denis, mengapa dia ada di sini?" batin Winda.