Pria yang memakai kaos hitam itu kini sedang menikmati secangkir kopi sambil menatap punggung istri pertamanya. Arga menghela napasnya melihat pagi-pagi Winda sudah sibuk dengan pekerjaan.
Biasanya Arga selalu ditemani Winda saat minum secangkir kopi, namun kali ini tidak. Winda pun menoleh ke belakang, lalu tersenyum tipis. "Kamu gak ke kantor, Mas?"
"Tidak, Winda. Aku ingin di rumah dulu."
"Selamat pagi sayang ...." teriak Lita yang datang tiba-tiba lalu duduk di pangkuannya Arga.
Pelakor itu sungguh mengusik pagi yang cerah ini, baju yang dipakai Lita pun juga kekurangan bahan. Lita memang seperti itu selalu menggoda Arga dan membuat Winda cemburu.
"Pagi, kamu belum sarapan?" Arga mengelus rambut istri keduanya itu yang sedikit berantakan.
"Belum, aku gak mau sarapan tanpa kamu. Aku mau kamu suapin, Mas." Lita berlagak seperti anak kecil, ingin sekali Winda saat ini melempar tepuk di wajahnya Lita. Tapi mati-matian Winda menahan dirinya.
"Winda, kamu bikin sarapan apa?" Winda mengernyitkan dahinya menatap suaminya itu.
"Loh, kok aku terus yang masak, Mas. Lita juga seharusnya bikin sarapan, istri macam apa itu gak bisa masak," sindir Winda dengan santai.
"Gak mau, nanti tanganku kotor." Lita menatap Winda dengan sinis.
"Ya udah gak usah makan, gitu aja ribet." Winda kembali sibuk membuat kue brownis.
"Mas Arga, Mbak Winda kok gitu sih. Harusnya dia ngertiin aku lah, kalau memang aku gak bisa masak."
"Aku istri pertamanya Mas Arga, kamu kira aku pembantu yang seenaknya bisa kamu suruh-suruh. Masak itu mudah tinggal lihat resep di google, kamu saja yang pemalas," ucap Winda penuh penekanan.
Arga pun memijit pelipisnya yang sedikit pusing itu, pagi-pagi sudah mendengar kedua istrinya bertengkar rasanya Arga ingin kabur saja. "Sudah-sudah, kalian jangan ribut terus, malu didengar tetangga. Winda untuk hari ini saja, kamu yang masak ya. Lita juga kamu ajari memasak, biar dia bisa."
"Wah, itu gak adil dong, Mas." Winda tertawa renyah, suaminya itu terus saja tidak berlaku adil.
Lita mengulurkan lidahnya untuk mengejek Winda, istri keduanya Arga masih berada di pangkuannya sambil bersandar di dada bidangnya Arga. Melihat keromantisan mereka berdua, mata Winda pun terasa sakit.
"Aku sekarang bekerja, Mas. Sebaiknya kamu cari pembantu saja."
"Mas Arga, aku lapar perutku bunyi-bunyi dari tadi," rengek Lita seperti anak kecil.
"Udah gini aja, Mas akan pesankan grab food untuk kalian, sudah jangan bertengkar lagi."
Arga sangat kesal itu menyuruh Lita turun dari pangkuannya lalu berjalan menuju ruang tamu. Pelakor menyebalkan itu juga mengikuti Arga, ibarat mereka seperti anak ayam dengan induknya. Winda menghela napasnya dengan berat, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Akhirnya sudah jadi," ucap Winda dengan ceria.
"Aku mau coba, Mbak." Lita pun yang tiba-tiba datang langsung saja mengambil brownis itu dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Padahal brownis itu masih panas, mulut Lita kini terasa kebakaran, Winda terkekeh melihat kebodohan di depannya. Lita ingin makan brownis itu karena tidak tahan, perut kosong.
"Aduh ... panas." Lita mengipasi mulutnya dengan telapak tangannya.
"Pelan-pelan, Lit itu masih panas," ucap Arga yang tiba-tiba muncul.
"Istri keduamu memang bodoh, Mas," ejek Winda dengan santai.
Lita menatap tajam Winda, sungguh perempuan itu tidak terima diejek bodoh. Padahal kenyataannya iya, Lita mencoba menahan emosinya dan segera memasukkan brownis itu ke dalam mulutnya.
"Sudah bodoh jadi pelakor lagi." Winda menatap Lita dengan sinis.
"Huwek ... makanan apa ini gak enak banget, iihh ... jijik. Rasanya aneh." Lita menginjak-injaknya brownis itu di depannya Arga dan Winda.
Mereka berdua terkejut bukan main, tidak mungkin rasanya tidak enak, padahal Winda pintar memasak. Winda kembali terlihat santai meskipun rasanya ingin marah.
"Mas Arga, kamu gak mau coba." Winda menawarkan brownis itu kepada Arga, namun pria itu malah menatapnya dengan aneh, dan tidak yakin jika brownis buatan Winda enak.
"Jangan, Mas. Rasanya gak enak. Nanti perutmu sakit." Lita pun mencoba mempengaruhi suaminya itu.
"Maaf, Win. Lain kali saja ya."
"Iya." Winda sangat kecewa dengan suaminya itu, lagi-lagi dia lebih percaya dengan istri keduanya. Tapi Winda tidak peduli akan itu, dia kini pergi ke taman belakang rumah untuk memotret brownis buatannya.
Winda tersenyum melihat hasil jepretannya yang terlihat enak, kini Winda pun mencoba mempromosikannya di media sosial. Tidak lama kemudian, banyak sekali DM yang masuk dan ingin memesannya. Terpaksa Winda harus buat brownis yang banyak.
Lita berdecak kesal melihat banyak komentar yang memesan brownisnya Winda di media sosial. Kini jiwa-jiwa licik Lita menggelora dan akan membuat dagangan Winda tidak laku.
Saat Winda di kamar mandi, Lita mengendap-endap masuk ke dapur dan memasukkan kecoa yang sudah mati ke dalam brownisnya Winda yang sudah dikemas. Winda pun berhasil memergoki Lita, namun kini Winda bersembunyi dan menunggu Lita pergi dari dapur.
"Rasain tuh, Mbak Winda. Sebentar lagi jualanmu gak laku." Lita pergi meninggalkan dapur, kemudian Winda segera membuka kemasan brownisnya dan terkejut melihat tiga kecoa yang sudah mati. Padahal brownis itu akan dikirim kepada pembeli.
"Paket Grap food," teriak Pak Kurir yang mengantarkan pesanan.
"Terima kasih, Pak. ini uangnya." Arga memberikan uang itu kepada Pak Kurir. Kemudian dia masuk ke dalam rumah lagi.
"Para istri-istriku yang cantik, ayo kita sarapan bersama, makanannya sudah sampai," teriak Arga.
Tidak lama kemudian, kedua istrinya Arga datang. Mereka berdua kini duduk di sampingnya Arga, Winda duduk di sebelah kanan, dan Lita duduk di sebelah kiri. Arga berada di tengah-tengah, sungguh nikmat mana yang engkau dustakan, memiliki dua istri yang cantik, tapi bikin darah tinggi.
"Wah ... aku hamburger, Mas." Lita mengambil hamburger kesukaannya, sedangkan Winda dan Arga memilih ayam goreng.
"Bagaimana Win, enak kan rasanya?" Arga tersenyum menatap istri pertamanya yang mengigit ayam goreng.
"Biasa aja sih, Mas." Winda tersenyum meneduhkan.
Arga terkekeh mendengarnya, padahal makanan itu dipesan di restoran bintang lima. "Enakan masakan kamu, sayang," puji Arga.
"Kamu bisa aja, kenapa gak makan, Mas?" tanya Winda menatap Arga yang dari tadi tersenyum.
"Suapin lah." Winda tersenyum tipis, memang suaminya sangat manja. Namun saat wajahnya Winda buruk rupa, Arga sama sekali tidak pernah manja, namun kini Winda kembali bahagia, suaminya kembali seperti dulu lagi. Winda dengan sayang menyuapi suaminya itu.
Lita melihatnya hanya memutar bola matanya malas, sebab yang paling penting perutnya dari tadi kelaparan. Dengan tergesa-gesa, Lita membuka bungkus burger itu dan segera memasukkan ke dalam mulutnya.
"Dibuka yang benar, Lit. Itu burgernya masih ada kertasnya," ucap Arga.
"Iya-iya, Mas." Lita makan dengan cepat, saat dia mengunyah burger itu rasanya ada yang aneh, tidak seperti biasanya. Lita mencoba memastikan lagi dan mengigit burger, namun rasanya semakin tidak enak. Lita mencium aroma burger itu yang tidak sedap.
Karena penasaran, Lita pun membuka isi burgernya. Sungguh terkejut bukan main, saat melihat isi burgernya ada kecoa, Lita langsung muntah dan membuang burger itu di lantai. Arga dan Winda ikut terkejut melihat tiga kecoa yang berlarian di lantai, kecoa dalam burger itu ternyata masih hidup.
"Mas Arga, burgernya ada kecoanya." Lita berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi makanan yang ada di perutnya.
"Kenapa bisa ada kecoa?" batin Winda dan Arga, mereka saling menatap dengan heran.