Tidak lama kemudian, Winda pun membuka pelan matanya. Ruangan yang minim akan cahaya itu membuat Winda ketakutan. Hanya beberapa lilin yang memberikan penerangan di dalam ruangan ini, tepat di depan Winda ada pria tampan yang sedang menatapnya dengan tajam. "Siapa kamu?"
Terlihat pria misterius itu memiringkan senyumnya dan membuat jantung Winda berdetak lebih kencang. Pria misterius itu adalah Gibran, dia segera berdiri kemudian berjalan mendekati Winda.
Pria itu terus menatap Winda dengan tajam, pupil mata Gibran berubah menjadi hitam pekat. Winda pun mencengkeram kuat selimut sampai kusut, sambil menatap Gibran yang kini duduk di sampingnya.
Gibran memberikan cermin yang berbentuk bulat dan dilapisi ukiran emas yang indah, Winda pun hanya terdiam dengan tubuh yang gemetaran. "Lihatlah wajahmu dalam cermin ini!" ucap Gibran dengan lantang.
Winda pun hanya terdiam dan matanya kini fokus menatap ruangan kamar yang minim akan pencahayaan itu, Gibran berdecak kesal melihat Winda yang kebingungan saat ini. Winda hanya teringat terakhir dirinya berada dalam gua dan hendak melakukan bunuh diri, tapi Winda pun bingung kenapa dirinya bisa berada di tempat ini.
"Kamu siapa? Aku ada di mana sekarang? Apakah ini ada di alam kubur? Jangan-jangan kamu malaikat yang akan memberiku pertanyaan, ya?" Winda menatap Gibran dalam-dalam.
Gibran masih terdiam tanpa merubah posisinya. "Cewek bodoh," ejek Gibran.
"Hah ... apa katamu barusan, aku bodoh. Asal kamu tahu ya, saat aku kuliah IPK ku selalu dapat 40.00, semua mata kuliahku mendapatkan nilai A, dan aku lulusan cumlaude," ucap Winda dengan menggebu-gebu.
Gibran tidak berubah posisinya, tatapannya pun masih tajam. "Tetap saja kamu bodoh."
"Kamu ... beraninya bilang aku bodoh." Winda menunjukkan jari telunjuknya tepat di depan wajahnya Gibran. Pria itu hanya menghela napasnya dengan gusar.
Tangan Gibran tiba-tiba menggenggam jari telunjuknya Winda. "Kamu mau apa, hah?" tanya Gibran dengan tatapan tajam.
"Sampai kamu berani macam-macam denganku, aku akan menelepon polisi." Winda melepaskan genggamannya Gibran dengan kasar.
Gibran memiringkan senyum di sudut bibirnya. "Polisi tidak bisa menembus tempat ini."
"Tempat apa ini ? Sebenarnya aku ini masih hidup atau sudah mati," teriak Winda dengan panik.
"Kecilkan suaramu itu, benar-benar membuat telingaku sakit."
"Bodoh amat, aku mau pergi dari tempat ini." Winda segera beranjak dari tempat tidurnya lalu berlari keluar dari kamar ini. Gibran berdecak kesal dan langsung mengejar Winda.
Winda berlari sangat kencang melewati lorong yang gelap. Hanya cahaya rembulan yang menyinari lorong ini, kini Winda kebingungan tidak menemukan pintu keluar. Gibran masih terus berjalan dengan santai di belakang, Winda menoleh ke belakang dan dapat melihat raut wajahnya Gibran terlihat kesal.
"Kenapa pria misterius itu masih mengikutiku," batin Winda.
Brak
Winda pun terjatuh di lantai setelah menabrak seorang pria tua yang memakai baju serba hitam, terlihat kulit wajahnya keriput dan ditumbuhi jengot berwarna putih. Pria tua itu mengulurkan tangannya untuk membantu Winda berdiri, lalu Winda pun menerima bantuan itu.
"Maafkan saya, Pak tidak sengaja menabrak Anda," ucap Winda dengan sopan.
"Yang Mulia Ratu Viska, kamu sudah kembali?" Pria tua itu bernama Pimark tersenyum bahagia.
"Hah, Ratu Viska?" Winda pun mengerutkan keningnya sambil menatap Pimark dengan bingung. Jantung Winda pun seketika berhenti berdetak, sebab ada tangan yang kini menempel di bahunya Winda. Dengan pelan, Winda memberanikan dirinya menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Winda saat ini, menatap Gibran yang terlihat seperti ingin membunuh seseorang.
"Salam Yang Mulia Raja." Pimark menundukkan kepalanya dengan sopan, Gibran hanya tersenyum tipis dan langsung merangkul bahunya Winda. "Pimark, aku sudah berhasil menemukan Viska."
"Iya Raja, bagaimana kabar Ratu Viska?" Pimark tersenyum menatap Winda, namun Winda hanya terdiam kebingungan.
"Namaku kan Winda, bukan Viska," batin Winda.
"Kabarnya baik, Mark. Hanya saja dia sedikit gila," ucap Gibran dengan tatapan tajam ke arah Winda.
"Siapa yang gila? Aku." Winda menunjukkan jari telunjuknya ke arah dirinya sendiri. Gibran memutar bola matanya dengan malas. "Agak lemot juga," ucap Gibran dengan santai.
"Sialan, kamu bilang aku lemot. Kamu itu orang sinting gak jelas lagi." Emosi Winda pun meluap-luap, lalu dengan kasar menyingkirkan tangannya Gibran yang kini menempel di bahunya Winda.
"Ikut aku." Gibran tiba-tiba menggenggam tangannya Winda erat dan mereka berdua berjalan dengan cepat menelusuri lorong. Winda pun kesulitan mengikuti langkah Gibran yang sangat cepat itu.
"Kamu mau mengajakku ke mana?" Winda menatap Gibran dengan kesal.
"Berisik."
Dua pelayan perempuan kini menundukkan kepalanya, terlihat pelayan itu sangat pucat dan memiliki warna kulit yang putih. Salah satu pelayan itu membuka ruangan, Gibran dan Winda segera masuk ke dalam ruangan itu.
"Pelayan, tugas kalian harus membuat Ratu Viska menjadi cantik. Sebentar lagi akan ada acara makan malam dengan seluruh anggota keluarga kerajaan. Aku tidak mau Ratu Viska terlihat kucel di depan banyak orang," ucap Gibran dengan tegas kepada dua pelayan itu.
"Baik yang mulia."
"Acara apa? Aku gak mau," teriak Winda sambil menatap kepergian Gibran. Ruangan itu pun langsung tertutup. Winda tidak bisa keluar dari ruangan ini, kedua pelayan itu mengandeng tangannya Winda masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak ada yang bisa Winda lakukan, Winda pun menuruti kemauan pria misterius itu. Setelah kedua pelayan itu melakukan tugasnya dengan baik, kini Winda sudah menjadi cantik. Gaun hitam yang terlihat cocok di tubuh Winda membuat siapa pun pasti takjub. Apalagi hiasan pita hitam yang ada di rambutnya Winda semakin membuatnya cantik.
"Ratu sangat cantik," puji salah satu pelayan itu.
"Tidak, wajahku ini buruk rupa." Winda tersenyum kecil dan tidak percaya akan pujian para pelayan itu.
Brak
Pintu ruangan itu terbuka lebar, Winda terkejut menatap ke arah pintu. Terlihat di depan pintu ada Gibran yang memakai jas hitam berkelas, terlihat begitu tampan dan mempesona.
Gibran kini menatap Winda dengan tajam. Winda pun berdecak kesal lalu memutar bola matanya malas. "Ngapain sih orang gila ini datang ke sini"
"Pergi kalian!" perintah Gibran kepada kedua pelayan itu, kemudian pelayan itu langsung keluar.
Gibran menutup pintu ruangan itu dan berjalan santai mendekati Winda. Langkah kaki Gibran yang semakin dekat itu membuat Winda sedikit ketakutan. Sebenarnya apa yang diinginkan pria misterius ini? Winda hanya terdiam menatap kegelapan yang mengerikan di luar kaca. Gibran pun duduk di sampingnya Winda, dari bawah sampai atas Gibran menatap kecantikannya Winda.
Winda merasakan kalau pria yang ada di sampingnya itu sedang memperhatikannya, lalu Winda segera menoleh ke samping. "Apa lihat-lihat," bentak Winda.
"Kok masih jelek sih." Gibran menatap Winda dengan tatapan tajam, mendengar hinaan itu Winda mengerucutkan bibirnya dan terlihat ada kesedihan di matanya. Gibran pun memiringkan senyumnya lalu mengajak Winda berdiri di depan cermin.
"Lihatlah dirimu dalam cermin itu." Gibran berdiri tepat di belakangnya Winda. Tapi, Winda tidak mau menatap cermin itu, Winda lebih memilih menundukkan kepalanya.
Tangan Gibran dengan berani memengang dagunya Winda untuk melihat dirinya di depan cermin. Mau tidak mau Winda menatap cermin.
"Wajahku kembali menjadi cantik, kenapa bisa?" Winda terkejut bukan main setelah melihat wajah buruk rupa itu menjadi cantik seperti dulu. Mata Winda pun berbinar-binar dan tersenyum bahagia, Gibran hanya terdiam sambil menahan tawanya.
"Aku yang merubahmu menjadi cantik kembali, ayo kita keluar semua anggota keluarga sudah berkumpul." Gibran segera mengandeng tangannya Winda dan pergi menuju ruang keluarga. Mati-matian Winda melepaskan tautan itu, tapi percuma saja. Gibran mengandeng tangannya Winda sangat kuat.
Kini, Winda terkejut melihat meja makan yang sudah banyak orang, anehnya keluarga Gibran hanya terdiam dan semua orang di sini menatap ke arah Winda. Suasana di ruang makan sangat hening, padahal ada sekitar 6 orang yang berada di sini. Tidak ada lampu hanya beberapa lilin yang menerangi meja makan itu. Semua orang di sini memakai baju serba hitam dan memiliki warna kulit yang putih.
Winda pun melepaskan tautannya dengan Gibran, lalu duduk di sampingnya Gibran. Perempuan yang berparas cantik, namun sudah tua itu menatap Winda dengan senyum yang aneh. "Ratu Viska, bagaimana kabarmu?"
Winda hanya terdiam kebingungan, Gibran menyenggol lengannya Winda untuk segera menjawab pertanyaan itu. "Jawab," bisik Gibran.
"Kabarku baik," ucap Winda gelagapan.
Perempuan tua itu bernama Zayn, ibu ratu Kerajaan Anvatazia. Seorang perempuan yang mematikan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Zayn menuangkan cairan merah ke dalam gelas, lalu segera meneguknya.
Winda membulatkan matanya, dan bertanya-tanya apa yang diminum perempuan itu, seketika aroma darah pun tercium jelas. Winda menatap heran keluarga yang aneh ini.
Winda tidak betah berada dalam suasana ini, lalu Winda berdiri dari tempat duduknya dan menatap satu persatu semua. "Siapa kalian sebenarnya?"