Arga dengan pelan membuka mata, kepalanya saat ini begitu pusing dan kaki yang baru saja digigit ular masih terasa sakit. Ruangan yang didominasi cat warna putih dan banyak alat-alat medis yang melekat pada tubuh Arga, membuat pria itu kebingungan saat ini.
"Sayang, kamu sudah sadar." Lita sangat senang dan langsung memeluk Arga dengan erat. Arga hanya diam, dirinya masih diliputi kebingungan.
"Kenapa aku ada disini? Winda mana, Lit?" Arga melepaskan pelukannya Lita lalu menatap mata Lita dalam-dalam.
"Mbak Winda ...." Lita tidak menyelesaikan pembicaraannya.
"Bicaralah dengan jelas!" bentak Arga, dengan menggoyangkan bahunya Lita.
"Mbak Winda, tidak ditemukan, Mas. Polisi sudah mencarinya tapi tidak ketemu. Sudah, Mas biarkan saja. Yang penting kondisimu saat ini."
"Tidak, aku gak mau kehilangan Winda." Arga langsung melepaskan infus yang ada di tangannya, kemudian Arga berlari meninggalkan rumah sakit.
"Mas, Arga kamu mau kemana? Kamu masih sakit, Mas," teriak Lita yang berusaha mengejar Arga.
Arga tidak memperdulikan Lita dan kondisinya yang masih lemah. Aneh sekali padahal Arga dan Winda masuk ke dalam gua bersama, tapi kenapa Winda tidak berhasil ditemukan. Hari pun sudah malam, Arga terus berlari menuju pantai. Jarak rumah sakit dengan pantai sangat dekat, hingga tidak lama Arga sampai ke pantai dan menuju gua mematikan itu.
Terlihat saat ini, banyak polisi yang mengawasi gua itu dan berusaha mencari keberadaannya Winda. Arga langsung saja menerobos masuk ke dalam gua, para polisi langsung menahan Arga agar tidak masuk ke dalam gua.
"Pak, jangan masuk. Gua itu berbahaya, tim kami sudah masuk ke dalam dan masih mencari keberadaan istri Anda." Polisi memengang tangan Arga dengan erat, Arga pun terus merontah-rontah untuk lepas.
"Aku mau menyelamatkan istriku, Pak. Lepaskan aku sekarang juga," bentak Arga dengan tatapan tajam.
"Mas, kendalikan dirimu. Biarkan polisi mencari Mbak Winda, ayo kita kembali ke rumah sakit." Lita menarik pelan pergelangan tangannya Arga, dengan kasar Arga melepaskannya. "Aku tidak mau kehilangan, Winda. Aku sangat mencintai dia, Lit."
Terlihat di mata Arga ada rasa kesedihan yang besar, baru kali ini Arga merasakan sakit hati yang sangat dalam. Percuma saja Arga memaksakan dirinya masuk ke dalam gua, polisi pun melarangnya. Kini, Arga dengan langkah yang lambat berjalan menelusuri pantai, Lita dengan setia mengikuti suaminya itu.
Arga membiarkan angin malam mengenai tubuhnya, angin yang begitu dingin itu membuat Arga rindu akan pelukan Winda, tubuh Arga seketika terjatuh di atas pasir, pria itu menatap gua dengan berkaca-kaca.
Arga merasa dirinya gagal menjadi suami yang baik, keegoisannya membuat Arga kehilangan sosok yang selama ini dia cintai. Hati Arga pun terasa hancur berkeping-keping, kehilangan Winda menyandarkan Arga bahwa Winda menyayanginya begitu tulus, tapi Arga hanya menyia-nyiakan istrinya itu dengan berpaling hati.
Air mata Arga pun menetes, sungguh Arga tidak menyangka jika Winda akan pergi secepat ini. Pria malang itu menyeka air mata sambil menatap ombak pantai. Arga teringat akan janjinya dulu, janji akan selalu setia dan menerima Winda apa adanya. Tapi, Arga mengingkari janji itu dan tidak memperdulikan perasaan Winda.
"Maafkan aku, Winda. Kamu pasti akan kembali kan? Aku di sini menunggumu, kamu tidak boleh jadi istri durhaka, pokoknya kamu harus kembali, Win." Arga pun kembali menjatuhkan air matanya, pria malang itu benar-benar terluka.
"Kamu tidak boleh menghukum suamimu seperti ini, katamu akan selamanya mencintaiku. Jadi, kamu gak boleh pergi." Arga menyeka air matanya lalu menatap Lita yang ada di sampingnya. "Lit, Winda akan kembali kan? Dia tidak pergi kan, Lit?"
"Aku tidak tahu, Mas. Semoga Mbak Winda berhasil ditemukan." Lita mencoba memeluk tubuhnya Arga, tapi Arga segera menepisnya. "Tinggalkan aku sendiri, Lit. Aku ingin menunggu Winda," ucap Arga dengan berkaca-kaca.
"Lapor, Pak. Kami menemukan petunjuk di dalam gua. Kami menemukan ada darah yang sangat banyak, tapi kami tidak menemukan jasadnya Mbak Winda," ucap salah satu polisi yang baru saja keluar dari gua.
"Tidak mungkin, Winda pasti akan kembali. Kalian saja yang tidak becus mencari istriku. Biarkan aku saja yang mencarinya." Arga segera berdiri dan berlari memasuki gua itu lagi, emosi Arga saat ini tidak bisa dikendalikan. Polisi pun kewalahan saat mengendalikan Arga.
Arga pun tidak percaya dengan informasi yang diberikan polisi barusan, tekad Arga pun kuat. Ia mengambil senter milik polisi dan berlari masuk ke dalam gua mematikan itu.
Polisi dari belakang juga ikut untuk melindungi Arga, sangat jauh Arga masuk ke dalam gua itu. Arga tidak peduli dengan kakinya tanpa memakai alas kaki, saat memasuki gua yang banyak akan duri. Arga terus berjalan menahan rasa sakit begitu pun dengan hatinya.
Gua yang lembab dan gelap tidak membuat Arga takut, senter yang digunakan Arga menyoroti ke arah darah kental. Hingga Arga terkejut melihat darah yang banyak. Seketika jantung Arga berhenti berdetak, bernapas pun rasanya sesak. Hingga tidak terasa Arga menjatuhkan air matanya.
Arga menggelengkan kepalanya menatap darah yang sangat banyak itu. "Tidak mungkin ... Winda gak mungkin pergi. Winda ... kamu ada di mana? Kamu sudah berjanji akan baik-baik saja, jangan membuatku menderita seperti ini, Win. Aku mencintaimu, jangan pergi," teriak Arga.
Mata Arga pun fokus dengan gelang emas yang terjatuh di tanah, Arga langsung mengambil gelang itu. Hati Arga pun semakin sakit saat melihat gelang itu adalah milik Winda. Arga mengingat gelang itu adalah kado ulang tahunnya Winda. Ingatan Arga pun kembali di masa lalu, saat Arga memberikan gelang emas itu.
"Sayang, coba tutup matamu aku ingin memberikan sesuatu untukmu," ucap Arga dengan tersenyum.
Winda segera menutup matanya, Arga pun mengeluarkan gelang emas dan menunjukkannya tepat di depan mata Winda. "Sekarang buka matamu."
Winda membuka matanya dan terkejut melihat gelang emas yang sangat indah itu. "Ini untukku, Mas?"
"Iya, selamat ulang tahun sayang." Arga memakaikan gelang itu, terlihat Winda tersenyum bahagia. Setelah gelang itu terpakai indah di tangan Winda, Arga pun segera mengecup punggung tangannya Winda. "Aku mencintaimu, sayang." Arga kemudian memeluk Winda dengan erat.
"Terima kasih, Mas. Aku akan menjaga gelang ini dengan baik seperti aku menjaga cintamu," ucap Winda dengan bahagia.
Arga menggenggam gelang itu dengan erat, gelang emas itu terlihat kotor dan berlumuran darah. Pria itu masih berdiam menatap darah yang sangat banyak itu, ucapan yang pernah dikatakan Winda dulu membuat hati Arga terluka. "Kamu bilang akan menjaga gelang ini, seperti menjaga cintamu kepadaku. Nyatanya kamu tidak bisa menjaganya." Tubuh Arga tiba-tiba melemah, pria itu belum sepenuhnya sembuh. Polisi langsung membawa Arga yang kini pingsan.
Suara langkah kaki memasuki lebih dalam gua mematikan itu, tidak ada yang berani masuk ke dalam gua itu lebih dalam.
Pria yang memakai baju serba hitam, berwajah pucat dan memiliki wajah sangat tampan, kini terus melangkahkan kakinya masuk ke dalam gua lebih jauh lagi, sorot mata yang tajam dan pemilik rahang yang keras itu, kini tiba di sebuah kerajaan yang mengerikan. Gua mematikan itu adalah jalan menuju kerajaan Avantazia, tidak ada manusia yang bisa menemukan kerajaan ini.
Pria itu bernama Gibran Altezza Reymond, semua orang memberikan salam saat Gibran masuk ke dalam kerajaan. Gibran telah tiba di kamarnya dan segera membaringkan tubuhnya Winda di atas kasur yang mewah. Pria tampan itu memilih duduk sambil memperhatikan Winda yang masih memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian, Winda pun membuka pelan matanya. Ruangan yang minim akan cahaya itu membuat Winda ketakutan. Hanya beberapa lilin yang memberikan penerangan di dalam ruangan ini, tepat di depannya Winda dapat melihat jelas pria tampan yang sedang menatapnya dengan tajam. "Siapa kamu?"