"Keluar kalian dari kamarku sekarang," ucap Winda dengan menahan air matanya agar tidak tumpah. Istri mana yang kuat melihat suami tercintanya itu sedang dipeluk wanita lain, hati Winda pun rasanya teriris pisau saat ini.
Lita memeluk Arga dengan manja, Arga berjalan mendekati Winda dan langsung menggenggam tangannya Winda dengan erat. Kali ini Arga ingin menjelaskan bahwa dirinya sudah menikah dengan Lita. Winda tidak berani menatap suaminya itu, mati-matian bulir panas di mata Winda kini dia tahan. Arga dapat mengerti perasaannya Winda yang terluka, tapi Arga juga butuh dihargai menjadi kepala rumah tangga dan ingin mempunyai seorang anak.
"Winda, dengarkan aku baik-baik. Sebelumnya maafkan aku, sungguh aku sama sekali tidak ingin menyakiti perasaanmu, daripada aku dan Lita selingkuh di belakangmu, lebih baiknya aku dan Lita menikah. Aku juga ingin menjadi ayah, Win. Jadilah istri yang mengerti keadaan suami."
Penjelasan suaminya itu benar-benar membuat Winda kesal, janji pernikahan yang diucapkan dulu hanyalah palsu, padahal dulu Arga berjanji akan menerima segala kekurangan dan tetap setia dengan Winda, tapi itu hanyalah omong kosong.
Winda menatap mata suaminya dalam-dalam, Arga dapat melihat kekecewaan yang sangat besar di matanya Winda. "Seharusnya kamu izin dulu, Mas jika akan menikah lagi. Kamu benar-benar egois." Air matanya Winda pun akhirnya menetes, baru kali ini Arga membuat istrinya menangis. Hati Arga pun bergetar dan diliputi rasa bersalah yang besar.
Winda hendak masuk ke dalam kamarnya, tapi pintu kamarnya kini rusak. Winda menghela napasnya dengan kasar dan Winda tetap masuk ke dalam kamar. Arga segera memanggil tukang kayu untuk memperbaiki pintu kamarnya Winda. Setelah pintu kamarnya sudah diperbaiki, Winda langsung menutup pintu kamarnya lagi.
Di dalam kamar, Winda menangis sepuasnya. Hatinya masih terasa sakit. Apalagi saat melihat Lita, istri barunya Arga. Winda tahu selama ini, Arga diam-diam menjalani hubungan dengan sekretarisnya itu, tanpa sepengetahuan Arga, Winda menghadiri proses pernikahan suaminya dengan Lita.
Saat itu, pernikahan Arga dihadiri orang-orang penting dan diadakan di gedung bintang lima. Winda secara langsung menyaksikan sendiri suaminya mengucapkan ijab qobul, rasanya Winda ingin pingsan di tempat, begitu pun dengan hati Winda yang hancur.
"Kamu sangat tega, Mas," batin Winda yang berlari meninggalkan gedung pernikahan ini.
Lalu Winda berjalan sendiri dan memilih duduk di taman. Winda menelusuri tempat yang dulu dengan Arga habiskan waktu bersama. Winda masih teringat di gazebo itu, Arga menyatakan cinta dan memberikan cincin berlian. Tapi kini, hanya kesedihan yang mendalam.
Winda pun memilih untuk pulang ke apartemen dan sangat terkejut melihat suaminya sedang berpelukan di dalam kamar. Sungguh saat ini, hati Winda sangat hancur berkeping-keping. Arga sama sekali tidak mengerti perasaannya Winda.
Malam hari pun tiba, Lita memengang perutnya yang terasa lapar itu. "Mas, aku lapar. Ayo kita makan."
"Ayo sayang kita ke dapur, pasti Winda sudah membuat masakan untuk kita makan." Arga dan Lita segera keluar dari kamarnya dan melihat Winda yang sedang cuci piring.
"Win, kamu masak apa?" tanya Arga, Winda segera menoleh ke belakang lalu menatap sekilas ke arah Lita yang memeluk Arga dengan manja.
"Kamu kan punya istri baru, Mas. Kukira kamu ingin mencoba masakan istri barumu itu, jadi aku gak masak." Winda langsung pergi meninggalkan mereka berdua, baru kali ini Winda tidak memasak makanan untuk Arga.
"Loh, Mas ... gimana aku gak bisa masak," ucap Lita dengan sedih.
Arga mengerutkan keningnya dan mencoba menarik napasnya dalam-dalam. "Kita pesan grap food saja ya." Lita pun mengaguk setuju.
Setelah grap food datang, Arga dan Lita segera menikmati ayam goreng. Arga kembali menatap kamarnya Winda yang masih tertutup itu, pria tampan itu hanya menghela napasnya dengan berat. Winda kini keluar dari kamarnya, Arga tersenyum sambil menepuk kursi yang ada di sampingnya, berharap Winda duduk di sampingnya Arga.
Lita yang asik makan ayam goreng terkejut melihat wajah buruk rupanya Winda. "Mas, aku jijik lihat wajah Mbak Winda, rasanya aku mau muntah," bisik Lita.
"Husst, jangan gitu. Hargai istri pertamaku, Lit," lirih Arga.
Winda pun berjalan mendekati Arga, kemudian duduk di sampingnya Arga. Pria tampan itu sangat bahagia, sebab di samping kanan dan kirinya ditemani dua wanita yang sangat mencintainya. "Kamu sudah gak marah lagi, sayang?" Arga menggenggam tangannya Winda dengan erat.
Winda menggelengkan kepalanya dan menatap Lita yang makan ayam goreng itu tanpa melihat ke arah Winda. Arga mengelus rambutnya Winda dengan lembut, sungguh hati Winda terasa begitu hancur. Winda pun menghentikan tangannya Arga.
"Kenapa?" tanya Arga dengan selidik.
"Aku mau pergi tidur, Mas." Winda segera berdiri dari tempat duduknya, tapi Arga memengang pergelangan tangannya Winda agar tidak pergi. "Malam ini aku akan tidur denganmu, Winda."
"Tidak, Mas. Kamu tidur saja dengan Lita." Winda melepaskan genggamannya Arga.
Arga berdecak kesal, sungguh istri pertamanya ini tidak bisa menghargai Arga sebagai kepala rumah tangga. "Kamu jangan bantah perintah suami, mau jadi istri durhaka, hah," bentak Arga dengan tatapan tajam.
"Mbak Winda harusnya sadar diri dong, Mas Arga masih tetap menerimamu sebagai istri, meskipun wajahmu jelek dan mandul lagi," ucap Lita dengan tatapan sinis.
Bukannya Winda menolak perintah Arga, tapi hati Winda masih sangat terluka. Selama 10 Tahun pernikahan, Winda baru pertama kalinya mendengar Arga membentaknya. Sudah tidak tahan lagi, Winda pun menjatuhkan air mata dan berlari menuju kamarnya.
"Dasar istri gak tahu diri, harusnya dia bersyukur tidak kujadikan janda," ucap Arga dengan kesal.
"Sabar sayang, aku bersyukur kok punya suami kayak kamu." Lita mengelus bahunya Arga dengan lembut, lalu menyadarkan kepalanya di dada bidangnya Arga.
Arga mengecup keningnya Lita. "Terima kasih, Lit. Kamu memang istriku yang paling pengertian tidak seperti Winda."
Keesokan paginya Arga mengusap wajahnya dengan gusar saat melihat di meja tidak ada makanan apapun. Lita berjalan mendekati suaminya yang terdiam saat ini.
"Loh, Mas. Mbak Winda gak bikin sarapan?"
Arga menggelengkan kepalanya, pria itu semakin kesal melihat tingkah Winda yang membuat darah tinggi itu. Dengan cepat Arga berjalan menuju kamarnya Winda.
Tok tok tok
"Winda, buka kamarmu cepat ... mau aku rusakin lagi pintu kamarmu," bentak Arga.
Ceklek
Tidak lama kemudian, Winda membukakan pintu kamarnya dan menatap suaminya yang terlihat sangat kesal itu. "Kenapa kamu gak masak? Itu sudah tugasmu menjadi istri," ucap Arga dengan tatapan tajam.
"Kok aku, Mas. Lita juga istrimu harusnya dia membuatkan sarapan untukmu. Kamu tidak boleh pilih kasih."
"Jangan asal ngomong, ya. Aku juga membantu Mas Arga bekerja di kantor, bagianmu itu masak di dapur." Lita memeluk lengannya Arga dengan manja.
"Sudah cukup, kalian jangan bertengkar. Benar yang dikatakan Lita, Win. Lita sudah membantuku di kantor dan bagianmu yang mengurus pekerjaan rumah."
Lita tersenyum penuh kemenangan, Winda menatap Lita dengan tajam. Sungguh Arga tidak bisa adil dengan kedua istrinya. "Kamu sebaiknya memanggil pembantu saja, Mas."
"Untuk apa ... itu hanya membuang uangku. Aku sudah punya kamu, Win. Ayo cepat bikinin aku sarapan."
Percuma saja Winda membela dirinya, Arga sudah tidak peduli dengan perasaan Winda saat ini. Dengan rasa kesalnya itu, Winda pun berjalan menuju dapur dan membuatkan sarapan. Setelah sarapan matang, keluarga kecil itu menikmati sarapan bersama. Arga dengan lahap makan nasi gorengnya Winda, begitupun dengan Lita. Tapi, Winda hanya terdiam sambil menatap makanannya.
"Kenapa gak dimakan?" tanya Arga dengan tatapan selidik.
"Mas, aku ingin pergi berlibur." Winda menatap mata Arga dalam-dalam.
"Ohh iya ... sekalian berlibur dengan Lita untuk honeymoon, kamu ingin berlibur dimana, Win?" tanya Arga dengan tersenyum.
"Aku tidak ingin berlibur denganmu dan Lita. Aku hanya ingin berlibur sendirian."
"Sendirian?" Arga terkejut mendengarnya, baru kali ini Winda meminta izin untuk berlibur sendirian. Lita dan Arga kini saling menatap penuh kebingungan.