"Mas, apa wajahku sangat buruk?"
Arga belum mengetahui wajah Winda saat ini, sebab perban masih menutupi wajahnya Winda. Arga duduk di samping istrinya itu, terlihat perban Winda sedikit basah karena air mata.
"Kamu tetap cantik di mataku." Arga membawa Winda ke dalam pelukannya, Winda pun dapat menangis sepuasnya.
Saat ini Arga sangat kesal, dengan orang yang berani menyiram istrinya dengan air keras. Arga juga tidak tahu siapa yang berani melakukannya dan Arga akan mencari siapa pelakunya. Winda masih terus menangis, Arga pun terus mencoba menenangkan istrinya saat ini.
***
Setelah beberapa hari wajah Winda diperban, kini waktunya dokter untuk membuka perbannya. Dokter dengan pelan membuka satu demi satu perban, hingga tersisa satu helai perban yang masih melekat. Dokter pun segera membukanya, Arga terkejut melihat wajah istrinya saat ini.
Kecantikan istrinya kini sudah sirna, Arga miris melihat istrinya yang buruk rupa, wajahnya dulu mulus dan glowing, kini menjadi hitam dan kasar. Arga menghela napasnya dengan kasar, apapun itu Arga akan mencoba mencintai dan menerima istrinya.
"Mas, bagaimana kondisi wajahku?" Winda menatap Arga dengan berkaca-kaca, Arga hanya tersenyum agar Winda tidak bersedih.
"Cantik sayang," bohong Arga.
"Aku malu, Mas dengan wajahku yang seperti ini." Lagi dan lagi Winda menjatuhkan air mata kesedihannya itu, Arga hanya terdiam sambil menghela napasnya dengan gusar.
"Ayo, kita pulang." Arga mengandeng istrinya untuk keluar dari puskesmas, tidak lama kemudian sopir pribadinya Arga kini sudah datang.
Arga dan Winda segera masuk ke dalam mobil, Pak Herman sopir pribadinya Arga terkejut saat menatap Winda.
"Astaghfirullah," ucap Pak Herman dengan memengang dadanya.
Winda hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya ke bawah. Arga menatap Pak Herman dengan tajam, bisa-bisanya Pak Herman berani terkejut melihat wajah buruk istri majikannya.
"Mau aku pecat, hah?" ancam Arga dengan tatapan tajam. Mendengar ancaman itu, Pak Herman susah payah menelan ludahnya, kini tubuh Pak Herman bergetar ketakutan, dirinya menyesal tidak bisa menahan rasa terkejutnya itu.
"Maafkan saya Tuan dan Nyonya, saya tidak sengaja," lirih Pak Herman.
"Cepat jalan!" bentak Arga.
Sepanjang perjalanan Winda hanya terdiam sambil meratapi nasibnya, sia-sia saja Arga mengajak Winda berbicara, tetap saja Winda masih terus bersedih. Winda pun bersandar di bahunya Arga dan melihat pemandangan puncak dari luar kaca mobil.
Setelah perjalanan panjang, mereka kini sampai di apartemen. Arga segera memasangkan kerudung panjang untuk menutupi wajah buruk istrinya saat ini. Winda menuruti kemauan suaminya itu, sungguh sangat malu jika semua orang mengetahui wajah buruknya Winda.
Winda segera keluar dari mobil, tiba-tiba saja angin kencang membuat kerudung Winda terlepas. Arga dengan cepat mengambil kerudung itu, tapi kerudung itu masih terus terbang.
"Akhh ... ada monster," teriak anak kecil yang berlari terbirit-birit setelah melihat wajah buruknya Winda.
Winda segera berlari masuk ke dalam apartemen, betapa malunya Winda saat ini. Winda yang dikenal semua orang sebagai perempuan tercantik, kini sudah tidak lagi. Air matanya Winda kembali membasahi pipi, Arga masuk ke dalam apartemen dan menatap istrinya yang tengah bersedih.
"Sudah, Win. Jangan sedih lagi. Aku akan pergi ke kantor polisi untuk mencari siapa pelakunya. Kamu jangan keluar dan tetaplah memakai kerudung ini."
Winda menghela napasnya dengan berat, hatinya pun sakit. "Mas, apakah kamu malu jika punya istri yang buruk rupa?"
Arga terkejut mendengar pertanyaan itu, lalu Arga seketika terdiam sambil menatap istrinya. "Tidak malu kok." Arga segera berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi ke kantor polisi.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Arga pergi untuk melihat siapa yang datang saat ini, Winda pun segera menutupi wajahnya dengan memakai kerudung panjang.
Ceklek
Rasanya jantung Arga berhenti berdetak sementara, saat melihat ibu kandungnya berdiri di depan pintu. Tidak habis pikir, bagaimana jika ibu kandungnya, Bu Maya tahu kalau menantunya kini wajahnya buruk rupa.
"Nak, bagaimana kondisimu? Aku mendengar kamu habis kecelakaan." Bu Maya langsung masuk ke dalam apartemen, Arga semakin panik saat melihat ibunya duduk di sampingnya Winda.
Arga memberikan kode agar Winda masuk ke dalam kamar, Winda pun mengerti maksud suaminya itu lalu segera berdiri. Tapi, sayangnya Bu Maya memengang pergelangan tangannya Winda.
"Kamu mau kemana? Tumben banget pakai kerudung." Bu Maya menarik tangannya Winda untuk tetap duduk di sampingnya. Bu Maya terheran saat menatap Winda yang menyembunyikan wajah buruknya di balik kerudung itu.
Mati-matian Winda menyembunyikan wajahnya, tapi tiba-tiba saja Bu Maya menarik paksa kerudungnya Winda, hingga kerudung panjang itu terlepas. Bu Maya membulatkan matanya dan sangat terkejut melihat menantunya seperti monster.
"Akhhh ... Wajahmu jelek sekali, menjijikkan. Kamu Winda kan? Arga apa benar perempuan ini Winda?" Bu Mira segera menjauhkan dirinya dari Winda.
Arga menghela napasnya dengan gusar, mau bagaimana lagi percuma saja ditutupi, ibunya pasti akan mengetahuinya juga. "Iya, itu Winda. Ada orang yang tidak dikenal menyiram wajah Winda menggunakan air keras."
"Arga, apa kamu gak malu punya istri jelek? Aku sangat kasihan melihatmu menikah dengan perempuan ini, sudah mandul sekarang wajahnya jelek lagi."
Mendengar itu, hati Winda rasanya tercabik-cabik. Dari dulu Bu Maya memang tidak menyukai Winda, karena Winda tidak bisa memberikan seorang cucu. Winda hanya terdiam tanpa disadari air matanya pun menetes.
"Sudah, ibu mau pulang saja. Jijik aku lihat istrimu." Bu Maya langsung pergi meninggalkan apartemen ini.
Arga menatap kepergian ibunya lalu kembali menatap istrinya yang sedang menangis. "Win, aku pergi ke kantor polisi dulu." Arga langsung keluar dari apartemen, melihat suaminya pergi hati Winda rasanya sakit, mengapa seperti ada jarak dengan suaminya.
***
Jam kini menujukan pukul 11 malam, sejak tadi pagi Arga masih belum pulang. Winda pun dengan sabar menunggu suaminya di ruang tamu, sudah berkali-kali Winda menelpon suaminya itu, tapi Arga tidak menjawabnya. Perasaan resah semakin menjadi-jadi.
"Mas Arga, kamu dimana?" batin Winda.
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat Winda segera berdiri dari tempat duduknya, lalu Winda tersenyum menatap suaminya yang terlihat lelah. Arga hanya tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya untuk Winda kecup.
"Kenapa baru pulang, Mas? Kamu kemana saja? Apakah kamu sudah melaporkan kejadian itu ke polisi?" Winda memberikan pertanyaan sangat banyak dan membuat Arga kebingungan.
"Aku capek, Win. Besok saja kujelasin." Arga berjalan cepat menuju kamarnya, lalu Winda segera mengikuti suaminya itu.
"Mas, kamu harus makan malam dulu. Aku sudah masakin makanan kesukaanmu." Winda memengang pergelangan tangannya Arga, dengan pelan Arga melepaskannya.
"Aku sudah makan tadi. Kamu makan sendiri saja, aku capek mau tidur." Arga menatap sekilas Winda lalu masuk ke dalam kamarnya.
Winda menghela napasnya dengan berat lalu pergi ke dapur. Winda kini, menikmati makan malamnya sendiri, baru kali ini suaminya pulang malam, tapi Winda tetap berpikir positif dengan Arga. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Winda masuk ke dalam kamar dan mendapati suaminya yang sudah tertidur pulas.
Winda duduk di sampingnya Arga, tiba-tiba saja Winda merindukan suaminya yang perhatian. Mata Winda teralihkan ke arah ponselnya Arga yang bergetar di meja. Karena penasaran, Winda segera mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang mengirim pesan malam-malam.
"Selamat malam, apa kamu sudah tidur Tuan?" Winda mengerutkan keningnya saat membaca isi pesan dari Lita.