Lalu, anak lelaki itu pun pindah, usianya membuatnya lebih dan masa lalunya membuatnya tertutup. Ia memberontak pada apa? Tidak ada peraturan Ayah yang mengekangnya, tidak ada nasihat Ibu yang berusaha membantunya. Bibinya membiarkannya tinggal di sana, hanya jika Rey berjanji akan diam di kamar setiap arisan diadakan di rumah itu.
Rey mengelus Pororo. Mereka mengeong meminta makanan dan susu. Tidak seperti anjing, mereka tidak mengenal kesetiaan. Mereka hanya terpaut kenikmatan sekarang, pada orang yang bisa memberikan mereka kenikmatan itu. Sisanya, mereka tidak peduli. Jika Rey tiba-tiba memutuskan untuk lompat dari atap apartemennya dan bunuh diri, Pororo tidak akan keberatan di jaga orang lain, asal mereka bisa memberikannya makanan dan susu. Rey yakin akan hal itu, tapi ia tetap mengelus Pororo. Ia mirip dengan Pororo.
Siapa pun yang memberinya makanan dan rumah, itu tidak masalah, asal ia bisa hidup. Tapi kini Rey bertanya-tanya mengapa ia hidup dan tidak di bawa ayahnya ikut terjun dari tebing saja.
Rey menghela napas.
Jika ia membiarkan Kazura masuk sedikit lebih dalam, apa yang akan terjadi? Mungkin ia akan membiarkannya membuat kue stroberi yang beracun, membuatkannya meatball aneh berisi keju. Ia akan membantunya membereskan rumah, mendengar setiap gerutunya atas puntung rokok dan kaleng bir.
Ia berkata akan mengubah Kazura, tetapi jika ia membayangkannya, mungkin yang akan terjadi adalah sebaliknya. Itu lah mengapa ia berhenti dan memberitahu Kazura segalanya. Ia takut senjatanya akan makan tuan, dan pada akhirnya, yang di sakiti adalah dirinya sendiri, lagi.
Tidak...
Seharusnya ia tidak perlu takut. Seharusnya ia membiarkannya masuk lebih dalam. Ia bahkan tidak sempat membuat Kazura menjadi pembantu pembersih rumah. Ia seharusnya lebih jahat, lebih manipulatif. Setelah ia selesai memanfaatkannya, ia akan mencampakkannya.
Jika itu yang terjadi, maka perasaan Rey tidak akan menjadi seaneh ini. Ia akan puas... ia akan mengobati kesepiannya, ia akan membalaskan dendamnya. Memberitahunya tentang ayahnya begitu cepat adalah tindakan menunjukkan kepedulian. Karena itu berarti Rey tidak melakukan yang ia awalnya maksudkan, untuk mempermainkannya.
Tanpa Rey sadari, ia telah kalah dalam permainannya sendiri. Sebelum ia memanfaatkan kazura, ia telah menghentikannya, mengaku kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak ingin Kazura sakit pada akhirnya.
Apakah segalanya memang tentang balas dendam dan permainan? Rey mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ia memang memulai segalanya karena murni kesepian.
***
Sekitar 850km dari tempat Rey berada, ada orang lain yang merasa sama kesepiannya sepanjang hidupnya. Tangannya berusaha menyentuh keriput pada pipinya. Ketika ia berusaha melakukannya, selang infus yang masuk ke lengannya bergerak maju mundur. Tiba-tiba saja ia sadar kalau ia sudah tua.
Naoto mendorong kursi roda. Angin sepoi-sepoi di luar memaksa dirinya untuk menarik napas panjang. Ia ingin membuatnya mengisi seluruh paru-parunya, mengganti udara di dalamnya dengan yang segar. Ia telah terlalu lama terperangkap di dalam kamar di rumahnya itu. Ia menolak masuk ke rumah sakit. Itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Jika ia harus hidup lebih pendek karena tidak menggunakan alat lengkap di rumah sakit, maka biarlah. Ia tidak ingin masuk ke Ruang Gawat Darurat lagi seumur hidupnya.
Beberapa pelajar membeli makanan khas Nara di toko terdekat. Tanpa membuka kotak yang terbungkus kantong itu, ia sudah bisa menebak apa yang ada di dalamnya. Daun kesemek yang membungkus sushi.., walau pun ia tinggal di Nara, tapi sudah lama sekali sejak ia makan kaki-no-hazushi. Mungkin ia akan membawa Kenzo dan Kazura makan itu bersamanya dalam waktu dekat.
Ya... Mereka akan segera sampai. Ia akan bisa menatap mata mereka lagi setelah begitu banyak waktu terlewati. Beberapa kali Kenzo mengirim foto, tapi foto saja tidak cukup. Sementara ia di bawa berjalan-jalan di sekitar rumahnya, pikiran Yoshimitsu Arashi melayang kembali ke masa lalunya. Angin sepoi-sepoi dan kesunyian selalu identik dengan nostalgia. Ia menutup matanya.
***
Yoshimitsu Arashi duduk di sana, di barisan terbelakang. Ia diam, wajahnya rata seperti biasa, lalu sosok itu datang, gemulai dan lembut, terlihat anggun walau dengan rambut hitam yang di potong pendek. Cadarnya yang putih tembus pandang, panjang melambai, bergerak setiap kali ia melangkah maju, kakinya menendang bagian bawah gaun pengantinnya. Tangannya di genggam oleh ayahnya, wajahnya terlihat tenang dengan senyum tipis tersungging. Tiga orang a capella berdiri alunan yang lembut.
Mata Arashi mengikuti setiap adegannya. Mereka berdiri berdampingan satu sama lain di depan altar, mendengar pembacaan injil, bertukar cincin dan sumpah, bibir mereka bertaut ketika mereka di izinkan untuk berciuman. Tanpa sadar Arashi telah tersenyum, lebih dulu dari pada saat orang-orang yang duduk jauh di depan bertepuk tangan. Mungkin ia telah tersenyum ketika ia mendengar suara lembut itu menjawab pada calon suaminya, 'ya aku bersedia.'
Arashi tidak ikut hadirin lain untuk menghujani kedua mempelai di pintu keluar dengan kelopak bunga mawar. Dia tetap duduk di sana, memperhatikan cinta pertamanya di bawa pergi.
Entah mengapa saat itu, ia rela. Ia bukan orang yang biasa gagal mendapatkan hal yang ia inginkan, tapi ia rela. Jika wanita itu bisa tersenyum seperti itu terus sepanjang hidupnya, maka mana mungkin ia menghalanginya?
Mereka bilang kelemahan pria adalah salah satu dari tiga, uang, kekuasaan dan wanita. Kelemahan Arashi jelas adalah dia karena ia memutuskan untuk meninggalkan wanita itu, membiarkan dia bahagia, dan mengakui kekalahannya. Padahal yang mengalahkannya adalah bawahannya sendiri, yang ia tidak kenal terlalu baik. Ia jauh di atas dan pria itu jauh di bawah...
Tapi ia mengakui kekalahannya. Ia akan pergi dari hidup wanita itu, mengawasinya dari jauh. Ia akan diam dan memperhatikan. Matanya akan terus melihat dan telinganya akan terus mengawasi. Wanita itu boleh melupakannya, tapi ia tidak akan berhenti mencintainya.
Ia bangkit dan bersandar pada kusen pintu gereja yang terbuka lebar. Kedua mempelai sedang bertukar kasih dengan para pengunjung tidak jauh di depannya. Di antara senyumnya pengantin wanita itu mendongak. Matanya mencari untuk sejenak, tapi kemudian pandangan mereka bertemu.
.... Erika...
***
Kazura percaya ada cerita yang tersembunyi di balik mengapa ia dan Kenzo sama-sama di buat untuk memanggil pria itu 'Ayah'.
Kazura mengalihkan pandangannya dari Kenzo ke bangunan di hadapannya. Menapakkan kakinya turun dari taksi siang itu. Mereka dari stasiun kereta Kintetsu Nara, dan merasa lelah.
Kazura berpikir ia akan melihat sebuah rumah besar, dan ia benar. Ia mengerti bagaimana dirinya di biayai selama ini. Pria yang akan ia panggil 'Ayah' itu adalah orang penting. Gerbang tradisional itu belum terbuka, tapi Kazura tahu di dalamnya tersembunyi taman-taman khas jepang dan lantai tatami.