Lalu, entakan yang menyakitkan menghampiri hati Arashi ketika ia melihat raut wajah itu terendam air mata. Ia menyekanya, sentuhannya lembut.
"Jangan menangis..."
Sejak detik itu, Arashi berubah. Perangainya jadi lembut, seperti yang biasa ia tunjukkan kepada Erika. Di antara semua asmara yang berusaha ia jalin dengan Misaki selama wanita itu dua minggu di Nara, tidak sekalipun Arashi menyebut nama Misaki, Ia tahu jia ia mencoba, yang akan keluar adalah nama Erika, bukan Misaki.
Namun, perlahan-lahan Arashi bisa melihat semua perbedaan antara kedua wanita itu. Cara jalan Erika yang agak berjinjit ketika ia menaiki tangga tidak di miliki Misaki. Kegemaran Erika memotong rambutnya pendek dan menggunakan anting-anting juga tidak di miliki Misaki. Semakin Arashi membenamkan dirinya ke dalam ilusi, ia semakin merindukan Erika....
Arashi berbagi senyuman tipis kepada Misaki ketika ia melihat wanita itu menarik kopernya ke luar dari rumah Masayuki. Ia memperhatikan punggung itu menjauh. Tangan Arashi di remas Eiji, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin kembali ke Tokyo, merebut Erika dari Ryuichi Akihiko dan membuat Erika selamanya menjadi miliknya. Ia tidak peduli jika identitasnya membuat keselamatan Erika terancam seumur hidup. Ia akan melindunginya.
Itu yang Arashi pikir dalam hati, tetapi ketika ia menginjak Tokyo, ia di kejutkan dengan hal yang tidak terbayangkan. Ia memberikan Ryuichi Akihiko sebuah misi, setengah berharap ia mati di dalamnya, dan ia telah berhasil melakukannya. Ia juga menyeret Erika ke dalam kematian itu.
Ia mempunyai terlalu banyak musuh, ia tahu. Namun, detik saat ia berdiri di tengah upacara pemakaman Erika dan Akihiko, Arashi tahu bukan musuhnya yang menyebabkan semua ini... tetapi dirinya sendiri. Ia tidak membiarkan setetes pun air meleleh dari matanya. Ia menggenggam tangan anak lelaki Erika, menyuruhnya memanggilnya 'Ayah'. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Arashi menginginkan perubahan, menginginkan untuk membuang identitas yang ia punya, bahkan jika semua uang yang ia miliki hilang karenanya. Ia tidak bisa berhenti saat itu, tidak langsung begitu saja, namun ia mengecilkan skala pekerjaannya, sementara membesarkan Ryuichi Kenzo pelan-pelan.
Enam bulan setelah pemakaman itu, seorang wanita berdiri di depan pachinko miliknya. Sosoknya tidak asing untuk sesaat Arashi bahkan mengira Erika hidup kembali. Misaki mencarinya, perutnya besar karena hamil. Tangannya memaksa untuk melewati anak buah yang di pasangnya. Apa pun yang terjadi, ia ingin menemui Arashi. Arashi tidak ingin itu terjadi. Bukan karena ia tidak ingin bertanggung jawab, tetapi hanya karena alasan yang lebih sederhana. Ia takut perasaan yang mengerikan ketika kehilangan Erika itu akan kembali lagi, mendapatkan juga harus siap kehilangan.
Ia tidak ingin mendengar apa yang Misaki akan katakan. Ia bisa menebaknya. Ia akan menangis di hadapannya, memohon Arashi untuk menikahinya karena bayi yang ia kandung adalah miliknya. Ia akan berkata Izumi Yashuhiro telah membuangnya karena bayi itu.
Sampai akhir, Arashi tidak pernah menyaksikan pemandangan semacam itu. Karena detik berikutnya ketika ia melongok ke bawah lewat jendela. Ia melihat Misaki jatuh pingsan, anak buahnya berdiri di sampingnya dan memeriksa. Arashi lari ke bawah dan hal pertama yang ia teriakkan adalah memanggil ambulan.
Ia menggenggam tangan Misaki sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Dari rasa dingin yang menjalar ke telapak tangannya. Arashi tahu lagi-lagi ia telah melakukan kesalahan besar, sebesar seperti ia telah membunuh Erika. Ia tidak pernah tahu jelas perasaannya kepada Uzuki Misaki, tapi membuatnya terbaring sekarat seperti saat itu jelas salah. Entah berapa jam yang terlewati hingga akhirnya dokter keluar dari Unit Gawat Darurat tempat yang Arashi ingin hindari selama hidupnya dan menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Arashi mengambil nyawa yang lain. Di hadapannya, terbaring bayi lemah, lahir sebelum waktunya. Ia tidak pernah meragukannya. Dari detik pertama ia melihat bayi itu, ia sudah tahu Misaki tidak salah.
Kazura adalah anaknya.
***
Kazura mendengar setiap kata-katanya dengan jelas, tetapi ia tidak bisa mempercayai satu pun dari hal itu. Tidak heran begitu banyak waktu yang di perlukan ayahnya untuk memberitahukannya semua ini. Mungkin Kazura pun perlu waktu bertahun-tahun untuk mencerna semuanya.
"Berkata bahwa aku sama sekali tidak mencintai ibumu adalah kebohongan." Arashi berbisik pelan, membuat sebuah penutup dari kisahnya. "Karena aku jelas-jelas menangis ketika ia meninggal."
Kesunyian memenuhi ruangan itu sebelum Arashi berkata lagi, "Itulah ayahmu, ketika ia tidak bisa mendapatkan sesuatu, ia akan mengejarnya dengan keras kepala. Ketika yang begitu ia inginkan ada di hadapannya, ia ketakutan untuk mengambilnya karena ia takut setelah mendapatkannya ia akan kehilangan.
Kazura bangkit dari duduknya, gerakannya yang tiba-tiba membuat tetesan air mata meluncur turun. Ia membalikkan tubuh, berjalan ke luar dari ruangan, melewati Kenzo yang membeku di tepat di belakangnya. Arashi yang masih terduduk di atas kasurnya, kini terbatuk-batuk keras.
Kazura berlari ke arah kamarnya. Ia tidak peduli dengan semua baju yang masih tertumpuk rapi di dalam kardus-kardus. Ia hanya mengambil tas selempangnya. Menyisipkan uang seadanya, lalu berlari keluar kamar. Kenzo menahannya di ambang pintu.
"Apa kau tidak mendengarnya tadi?" Kazura hampir berseru kepada Kenzo, berusaha untuk berjalan melewati Kenzo. Ia terhenti ketika ia gagal melakukannya, namun suaranya masih tetap tinggi "Apa kau mendengarnya?"
"Kazura tenanglah... Ayah memiliki alasannya sendiri, seperti bagaimana ia punya alasan untuk membuatmu tidak mengenal dirinya bertahun-tahun ini. Kau sempat di celakai oleh musuhnya dan kami cemas akan terjadi sesuatu lagi, jadi..."
"Mengapa Kenzo sama sekali tidak mengerti?" Kazura menatap Kenzo dengan bola matanya yang kini telah menjadi kelereng yang basah. "...Aku tidak tahu, Kenzo.... aku... aku harus bagaimana?"
Lalu bulir-bulir air mata itu berjatuhan, pipi Kazura merah karena semua emosinya. dari kejauhan terdengar suara batuk Arashi belum berhenti. Kemudian, terdengar langkah kaki Naoto yang tergesa-gesa, suara pintu yang berdebam terbuka, lalu batuk-batuk itu mereda. Kenzo dan Kazura masih di sana, bertatapan.
"Kazura tenanglah... Apa yang sedang kau lakukan? Duduklah, kita akan membicarakan semuanya."
Kazura menghempas tangan Kenzo yang mencoba meraih dan memeluk dirinya. Ia berseru, "Mengapa kau tidak membencinya, Kenzo? Apa karena kau tahu kau lah anak yang benar-benar ia mau? Anak dari wanita yang di cintainya walau bukan anak kandungnya?"
Kenzo menarik Kazura kembali ke dalam pelukannya, tangannya menepuk-nepuk punggung Kazura, ia mendesah panjang ketika menjawab. "...Aku tidak tahu apa-apa tentang ini hingga hari ini. Yang ku tahu adalah dia bukan ayah kandungku, tapi tentang mengapa ia mengurusku, aku tidak tahu. aku tidak marah kepadanya karena... Karena seperti semua orang lain, Kazura. Ia ingin kesempatan. Dia menyesali semua masa lalunya, Kazura kau pasti juga tahu tentang itu."