"Menyesali masa lalunya?" Kazura melepas pelukan Kenzo sekali lagi, untuk dapat memandang wajah Kenzo.
"Ya." Kenzo menjawab, penuh kesabaran, "Untuk dirimu, sebagai Yakuza. Ia membubarkan klan-nya. Ku rasa tentang Yakuza itu, kau sudah tahu sedari dulu bukan?"
"Tidak, Kenzo. Aku tidak tahu... Bagaimana kau ingin aku tahu, dan yakin akan semuanya, ketika kau tidak pernah mau memberitahuku?" Kazura menjawab, isakannya mereda, tetapi suaranya kini begitu putus asa. Ia melewati Kenzo dan keluar dari kamarnya.
Kenzo berjalan cepat ke arahnya, menahan tangan Kazura ketika Kazura telah berada di ambang pintu.
"Ke mana kau—."
Kazura berbalik sebelum Kenzo sempat berkata apa-apa lagi. Air mata yang tadi membasahi pipinya kini telah perlahan-lahan mengering.
"Ayahku menyuruhku menemuinya ketika ia sekarat, menyuruhku memanggilnya Ayah, lalu... kemudian mengaku bahwa ia telah memperkosa dan membunuh ibuku. Katakan Kenzo jika Kenzo adalah aku, apa Kenzo masih bisa bertahan di dalam rumah ini meski satu detik lagi."
Tanpa menunggu jawaban Kenzo, Kazura melangkah pergi. Meninggalkan rumah besar di belakangnya, meninggalkan pintu utamanya menganga lebar. Kazura membiarkan langkah kakinya yang cepat membawanya entah ke mana. Ia hanya ingin pergi.
***
Rey berlari-lari kecil ketika gerimis mulai turun ke atas badannya. Terakhir kali ia terguyur hujan adalah di Enoshima, subuh itu adalah subuh senin, tapi sejujurnya, Rey sudah kehilangan hitungan waktu. Mencampur alkohol tidak mengharuskan mu mencatat hari dan tanggal di atas kertas.
Sepatu bot Rey membuat entakan-entakan pelan ketika ia menaiki tangga apartemennya. Jaket kulitnya kini terasa agak pengap sementara musim panas mulai mendekat. Ia mengeluarkan kunci apartemen dari sakunya.
Lalu langkahnya terhenti.
Tubuh mungil itu, meringkuk dengan kedua tangan memeluk lutut, mukanya terpendam di dalam lengannya, tubuhnya menyandar pada tembok di seberang pintu masuk apartemen Rey. Mereka berada di lantai dua, di atas potongan tembok tempat bersandarnya adalah sebuah kekosongan, memberikan pemandangan pada pemandangan malam Tokyo. Lampu-lampu masih menyala dengan bersemangat walau saat itu sudah dini hari sama sekali ber kebalikan dengan sosok meringkuk yang sepertinya kehilangan semua energinya itu.
Rey merasa ia tahu siluet itu. Tetapi ia tidak membiarkan dirinya sendiri untuk bahkan menebaknya. Ia mendekat satu langkah. Tidak ada gerakan. Ia mendekat lagi. Masih tidak ada gerakan.
Rey maju satu langkah lagi. Kini, ia sudah cukup dekat dengan tubuh itu. Ia mengangkat kaki kirinya, menyenggol tubuh itu pelan. Sepatu bot hitamnya membuat tubuh itu sedikit terguncang pelan. Helaian rambut hitamnya melambai. Tidak ada reaksi Rey menyenggol lagi dengan kakinya. Masih tidak ada reaksi.
"Hei.." Rey mencoba membangunkannya dengan suara ketika goncangan tidak berhasil. Kedua tangannya kini berada di dalam kantong jaket. Satu di antaranya menggenggam kunci rumah "Hei."
Rey mendengar sayup-sayup suara teleponnya berdering di dalam apartemen. Ia menoleh hampir berubah pikiran untuk meninggalkan tubuh itu dan langsung masuk ke rumah, mengangkat telepon yang sama sekali tidak tahu waktu itu. Namun, pikirannya itu terhenti karena kepala dari tubuh itu mendongak.
Rey memang menebak di bawah sadarnya. Tetapi ia tetap terkejut ketika melihat wajah itu lagi di hadapannya. Telepon terus berdering Rey tidak menoleh lagi ke arah rumahnya walau pun ia tahu ia harus segera mengangkatnya sebelum telepon itu membangunkan semua tetangga-tetangganya. Ia hanya ingin terus menatap sosok di hadapannya dan bertanya-tanya apakah ia berhalusinasi karena terlalu banyak bekerja.
Mata Kazura sayu. Setengah tertutup, hampir membenamkan wajahnya ke dalam pelukan lengannya lagi. Rey menyenggolnya lagi dengan kaki kirinya kali ini keras hingga Kazura hampir terjungkal ke samping.
"Mmm.." Kazura mengeluarkan suara tidak jelas, mengusap matanya. Ia menguap pelan, lalu memfokuskan pandangannya kepada Rey.
"Mengapa di sini?" Rey bertanya, mengernyitkan dahinya. Di dalam hati Rey, lebih dari apa pun satu alinea yang pernah ia ucapkan mengiang-ngiang.
...Jika kau memaksaku, maka aku akan membuatmu menyukaiku, sangat menyukaiku. Lalu aku akan mencampakkan mu. Persis seperti apa yang ibu mu lakukan kepadaku. Aku akan menghancurkan hidup mu...
"Apa kau sedang memaksaku?"
Kazura tidak langsung menjawab. Ia bangkit, terusan muda yang ia kenakan penuh kerutan. Mantel yang ia kenakan tipis, membungkus tubuhnya di tengah kedinginan malam. Wajahnya lebih kusut dari pada terakhir kali ia melihatnya di Enoshima. Ia terlihat seperti tertidur karena lelah menangis.
"Aku...." Kazura memulai, suaranya serak seperti semua orang ketika bangun tidur. "Aku...." tetapi ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Suara telepon telah berhenti. Jendela-jendela dari apartemen tetangga Rey belum menyala. Menandakan mereka tidak terbangun karenanya. Rey masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari Kazura.
Bahu Kazura turun, ia berkata dalam satu desahan panjang. "Aku tidak tahu harus bagaimana."
"Kau tidak tahu harus bagaimana... dan tidur di depan rumahku?" Rey berkata, setiap katanya menunjukkan ketidakpercayaan. "Seperti kucing? Seperti pengemis?"
Kazura tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke kakinya. Setelah detik-detik sunyi terlewati. Rey memutuskan untuk berjalan melewati Kazura, mengeluarkan kunci dari kantongnya. Ia menekan dan mendorong pegangan pintunya. Tidak melihat ke belakang lagi. Ia menutup daun pintu, tetapi sesuatu mengganjalnya.
Rey membuka pintu yang ia tutup dengan segera. Jari-jari tangan yang bari saja ia tekan dengan daun pintu kini di kibas-kibaskan di udara. Kazura meringis kesakitan, merintih dalam bisikan pelan.
"Mengapa kau muncul lagi?" Rey memilih salah satu dari ribuan pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
Kazura terhenti ia tampak berpikir sejenak, kemudian ia menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Aku ingin meminta maaf."
Rey mencibir. "Aku tidak butuh itu."
"...Tiba-tiba saja aku mengerti bagaimana rasanya membenci seseorang yang secara tidak langsung mengubah seluruh hidupku."
Rey menyipitkan matanya, berkata. "Kau bohong."
Ia menutup daun pintu di hadapannya. Tetapi lagi-lagi ia tertahan jemari Kazura. Ia membukanya satu-satunya pilihannya dan di paksa untuk menatap Kazura lagi.
"Aku datang ke Tokyo untuk kembali ke rumahku, tetapi rumahku di kunci dan di pasangi papan 'Dijual'. Sudah malam ketika aku naik kereta dan pergi ke rumah Arata, tapi di tengah jalan aku sadar ada pria yang memperhatikan ku terus. Aku turun dari kereta di stasiun yang salah, dan pria itu terus mengikutiku.." Kazura berkata dengan cepat, gugup. "Lalu aku berlari. Berusaha menghapus jejakku dari orang aneh itu. Sudah malam dan sepi, dan aku mencari rumah terdekat. Aku ke sini setidaknya setelah naik ke sini dia mengira aku telah pulang ke rumah dan berhenti mengikuti. Aku terlalu takut untuk turun lagi ke bawah dan pergi ke rumah Arata, dan aku juga membawa ponselku bersamaku—."