Kazura jelas tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya bergetar, bergerak ke arah Kenzo, mencari bantuan. Yoshimitshu Arashi terduduk di ranjangnya, infus masuk keluar badannya, matanya terlihat berat untuk tetap terbuka. Kenzo menerima tangan Kazura, membawanya mendekat Arashi walaupun sebenarnya, jantung Kenzo sendiri berdegup kencang.
Sosok Ayahnya itu tidak seperti yang ia ingat. Terakhir ia bertemu dengannya adalah di rumah sakit, tapi kali itu yang terbaring di atasnya adalah Kazura. Setelah skandal dengan Shoukei Wataru itu, ia tidak pernah bertemu lagi, hanya berbicara lewat telepon.
Ingatan memang bisa mengelabui. Seingat Kenzo, rambutnya masih hitam walau ada helai-helai uban, tetapi ketika kini ia melihatnya, helai-helai itu telah jauh menipis, di potong begitu pendek, pelontos di beberapa bagian. Kerutan di wajahnya kentara sebagian besar karena kulit wajahnya kini amat pucat karena sakit. Tubuhnya yang dulu tegap kini bungkuk dan kurus. Walau begitu, garis-garis wajahnya masih setegas dulu, tatapan matanya masih semengancam dulu. Di balik tubuh yang di gerogoti penyakit itu, Arashi masih tetap Arashi sosok yang menakutkan bahkan untuk harimau Hitam muda sekalipun.
"Kemarilah." Arashi berkata lagi, menggerakkan ujung tangannya.
Kenzo berdiri tepat di belakang Kazura, ketika Kazura telah berada di samping ranjang, duduk di atas kursi yang tergeletak di sana. Kazura diam-diam menggenggam tangan Kenzo, setengah meremasnya ketika jemari Arashi naik dan mengelus pipinya. Kenzo mengerti bagi Kazura, Arashi adalah orang yang sepenuhnya asing, dan sentuhannya terasa tidak nyaman baginya.
"Kau sungguh mirip dengannya... Tidak satu hal pun dari diriku yang kau bawa. Atau matamu ini? Sedikit lebih sipit dari milik Misaki, tanpa lipatan, mungkin kau mendapatkan mataku...." gumamnya, menyunggingkan senyum tulusnya yang langka.
Mereka bilang Yoshimitsu Arashi memiliki satu kelemahan yaitu wanita. Banyak senyumnya yang langka itu ia berikan pada wanita-wanita yang di kasihinya, dan Kazura pastilah menerima salah satu senyuman itu, hanya sekali, tetapi cukup untuk membuatnya percaya bahwa dirinya penting untuk Yoshimitsu. Kali ini, Kenzo tidak kaget melihat senyum itu.
Namun ia jelas kaget mendengar apa yang ayahnya itu katakan. Dengan menyuarakan kalimat-kalimat itu, ia mengakui Kazura adalah anak kandungnya. Tangan Kazura yang menggenggamnya tiba-tiba menjadi sedingin es.
"Mengapa menatapku seperti itu, Kazura?" Arashi berkata. "Mengapa kau sama seperti ibumu, begitu sulit tersenyum untukku?"
Kenzo maju dan menepuk pundak Kazura, merangkul dan menenangkannya, setelah beberapa saat terlewati dalam kesunyian. Mata Arashi merayap ke atas dan menemui milik Kenzo, tangannya turun dan meminta Kenzo untuk mendekat, memberikan senyumnya.
"...Kenzo..." Kata Arashi, lalu suaranya menghilang.
Tidak seperti kepada Kazura, ayahnya itu tidak langsung mengatakan apa-apa. Matanya menyusuri setiap fitur wajah Kenzo, seakan berusaha meresapnya ke dalam pikiran, memandangnya dengan memorinya. Seperti yang Kenzo baru saja lakukan kepada Arashi.
Ia terdiam lama sebelum pada akhirnya berkata,
"...Kau juga semakin mirip ibumu..."
Kenzo tidak menjawab. Ia masih samar-samar mengenali wajah kedua orang tuanya, dan yang Arashi katakan itu memang benar. Namun, ekspresi pada wajahnya Arashi mengatakan bahwa itulah yang memang ia inginkan, dan ia terlihat begitu gembira karenanya.
Kesunyian menghampiri mereka setelahnya. Membuat Kenzo ingin sekali memberikan Arashi pertanyaan-pertanyaan yang telah di pendamnya. Kazura menarik tangannya dari tatapan Arashi, matanya memandang ayahnya dengan tidak percaya.
Terkdadang, ketika kau mencari sesuatu begitu lama, lalu tiba-tiba di berikan jawabannya, dengan cara yang sama sekali tidak terduga, kau akan menolak kenyataan itu. Atau mungkin, pandangan tidak percaya Kazura itu murni karena kaget.
"Apa... Anda Ayah saya?" tanyanya.
Postur badan Arashi menjadi lebih tegak mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Kazura, tubuhnya agak bergetar karena rapuh. Ia tampak sedang mencari kata-kata yang tepat, mengakhirinya dengan desahan.
"Aku tahu.. suatu hari.. suatu hari, aku harus menjelaskannya pada mu. Dan ketika hari ini datang, rasanya aku masih belum siap."
"Jika anda benar Ayah saya—!" Kazura memotong, "Jika anda benar ayah saya, mengapa tidak pernah menemui saya? Saya bahkan tidak tahu nama anda, tidak tahu siapa sebenarnya Kenzo, membuat saya selalu meraba-raba dalam kegelapan. Mengapa?"
Gadis yang Kenzo tatap punggungnya saat ini adalah gadis yang tegas, yang keras kepala menginginkan kebenaran. Di balik suara yang bergetar dan mata yang berair itu, Kazura tampak bersikeras untuk mendapatkan kebenaran yang selama ini di carinya. Kebenaran yang hampir di pasrahkan Kenzo dalam hidupnya karena ia telah merasa puas hanya dengan berada di samping Kazura.
"Namaku Yoshimitsu Arashi, tapi mulai sekarang kau akan memanggilku Ayah." Arashi menjawab. "Seharusnya namamu pun Yoshimitsu Kazura..."
Kazura tidak menjawab. Arashi mengerti Kazura menginginkan penjelasan lebih lanjut, dan kini memnag saat untuk memberi tahunya.
"Sebenarnya satu-satunya hal yang pantas aku katakan kepadamu, Kazura, hanyalah...." Arashi meraih pipi Kazura, sentuhannya lembut, seakan Kazura terbuat dari kaca yang rapuh, "Maafkan Ayah."
Ketika ayahnya tidak mampu membuat dirinya berkata apa-apa lagi dan Kazura tetap diam meminta penjelasan. Kenzo maju dan merangkul pundak Kazura, "Kazura, Ayah yang selama ini membiayai kita. Aku selama ini memang memanggilnya 'Ayah'... Ayah lebih adalah ayahmu dari pada ayahku. Dia selalu menjagamu dari telepon-teleponnya, dan dia juga selalu mengkhawatirkan mu.."
"Tapi, mengapa Kenzo?" Kazura mendongak "Mengapa ia tidak membiarkan mu menjelaskan segalanya padaku? Mengapa bahkan sekarang pun... Tidak ada penjelasan yang ku dapat?"
"Kazura—!"
"Tidak apa-apa, Kenzo," Arashi memotong Kenzo. Masih menatap penuh pengertian kepada Kazura. "Kazura memang benar. Segalanya karena aku takut, Kazura... Aku yang pengecut ini takut di benci oleh dirimu... Karena jika kau tahu kebenarannya, kau pasti membenci ayah mu ini."
"Ini tidak adil." Kazura berkata, hampir teredam isakan, "Segalanya selalu tidak adil untuk saya. Semua kepindahan yang tiba-tiba ini, Anda yang tiba-tiba muncul, berkata bahwa Anda adalah Ayah saya... Bagaimana saya bisa menerima segalanya dengan begitu tiba-tiba?"
Arashi ingin menyelipkan dan memberikan penenangan, tetapi Kazura berkata lagi, " Izumi Rey berkata ibu saya membuat ayahnya bunuh diri... Ibu saya mengkhianatinya dengan memiliki saya. Apa ibu saya mengkhianati Izumi Yashuhiro karena Anda?"
Arashi mendongak segera setelah kalimat itu selesai di ucapkan. Ia menatap Kenzo lalu menatap Kazura, kembali kepada Kenzo. Dagu Kenzo mengeras. Ia belum memiliki keberanian untuk menanyakan tentang hal ini kepada Ayahnya, dan kini Kazura telah mendahuluinya.
Segala atmosfer yang memanas itu membuat Arashi tegang dan terbatuk-batuk, badannya gemetar setelah batuknya mereda. Kenzo meraih sapu tangan untuk mengelap keringat yang keluar dari wajahnya, tetapi Kazura hanya duduk menatap ayahnya yang kepayahan melawan penyakit. Arashi setengah terengah ketika berusaha menegakkan badannya kembali, menghela napas panjang untuk pertama kalinya sejak mereka masuk ke kamar itu. Tangannya kembali ke balik selimut. Tatapannya meredup, kehilangan setiap ketajaman yang seharusnya ada di dalamnya.