Selama seharian, Amanda menyempatkan diri untuk tidur dengan nyaman. Sementara Nia masih harus bolak balik rumah sakit untuk menjenguk sangat Ayah yang sendirian di sana.
"Bagaimana, keadaan Ayah saya, Dok?" tanya Nia kepada dokter yang baru saja memeriksanya.
"Apakah, pendonor sudah ada? Bapak Maliki harus segera melakukan transfusi darah," ucap Dokter.
"Sudah, Dok. Besok, saya akan membawanya ke sini," Nia begitu sangat gelisah.
"Kita akan jadwalkan pagi kalau begitu. Saya, permisi dulu ya." pamit Dokter itu lalu pergi.
Melihat ayahnya yang terbaring lemah di tempat di ICU membuat hati Nia hancur. Ia berkata, "Ayah, Amanda sudah ada di sini. Sementara, dia juga akan tinggal bersama kita. Ayah hari segera sembuh, hm?"
Setelah menemui Ayahnya, Nia kembali dengan sendiri lega. Saat ia kembali ke rumah, ia melihat Amanda masih tidur pulas di kamarnya. Karena sudah mau maghrib, Nia membangunkan Amanda untuk diajaknya sholat maghrib bersamanya di mushola.
"Manda, bangun, yuk. Sudah magrib, pamali kalau tidur sore-sore," ucap Nia dengan lembut.
"Lima menit lagi, ya, Mi. Manda masih sangat lelah …." ucap Amanda manja. Ia mengira jika dirinya masih di rumah dan sedang dibangunkan oleh Tamara.
"Manda, ini aku, Nia. Bukan Tante Tamara, Mami kamu," ungkap Nia dengan lembut.
"Oh, sorry. Saya akan segera bangun, kok."
Amanda langsung duduk, ia juga berjalan menuju kamar mandi dan mandi. Awalnya, ia kebingungan bagaimana cara mandinya, karena kamar mandi di rumah Ayahnya berbeda dengan kamar mandi di rumahnya.
"Nia, bisa kesini sebentar tidak?" Amanda menahan langkah saudari kembarnya yang sudah keluar dari kamar mandi.
"Iya, ada apa? Sebentar, aku akan datang ke sana," balas Nia.
Tak lama setelah itu, Nia menghampiri Amanda yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Nia tertawa terpingkal-pingkal saat Amanda membawa gayung mondar mandir di depan kamar mandi.
"Kamu ngapain pakai gayung segala macem di bawa mondar-mandir, Nda?" tanya Nia.
"Tertawa saja terus. Ini saya mandinya bagaimana? airnya taruh dimana? Tidak ada ember di sini," kata Amanda kebingungan.
Nia mengambil bak besar di atas sumur. Lalu, menyalakan airnya melalui kran. Kamar mandi rumah Nia memang masih dalam tahap revisi, jadi bak mandinya belum ada.
Usai mandi, Amanda berjalan ke dapur. Niatnya ingin membuat ramen yang beli sebelum berangkat ke Jogja. Akan tetapi, ia melihat meja makan penuh dengan berbagai makana sederhana yang belum pernah Amanda makan sebelumnya.
"Ini, kamu yang masak?" tanya Amanda.
"Iya, maaf hanya bisa menyediakan ini. Kebetulan, persediaannya hampir habis. Besok kita jajan aja kalah mau makan, ya. Nggak papa, 'kan?" usul Nia.
Amanda merasa tidak enak hati, ia sudah dijamu dengan ramah oleh Nia. Ia pun berencana akan memenuhi segala kebutuhan rumah dengan uangnya sendiri. Amanda sudah menjadi pengusaha muda saat tinggal di Belanda. Jadi, dia memiliki beberapa simpanan yang nantinya akan diberikan kepada Ayah kandungnya dan biaya hidup selama di desa.
"Kau ingin melihatku saat di klub? Lihatlah, aku yang mengaransemen musik ini," ucap Amanda menunjukkan ponselnya.
Selama tinggal di Belanda, Amanda memang sudah memiliki penghasilan sendiri. Ia juga kerap bekerja paruh waktu di cafe untuk bernyanyi. Terkadang ia juga menjadi seorang DJ di klub malam. Itu mengapa Tamara dan Barack selalu melarang Amanda ketika berpamitan ke klub.
"Besok pagi, kita harus ke rumah sakit untuk transfusi darah. Kamu … apakah sudah siap?" tanya Nia.
"Aku selalu siap kapanpun. Dia juga ayahku, bukan? Santai saja, aku akan ikut bersamamu besok pagi ke rumah sakit," jawab Amanda santai.
Hujan turun begitu deras, Amanda baru pertama kalinya merasakan hujan di kampung halamannya. Ia terus menatap ke langit yang gelap dari balik jendela kamarnya. Sambil mendengarkan musik kesukaannya, Amanda teringat dengan Tamara yang saat ini jauh darinya.
"Mami, kenapa Mami nggak bilang dari awal. Kenapa aku harus canggung begini?" gumamnya.
Tiba-tiba saja, listrik padam. Membuat Amanda kebingungan mencari penerangan. Ia bergegas ke kamarnya dan membuat penerangan dari kapas wajah dan minta goreng. Sama seperti lentera yang selalu di buat sahabatnya yang beragama Hindu di Belanda.
"Yeah, beruntung aku sangat cerdas! Jadi tidak perlu susah-susah juga kalau mati listrik seperti ini," gumamnya membanggakan diri.
"Nia kenapa belum pulang juga, sih?"
"Apa dia tidak membawa payung, ya? Sudah lebih dari dua jam ini. Masa iya, pergi mengaji belum selesai juga sampa malam ini?
Karena sudah mengantuk, Amanda berjalan masuk ke kamarnya. Kemudian, tak lama setelah itu terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu seraya mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum…."
Dalam pikiran Amanda, itu tidak mungkin orang jahat karena memakai salam. Ia pun memberanikan diri untuk melihat siapa yang datang di saat hujan deras dan mati listrik seperti itu.
Perlahan, Amanda membuka pintu. Seorang pria memakai baju koko dan sarung tengah basha kutub. Pria itu mengatakan, jika dirinya seorang ustad yang dimintai tolong oleh Nia untuk melihat Amanda sebentar saja.
"Siapa?" tanya Amanda.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Em, saya hanya di mintai tolong oleh Dek Nia, untuk memeriksa keadaan rumah," jawab pria itu.
"Masuklah!" pinta Amanda mempersilahkan pria itu masuk.
Mereka pun duduk di sofa. Baru saja mereka duduk, la. pun kembali menyala. Melihat Amanda yang memakai celana pendek, serta hanya memakai tank top, pria itu langsung menundukkan wajahnya.
"Astaghfirullah hal'adzim, maaf. Bisakah, kamu menutupi auratmu dulu?" pinta pria itu.
"Aurat? Apa itu?" tanya Amanda.
[Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, Ustadz. Boleh saya ngerepotin, tidak? Saya masih di masjid, nih. Bisa tolong cek ke rumah? Saudari kembar saya baru datang dari Belanda. Saya kepikiran, dia akan takut karena listrik padam. Tolong, ya, Ustadz. Terima kasih. Wassallamu'alakum warahmatullahi wabarokatuh.]
"Nakedness is a part of the human body that is obliged to be covered from the sight of others by clothing. The appearing of avarath to muslims was considered unlawful and condemned as a sin," jelas pria itu.
"Ok, aku akan mengambil selimut lebih dulu. Wait!" Amanda masuk ke kamarnya.
"Dia bilang, bagian tubuh wanita adalah aurat. Hm, menarik juga!" gumamnya.
Amanda keluar mengenakan baju yang lebih longgar dan panjang. Kemudian membuatkan secangkir teh hangat untuk pria yang tidak ia kenal itu. Baginya, pria itu belum sangat tua. Kisaran berusia 27 tahun dan masih single. Amanda tak melihat cincin pada jari manisnya.
Siapa lelaki itu?
Masih menunggu hujan reda. Amanda sudah tak tahan dengan kantuknya pun tertidur di sofa. Sampai Pria itu melirik sebentar ke arah Amanda. Wajahnya sama persis dengan Nia menurutnya. Hubungan antara pria ini dengan Nia, bukankah sekedar tetangga saja.
Melainkan, sejak Nia lahir, mereka memang sudah di jodohkan. Meski usianya terpaut cukup jauh, baik Nia maupun pria yang dipanggil dengan sebutan itu sama-sama tidak menginginkan perjodohan.