Sesampainya di rumah, terlihat Ustadz Haykal sudah menunggu di teras. Ia masih saja berdiri bersandar di dinding rumah. Membuat Amanda sedikit bingung dengannya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Kamu baru pulang saja, ya?" sambut Ustadz Haykal ramah.
"Wa'alaikumsallam, anda ngapain ke sini? Cari siapa?" tanya Amanda.
Haykal mendekati Amanda dan memberikan dompet milik Amanda. Haykal juga bercerita kenapa dompet itu ada padanya. Alasan dompet itu ada di tangannya, karena dompet tersebut tertinggal di mobilnya. Haykal juga membawakan makanan untuk Amanda sekalian.
"Apa ini?" tanya Amanda.
"Saya membeli martabak untukmu. Maaf, jika boleh tau, bagaimana keadaan Pak Maliki?"
Tanpa langsung menjawab, Amanda meminta Haykal untuk duduk di dalam. Dengan adanya kebetulan Haykal datang ke rumahnya, Amanda juga berencana mengajak kerja sama dengan Haykal untuk kelancaran sandiwara di sekolah lagi.
"Duduklah, sebentar, ya. Hm, saya akan ambilkan anda minum dulu," ucap Amanda membawa masuk martabak itu ke dapur.
Tak lama setelah itu, Amanda membawa keluar martabak di taruh di piring dengan teh hangat buatannya. "Jadi merepotkan," ucap Haykal.
"Tidak, lagipula tinggal seduh saja. Mana ada merepotkan. Aku paling tidak suka makan sendirian, sebaiknya kita makan bersama saja makanan ini. Oh, iya, apa nama makanan ini tadi?" Amanda memang selalu membuat Haykal penasaran.
"Martabak manis, ini ada rasa coklat dan keju. Semoga kamu suka," jawab Haykal dengan keramahannya.
"Sebentar … saya mandi dulu. Seragam sekolah ini basah, tadi si rambut lurus itu dengan sengaja menumpahkan kuah bakso di bajuku, sebentar ya …."
Amanda masuk ke kamar mengambil handuk dan segera mandi dan mengganti pakaiannya. Haykal masih bingung kenapa Amanda menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Takutnya, ada tetangga yang berprasangka buruk kepadanya nanti. Sebab, di rumah hanya ada Amanda seorang. Haykal pun membuka pintu lebar-lebar supaya tidak menimbulkan fitnah.
Sekitar tujuh menit, Amanda selesai mandi dan duduk bersama dengan Haykal di sofa ruang tamu. Amanda memberikan hasil tes Ayahnya kepada Haykal, dia hanya bingung saja ingin memulai obrolan dari bagian yang bagaimana.
"Alhamdulillah, sebentar lagi … pasti Pak Maliki boleh pulang," ucap Haykal.
"Iya," sahut Amanda.
"Oh, iya. Kamu … apakah sebelumnya, kamu juga belum pernah datang ke sini? Saya malah baru tahu mengenai Nia yang memiliki saudari kembar," Tanya Haykal mencoba basa-basi.
Amanda tidak langsung menjawab. Dia masih memikirkan jawaban yang tepat dan bisa di cerna dengan mudah. "Benar, saya baru kembali setelah tahu jika saya memiliki keluarga kandung," jawabnya.
"Sebelum Nia dan saya bisa berangkat ke sekolah bersama. Tolong jangan katakan hal ini kepada siapapun di sekolah. Saya juga tidak tahu, saya akan tinggal lebih lama tidaknya," lanjut Amanda, dengan bahasa yang masih berubah-ubah.
Sebelumnya, dirinya menyebut 'aku'. Lalu, tiba-tiba saja, ketika Haykal mengajaknya bicara, dirinya menyebut 'saya'. Bahasa yang digunakan oleh Amanda juga sedikit kaku, meski tidak baku.
"Kenapa begitu? Bukankah, ini juga sudah menjadi rumahmu?" lanjut Haykal bertanya.
"Saya juga tidak tahu. Um, berapa lama Pak Guru tinggal di dekat rumah Ayahku?" Amanda malah kembali bertanya.
"Belum lama juga, sih. Tapi saya sudah sangat dekat dengan keluarga ini, memangnya kenapa?" jawab Haykal.
Amanda berniat ingin mengetahui segalanya tentang Nia dan Ayahnya dari Haykal. Ia tidak ingin menanyakan apapun kepada Endin, karena pasti Endin akan menyangka jika dirinya bukanlah saudari yang baik, yang tidak mengenali siapa keluarga kandungnya.
"Maaf sebelumnya, ini pertanyaan yang sensitif. Apakah … kamu memiliki keyakinan?" tanya Haykal.
"Sepertinya saya pernah mengatakan ini. Saya seorang agnostik, saya mempercayai adanya Tuhan, tapi saya tidak menganut keyakinan manapun," jawab Amanda.
"Kamu akan berapa lama tinggal di sini?" tanya Haykal lagi.
"Rencananya, saya akan sekolah di sekolah yang sama dengan Nia. Mungkin sampai saya lulus, atau bahkan saya akan menetap di sini untuk beberapa waktu. Ada hal lagi, saya juga berkeinginan untuk tetap di sisi Ayah dan saudari saya, apakah akan ada masalah?"
Wajah mereka begitu mirip. Bahkan mungkin sulit untuk di bedakan. Namun, ketika bicara, Amanda lah yang selalu mampu memikat perasaan Haykal. Meski dirinya sudah dijodohkan dengan Nia, malah Amanda lah yang mampu menarik perhatiannya.
"Kalau begitu … kamu harus belajar ilmu agama. Kamu bisa datang ke mushola setiap hari sabtu sore. Ada seorang ustadzah di sana yang akan mengajarimu. Lalu, setiap jam istirahat, kamu bisa belajar dengan saya di ruang guru, bagaimana?" usul Haykal.
"Saya jadi muslim gitu?" tanya Amanda.
"Itu terserah kamu. Tapi, alangkah baiknya jika kamu pelajari dulu agama islam. Sebab, Ayah dan saudarimu seorang muslim yang taat," tutur Haykal.
Amanda berpikir sejenak. Ia juga merasa tidak terpaksa, jadi dia pun menyetujui saran dari Haykal itu. Saat mereka mengobrol, Nia menelpon Amanda untuk segera datang ke rumah sakit karena tiba-tiba kondisi Pak Maliki telah memburuk.
"Apa? Bagaimana mungkin, bukankah dokter mengatakan jika transfusi darahnya sudah berjalan dengan baik?" tanya Amanda terkejut.
"Aku minta maaf, aku kurang menjaga Ayah dengan baik, aku sungguh minta maaf, Manda. Tapi tolong … kamu ke sini sekarang juga, maafkan aku …."
"Berhentilah meminta maaf, Nia. Astaga, jangan terus meminta maaf, dasar @#$%^!" Amanda semakin kesal mendengar permintaan maaf Nia.
"Ada apa?" sela Haykal.
"Ayah keadaannya memburuk. Saya harus ke sana sekarang juga. Saya tinggal dulu, ya …." ucap Amanda mulai panik.
"Tunggu!" Haykal menahan lengan Amanda, kemudian langsung ia lepaskan. "Apa lagi …?" tanya Amanda.
"Kamu ganti pakaian dulu, aku akan ambil mobil dan mengantarmu ke sana, bagaimana?"
"Um, baiklah. Saya akan ganti pakaian dulu. Tolong, cepat ya!"
Air mata Amanda membasahi pipinya. Dia merasa belum pernah menangis sampai seperti itu dari kecil hingga sekarang. Hatinya begitu sakit mendengar kabar buruk tentang kondisi Ayahnya yang mendadak. Ia terus berdoa agar Ayahnya bisa sembuh dan diberi kesempatan untuk menyayangi Ayahnya.
"Come on, Ustadz. He's my father, what happened to him?" kepanikan Amanda meningkat.
"Sabar, kamu harus tenang dulu. Do'akan saja supaya beliau baik-baik saja," ucap Haykal mempercepat kemudinya.
Sesampainya di rumah sakit, Haykal meminta Amanda untuk masuk terlebih dahulu. Sedangkan dirinya hendak memarkirkan mobilnya. "Kamu masuk dulu, saya akan memarkirkan mobil ini!" perintah Haykal.
"Baiklah, cepatlah menyusul!" teriak Amanda sambil berlari masuk.
Amanda berlari secepat mungkin. Ia juga ke ruangan Ayahnya terlebih dulu sebelumnya. Namun, perawat berkata jika Ayahnya sudah di bawa ke ruang ICU. Segera Amanda ke ruangan menakutkan itu, terlihat Nia tengah mondar-mandir di depan ruangan itu.
"Nia, bagaimana keadaan Ayah?" tanya Amanda dengan nafas terengah-engah.
"Dokter belum keluar. Tapi perawat sempat mengatakan jika kondisi Ayah saat ini tidak baik," jawab Nia.
"Bagaimana mungkin? Bukankah tadi pagi Dokter mengatakan jika Ayah sudah membaik, ya?" lanjut Amanda.
"Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu. Ini semua salahku, maafkan aku …." sesal Nia.
"Sekali lagi kau mengucapkan kata itu … aku akan membunuhmu!" hardik Amanda, ia sudah kesal mendengar kata permintaan maaf dari Nia.
Nia ini memang cerdas, tapi sejak dirinya di bully habis-habisan oleh Tania dan Aida, dia menjadi lemah dan sering mengucapkan kata 'maaf', meski dirinya tidak bersalah. Ditambah lagi, kondisi ayahnya yang membuatnya semakin bingung.