Chereads / Bright Light / Chapter 8 - Menunduk? Bukan Menyelesaikan Masalah

Chapter 8 - Menunduk? Bukan Menyelesaikan Masalah

Endin berjalan seirama dengan Amanda. Ia terus menatap Amanda, orang yang sudah membantunya di saat Tania dan Aida mendorongnya hingga terjatuh. Endin bisa lega karena mungkin, Amanda bisa melindungi Nia dari bullyan Tania dan Aida nanti.

"Kamu kenapa melihatku aku seperti itu?" tanya Amanda.

"Kamu pemberani sekali. Kamu tau nggak … mereka itu semuanya anak orang kaya. Jadi, mereka suka semena-mena kepada kaum miskin seperti aku dan Nia," keluh Endin.

"Ada hal lain yang membuat mereka melakukan keburukan itu. Apa itu? Apakah kamu menjelaskannya? Seperti yang aku duga, kurasa mereka membenci Nia, bukan hanya karena Nia miskin. Tapi ada yang lainnya," Amanda sangat yakin jika Tania dan Aida memiliki alasan yang pasti kenapa mereka membenci saudarinya.

Endin mulai angkat bicara. Dia mulai menceritakan semua yang pernah di alami oleh Nia dari masuk Mts sampa MA. Dimana sebenarnya, Tania menyukai Devan, dan Aida yang menyukai Ustadz Haykal. Bukan hanya itu saja, di pelajaran selain bahasa Inggris, Nia selalu unggul. Itu yang membuat Tania dan Aida merasa jika cahayanya redup oleh cahaya yang dimiliki Nia.

"Astaga … hanya itu? Mereka membenci Nia karena semua lelaki yang mereka dekati, dekat dengan Nia? Dan mereka juga kalah saing dalam belajar?" tanya Amanda heran.

"Ya … begitulah. Aku kasihan kepada Nia," lenguh Endin.

"Aku dulu mem-bully murid lain karena mereka sangat lemah dan sok kaya di depanku. Tapi, ternyata saudariku juga dibully dengan kasus yang sebaliknya di sini. Tenang saja Nia, aku akan membereskan semua masalahmu, sampai aku keluar menunjukkan jati diriku." gumam Amanda dalam hati.

Mereka pulang sekolah dengan berjalan kaki. Hal itu sudah terbiasa juga bagi Amanda. Tapi cuacanya sangat tidak mendukung hingga membuat Amanda sangat kelelahan.

"Kok, berhenti?" tanya Endin.

"Lelah, aku lelah dan dahaga. Belikan aku minuman saja, tolong …." pinta Amanda.

"Kenapa nggak beli sendiri, sih?" tanya Endin dengan bibir bisa di kuncir 12.

"Dompet aku mungkin tertinggal di rumah. Makanya hari ini aku tidak bisa beli jajan," sulut Amanda.

Tanpa Amanda sadari, dompetnya tertinggal di mobil Haykal pagi tadi kala hendak berangkat ke rumah sakit. Sudah sangat yakin, Amanda merasa dompet miliknya tertinggal di rumah.

___

_

Ketika hendak pulang, Haykal melihat dompet warna putih di jok mobil belakang. Ia pun penasaran dan membuka dompet itu. "Apa itu? Bentuknya seperti dompet." gumamnya.

Di dalam dompet tersebut, ada kartu pelajar atas nama Amanda Zoetmolder dan beberapa uang lembaran ratusan ribu. Banyak sekali kartu atm yang dimilikinya. Dari kartu tabungan anak, sampai kartu tabungan miliknya sendiri dan sudah rupiahkan dalam kartu bank tanah air.

"ini milik Amanda. Sebaiknya, nanti aku kembalikan saja jika ketika sudah sampai di rumah."

Sepulang sekolah, Amanda langsung menuju rumah sakit. Ia ingin tahu keadaan Ayahnya saat ini. Kabar baik, transfusi darah yang dilakukan Amanda berhasil di terima dengan baik. Mungkin, jika membaik dengan cepat, Pak Maliki akan pulang secepat mungkin. Amanda sudah di ruangan, Nia diam-diam kebagian administrasi dan menanyakan biaya rumah sakit Ayahnya.

"Ayah, Manda akan mengangkat telpon dulu. Mami menelponku, maaf Manda tinggal sebentar …." pamit Amanda.

Tidak tahu mengapa, sinyal tiba-tiba buruk. Hal itu membuat Amanda harus berjalan lebih jauh lagi dari ruangan Pak maliki. Sampai di depan tempat administrasi, dia mendengar Nia memohon keringanan biaya perawatan Ayahnya.

"Mami, aku tutup dulu. Sinyalnya buruk sekali!" Amanda menutup telponnya.

Diam-diam, Amanda mendengarkan permohonan saudarinya dengan petugas administrasi. "Tolong … berikan yang terbaik untuk Ayah saya. Saya janji, saya akan membayar biayanya secepatnya. Apakah saya masih bisa memiliki keringanan?" tanya Nia.

"Maaf sebelumnya, apakah Pak Maliki memiliki jaminan? Kartu kesehatan misalnya?" petugas administrasi itu bertanya.

"Tidak," sesal Nia.

"Maaf jika begitu, kami tidak bisa meringankan, karena Pak Maliki ada di ruang kelas 1," ucap petugas itu.

"Baiklah, tolong beri saya laporan biayanya per hari ini … nanti saya akan usahakan lagi." pinta Nia dengan menundukkan kepalanya.

Namun, Amanda mencegah Nia menunduk. Amanda datang dan langsung menahan langkah saudarinya dengan menyentuh bahunya. Ia juga mengatakan, akan menanggung semua pengobatan Ayahnya, sampai Ayahnya sembuh total.

"Ayah saya akan keluar kapan?" tanya Amanda.

"Jika pemeriksaan sore nanti bagus … Pak Maliki akan pulang besok sore, atau lusa pagi," jawab petugas administrasi.

"Kami akan membayar tagihannya nanti ketika Ayah kami keluar, permisi!" gaya bicara Amanda memang berbeda dengan Nia.

Nia selalu menundukkan kepala dan bicara dengan lemah lembut. Berbeda dengan Amanda yang selalu berbicara dengan tegas dan menegakkan badannya. Angkuh dan tak pernah mau disela ketika bicara.

"Lain kali, tolong jangan pernah menunduk kepada siapapun. Tunduklah hanya dengan orang tertentu saja, itu akan mengurangi orang yang bisa mem-bully dirimu, Nia!" tutur Amanda. "Jika kamu bicara, biasakan gunakan dengan nada yang sedikit tegas. Jangan lemah lembut seperti itu, paham!" tegasnya lagi.

"Tapi … kita memang harus selalu merendah, Manda," ucapan Nia malah membuat Amanda semakin geram.

"Itu sebabnya kau di bully oleh Tania dan Aids, dasar!" umpat Amanda.

"Aida, bukan Aids. Eh, kamu sedang menyamar jadi aku, apakah kamu di bully juga oleh mereka?" tanya Nia.

"Iya, lihatlah! Dia menumpahkan kuah bakso yang masih mengebul di dadaku. Seragam sekolahmu jadi basah, dadaku yang cantik nan halus sampai merah seperti. Untung saja aku tidak tinggal diam, aku tuang kuah bakso juga ke dadanya," jelas Amanda.

Lagi-lagi Nia hanya menunduk dan meminta maaf. Itu semakin membuat Amanda kesal. Ia tidak ingin saudarinya di injak-injak lagi dengan orang lain termasuk Tania dan juga Aida.

"Berhenti meminta maaf dan kita segera kembali ke ruangan Ayah! Aku juga akan pulang lebih dulu, mengganti pakaian dan mencari dompetku," Amanda merangkul Nia.

"Dompetmu hilang? Pasti gegara aku yang memintamu untuk menjadi diriku di sekolah. Aku sungguh minta maaf, Manda …." ucap Nia menunduk lagi.

"Astaga … berhentilah meminta maaf, bodoh! Aku muak mendengar kata maafmu itu! Sudahlah, sebaiknya kita kembali ke ruangan Ayah!" kesal Amanda.

Setelah berpamitan kepada Ayahnya, Amanda memilih untuk pulang sendirian. Ia meminta Nia untuk menjaga sang Ayah dengan baik. Ia juga berjanji jika akan datang lagi setelah ashar nanti. Sesuai dengan jam besuk yang sudah di tentukan oleh pihak rumah sakit.

"Hati-hati, ya …." ucap Pak Maliki.

"Pasti Ayah, Manda akan mengabari Nia jika Manda sudah sampai rumah,"

"Maaf … aku tidak bisa mengantarmu," ucap Nia.

"Hish, sumpah aku muak dengan permintaan maafmu itu! Ayah, tolong bilang kepadanya, jangan sering menggunakan kata maaf karena itu akan merugikan dirinya sendiri. Permisi, eh … Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh,"

Dengan uang yang ada di saku celananya, Amanda memanggil tukang ojek untuk mengantarnya pulang. Itu akan cukup untuk membeli beberapa camilan juga nantinya. sampai dompetnya ketemu.