Tamara menceritakan dengan detail ketika Amanda lahir dan alasannya dia mengadopsi Amanda. Rasa marah dan sedih bercampur jadi satu. Rasa tak Terima juga dirasakan oleh Amanda. Dirinya merasa dikhianati, di buang dan juga tak diinginkan oleh ayahnya.
"Kenapa, kenapa kalian tidak membantu keuangannya saja? Kenapa harus adopsi aku, dan tiba-tiba menceritakan dihari yang bahagia ini?" kesal Amanda.
"Sudah cukup kejutannya. Dan ini kejutan yang sangat buruk, aku anak Mami, 'kan? Aku anak dari Mami Tamara dan Papi Yazan, 'kan? Jawab aku Mami, bukakah Mami paling suka membahas?" amarah Amanda mulai mengepul di otaknya.
Sejak menginjak remaja, Amanda memang sangat bebas dan kadang tidak mudah diatur. Ia masuk di komunitas taekwondo dan klub motor agar terlihat keren. Itu semua membuat dirinya sering di marahi oleh Tamara.
"Mami .. haish"
"…."
"Barack, Oma? Kenapa kalian hanya diam? Ini kalian mengerjai aku, buka?" Amanda masih berharap semua itu hanya permainan keluarganya saja.
"Barack …?"
Melihat mata yang menatap kebawah dari mata Barack, Amanda mengerti jika mereka tidak sedang bercanda. Amanda masuk ke kamarnya dengan membanting pintu sekeras-kerasnya. Ia menangis dan memukul dinding sampai tangannya terluka.
Kenyataan tak bisa dipungkiri. Amanda harus menerima semuanya dengan ikhlas hati. Secepatnya keluarga Amanda menyiapkan semua berkas milik Amanda. Perlu mental yang kuat bagi Amanda menerima semua itu.
Perlahan, senyumannya semakin menghilang. Kini, meski masih menunggu hari yang ditentukan untuk kembali ke tanah kelahiran, Amanda sudah mulai diam dan jarang berkomunikasi dengan keluarga di rumah.
Ia sering menyendiri dan mengurung diri kamarnya. Sepulang sekolah, biasanya dia akan merengek ke club' malam.Tapi kali ini, dia benar-benar diam. Tapi, diamnya Amanda juga bukan karena kecewa jika dirinya bukanlah anak kandung Tamara.
Ia hanya kecewa, Tamara tidak berterus terang tentang keluarga kandungnya yang kehidupannya jauh dari kata mewah seperti dirinya. Malam sebelum kembali ke Magelang, Amanda sempat bermimpi bertemu dengan seorang ibu-ibu yang menghampirinya dengan senyuman merekah.
Ibu itu pasti ibu kandung dari Amanda dan Nia. Tanda bahwa sudah saatnya Amanda harus kembali ke Pak Maliki dan juga saudari kembarnya, Nia Andriana.
"Kamu yakin nggak mau kita antar? Kamu belum pernah ke Indonesia, loh," ucap Tamara membelai rambut Amanda.
"No!" jawab Amanda.
"Bahasa Indonesia jangan lupa di pelajari lagi, oke?" kata Tamara dengan lembut.
"Ya!"
"Bahasa Jawamu, gimana? Lancar, 'kan?" sahut Barack.
"Yas!"
Jawaban Amanda masih saja menunjukkan rasa kekecewaan dengan keluarga Tamara. "Terima kasih kalian sudah mengantarku ke Bandara. Aku pamit." ucap Amanda menyalami Tamara.
Tamara yang tak tega melepas Amanda sendirian pun memeluk dengan erat. Karena Amanda berusaha untuk tetap di Magelang sampai ayahnya sembuh total. Ia juga akan melanjutkan pendidikannya di sana.
"Ingat, visa turismu hanya berlaku sampai 6 bulan. Nanti kalau mau memperpanjang kabari Mami dua minggu sebelumnya ya. Mami akan menyusulmu nanti," ucap Tamara.
"Manda bisa sendiri, kok, Mi. Mami dan Barack sehat-sehat di sini, ya. aku berangkat dulu." pamit Amanda.
"Apa dia masih kecewa dengan kita, Mi?" bisik Barack.
"Itu sudah pasti. Sebaiknya kita menunggu kabar dia kalau sudah sampai ke Magelang." jawab Tamara.
Mereka pun berpisah. Di pesawat, Amanda membaca semua surat yang dikirim Nia kepadanya sejak dulu. Rupanya, Tamara tidak pernah memberikan surat itu kepadanya. Rasa Amanda kecewa semakin besar kepada Ibu angkatnya.
"Jadi, si Nia ini suka warna pink. Hm, sayang banget, aku malah suka warna putih." gumamnya.
"Terus, makanan favorit … hey, tau darimana dia, kalau aku suka telur ceplok?"
"Hm, nilainya bagus juga. Mengapa Mami tidak pernah memberikan surat ini untukku?"
Meski Tamara menyembunyikan semuanya, tapi Amanda juga tidak ingin menuntutnya. Bagaimanpun juga, Tamara dan keluarga besarnya sudah merawat dan membesarkan Amanda dengan sangat baik.
Bahkan, tentang keyakinan saja, Tamara juga tidak memaksakan kehendak. Itu sebabnya, sampai sekarang, Amanda tidak memiliki kejelasan akan keyakinannya.
~~
Setelah 17 jam perjalanan, dan harus transit 1 kali, akhirnya Amanda sampai di bandara Jakarta. Kemudian, ia akan mengambil penerbangan ke Jogja, dan setelah itu baru naik taksi dari Jogja ke Magelang.
"Mahal amat dari Amsterdam ke Jakarta hampir 7 juta 500? Butuh satu jam untuk ke Yogyakarta-nya, oke deh. Sebaiknya aku segera beli tiketnya."
Selang waktu satu jam, penerbangan Amanda pun tiba. Ia akan terbang ke Jogja, kemudian menaiki taksi untuk ke kota yang ia tuju. Dalam penerbangan, Amanda sibuk mendengarkan lagu favoritnya, ia membayangkan apa yang akan terjadi saat dirinya sampai di rumah Ayahnya nanti.
"Bagaimana nanti, ya? Apakah mereka akan menerimaku dengan baik? Ahh… aku jadi gelisah begini." gumam Amanda.
Berkali-kali ia membaca surat yang ditulis oleh Nia. Untuk memahami, bagaimana kehidupan mereka yang sudah Nia ceritakan pada surat itu.
1 jam berlalu, akhirnya Amanda sampai di Jogja. Rupanya, Nia tengah menjemputnya bersama dengan sahabatnya dan orang tua dari sahabatnya itu. Mereka berdua benar-benar mirip, bahkan sulit untuk membedakan jika meraka berdiri berdampingan.
Hanya saja, bedanya sekarang Nia berhijab, sedangkan Amanda tidak. Pakaian yang mereka pakai saja berbeda sekali. Nia terlihat sederhana dengan tunik dan legging polosnya. Sementara Amanda sangat modis dan memakai baju bermerk.
"Amanda?"
"Selamat datang di Jogja. Ini benar dirimu? Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu." sambut Nia memeluk Amanda.
Tentu saja membuat Amanda terkejut. Namun, ketika Nia memeluknya, Amanda tidak menolaknya. Ia mengingat jika Nia ini adalah sadari kembarnya yang terpisah lama dengannya.
"Kamu pasti lelah, 'kan? Ayo, kita pulang dulu, dan kamu bisa istirahat nanti. Perjalan bisa 2 jam kalau macet," ajak Nia begitu bahagia.
Amanda hanya tersenyum dan mengikuti langkah Nia. Sepanjang perjalanan, banyak sekali yang Nia ceritakan tentang ayahnya dan masa kecilnya. Amanda tersenyum tenang jika Nia dan ayahnya mampu menerima dirinya dengan baik.
"Oh iya, perkenalkan.. dia sahabatku, namanya Endin. Kami satu sekolah dan sekelas," ucap Nia memperkenalkan sahabatnya kepada Amanda.
"Hai," sapa Amanda menyodorkan tangannya hendak bersalaman.
"Hai, Amanda.. kamu cantik sekali. Kamu benar-benar mirip dengan Nia," ucap Endin menatap Amanda dan Nia secara bergantian.
Amanda bingung apa yang hendak ia katakan. Bibirnya seakan merasa terkunci dan terpukul mengalami kenyataan jika dirinya bukanlah anak kandung dari keluarga Zoetmolder.
"Manda, kamu, kok, diam saja, sih? Kenapa? Apa kamu nggak suka bertemu dengan kami?" tanya Nia.
"Apa kamu ndak bisa bahasa Indonesia, ya?" sahut Endin.
"Hm, saya bisa bahasa Indonesia maupun Jawa, kok. Saya hanya lelah saja melakukan perjalanan panjang ini. Tapi, saya senang bertemu dengan kalian, percayalah!" jawab Amanda.
Nia menyuruhnya untuk tidur sementara wakt sampai mereka sampai ke rumah. Selama dua jam perjalanan, Amanda tertidur pulas bersandar di bahu Nia. Ia bermimpi lagi bertemu dengan wanita yang sama seperti sebelumnya.
Bahkan, dalam mimpi itu, Amanda juga dibelai rambutnya dengan lembut. Amanda memang harus berusaha menyesuaikan diri saat dirinya nanti sampai di desa. Karena ia harus menyelesaikan pendidikannya di desa.
Tamara ingin Amanda ikut merawat ayah kandungnya bersama dengan Nia. Karena Tamara tidak mau memutus tali persaudaraan diantara Amanda dan Nia.
Sesampainya di rumah, Nia mempersilahkan Amanda masuk di rumah yang sangat sederhana, namun terlihat rapi dan bersih itu. Nia juga sudah menyiapkan tempat tidur yang rapi untuk Amanda di sebelah kamar tidurnya.
"Nah, ini kamar kamu. Itu kamarku, dan kamar Ayah ada di dalam," tunjuk Nia.
Amanda memandangi sekitar dan hanya mengangguk. Kini, hidupnya berubah sangat drastis. Sebelumnya ia tinggal bagaikan seorang putri di rumah keluarga Zoetmolder. Sekarang, ia harus belajar hidup sederhana bersama Ayah dan saudari kandungnya.